Semenjak pemberlakuan kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN pada tahun 2016. Serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia semakin meningkat. Pada tahun 2015, masyarakat Indonesai dihebohkan dengan masuknya para pekerja asing dari Cina yang cukup banyak, dan ada beberapa PHK yang terjadi disejumlah perusahaan dari tenaga kerja pribumi dan kemudian memasukan tenaga kerja dari negeri tirai bamboo itu. Sulawesi Tenggarapun terkana akan dampak masukknya tenaga kerja asing.
Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sultra sudah sekitar 357 tenaga kerja asing yang masuk yang tersebar di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, Konawe Utara, Wakatobi, Kendari dan Kolaka (Republika.co.id, 27 November 2015).
Para pekerja asing nampaknya menyebar di perusahaan pertambangan. Dan ada peningkatan tenaga kerja asing yang masuk di Sultra. Pada tahun 2016 tercatat di Kabupaten Konawe terdapat 500 warga Cina yang bekerja disalah satu perusahaan pertambangan dan 246 orang tenaga kerja lokal.
Namun yang menjadi keprihatinan adalah para pekerja asing ini bekerja sebagai sopir, office boy, tukang masak, ahli konstruksi hingga buruh bangunan (Tempo.co., 21 Juli 2016) seakan-akan tenaga kerja lokal telah habis untuk mengurusi semua hal-hal ini. Jasa masak bisa dilakukan oleh tenaga lokal karena banyak masyarakat sekitar yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan jasa masak, jasa loundy dan bersih-bersih.
Universitas banyak mengeluarkan lulusan yang mampu bersaing dengan pekerja asing, khususnya di Sultra. Dari segei konstruksi bangunan adanya mahasiswa teknik sipil dari Sulta, adanya mahasiswa dan siswa pertambangan yang siap kerja. Dan penyerapan tenaga kerja asing, khususunya negeri tirai bamboo ini, menjadi pesaing dari tenaga kerja lokal.
Dan yang menjadi pertanyaan adalah, apakah setiap tenaga kerja asing selalu bermutu bagus ? padahal tenaga kerja dari Indonesiapun belum tentu kalah saing tapi mampu bersaing karena dihasilkan dari lulusan-lulusan universitas yang mempuni.
Dibalik Serbuan tenaga Kerja Asing
Suatu pertimbangan besar bahwa jumlah pengangguran di Indonesia berkisar tujuh juta orang yang termasud dalam angkatan kerja (Republika.Co.Id, 02 Agustus 2016). Hal ini perlu menjadi perhatian, karena akan mengurangi kesempatan angkatan kerja Indonesia untuk berkarir dinegeri sendiri. Akan beda halnya jika jumlah penduduk kecil namun kesempatan kerja besar. Namun pada faktanya jumlah penduduk Indonesia banyak namun akan bersaing kesempatan dengan tenaga kerja asing.
Serbuan tenaga Kerja Asing khususnya Cina dipastikn akan terus terjadi disebabkan : adanya persetujuan pemerintah untuk memasukkan pekerja Cina sebagai bagian dari syarat investasi dan pinjaman pemerintah ke Cina serta adanya pemberlkuan masyarakat ASEAn plus Cina bahkan pemerintah berencana untuk membebaskan visa kepada warga negara Cina masuk ke Indonesia.
Sesungguhnya Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah. Jika pengelolaan terhadap SDA benar, maka sesungguhnya, Indonesia tidak perlu mengundang investor asing untuk mengeruk SDA Indonesia.
Terlebih, membiarkan para investor mendikte kemauan mereka kepada Indonesia. Ini sama saja menjadikan diri Indonesia sebagai jajahan bagi Negara-negara investor. Kebijakan pemerintah terkait upaya memperlancar investasi asing di Indonesia dengan menghapus syarat wajib bahasa Indonesia bagi TKA merupakan kebijakan yang akan membunuh tenaga kerja dalam negeri.
Mereka akan tergeser dengan hadirnya TKA yang dipermudah aksesnya oleh pemerintah. Inilah ciri khas rezim neoliberalisme yang lebih mementingkan asing daripada rakyatnya sendiri.
Kebijakan Khilafah terhadap Tenaga Kerja Asing
Kondisi ideal yang kita harapkan adalah terwujudnya kesejahteraan hidup rakyat. Sejahtera sesuai dengan aturan Pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan. Oleh karena itu,, neoliberalisme harus segera dicampakkan dan diganti dengan penerapan sistem yang berasal dari Allah, yaitu sistem Islam. Islam sebagai aturan hidup yang sempurna, juga mengatur tata kelola terhadap tenaga kerja asing
Tenaga kerja asing adalah tenaga kerja dari luar wilayah Khilafah. Negeri negeri asal mereka berada diuar wilayah hukum negara Khilafah. Penduduk asing ini diklasifikasikan menjadi 2, yaitu pertama warga negara kafir Harbi, baik secara nyata maupun tidak, dalam memerangi kaum muslimin. Kedua, warga negara kafir mu’ahad, yaitu negara yang terikat perjanjian dengan khilafah dan atau kaum muslimin dan secara nyata tidak memerangi atau sedang berperang dengan kaum muslimin.
Warga Negara asing yang masuk ke dalam Khilafah harus mempunyai izin masuk, hanya untuk mu’ahad tidak membutuhkan visa khusus namun cukup menunjukkan kartu identitas saja. Sedangkan untuk kafir harbi, mereka membutuhkan visa khusus. Untuk warga Negara dari kafir harbi visa khusus yang diberikan bisa berupa visa belajar, bisnis, bekerja, kunjungan, serta ahli dzimmah.
Hanya saja selain visa belajar negara khilafah tidak mempunyai alasan yang kuat untuk memberikan visa lain, hal ini berarti tenaga kerja asing dari Negara kafir harbi tidak mempunyai kesempatan dan tidak bisa untuk mendapatkan pekerjaan didalam tubuh daulah khilafah.
Perlakuan yang berbeda untuk warga Negara asing dari kafir mu’adah karena mempunyai hubungan baik dengan khilafah, baik dibidang bisnis, bertetangga baik, perdagangan dan sebagainya. Maka negara khilafah bisa meingizinkan mereka masuk.
Jika ada urusan bisnis, perdagangan maupun lainnya dan mereka sudah bisa dipastikan sebagai warga Negara mu’ahad. Dan jika warga asing ini melakukan tindakan yang meresahkan masyarakat, melanggar hukum baik dilakukan secara pribadi maupun pelanggaran yang dilakukan secara umum dan mengancam kedaulatan Negara, maka Negara Khilafah bisa membatalkan izin yang diberikan kepada warga asing tersebut.
Bahkan apabila mereka dicurigai bisa mengancam keamanan dalam negeri maka Negara khilafah akan melakukan tindakan, yaitu bisa mematai-matai mereka.
Demikianlah kebijakan Khilafah dalam memperlakukan para tenaga kerja asing,boleh atau tidak, berdasarkan status negaranya. Wallahu A’lam
Oleh : Fitriani, ST.,M.Si
Penulis Merupakan Dosen UHO