Nikah-nikah politik dalam rangka Pilwali Kota Kendari hampir rampung. Hampir pasti empat orang pasangan calon akan bertarung. Adriatma Dwi Putra–Sulkarnain didukung PAN (6 kursi), PKS (4 kursi), dan PKB (1 kursi). Total 11 kursi
Berikutnya, pasangan Abdul Rasak–Haris Andi Surahman didukung Golkar (4 kursi), Nasdem (3 kursi), PBB (1 kursi). Total 8 kursi. Kemudian, pasangan Ishak Ismail–Alwi Genda didukung PDIP (4 kursi) dan Gerindra (5 kursi), sehingga total dukungan sebanyak 9 kursi.
Pasangan terakhir yang telah diumumkan resmi melalui pemberitaan media massa adalah Muhammad Zayat Kaimoeddin-Suri Syahriah Mahmud yang didukung Hanura (2 kursi), PPP (1 kursi), dan Demokrat (4 kursi). Dengan demikian, pasangan ini mengumpulkan standar minimal 7 kursi.
Sebaran partai ke pasangan calon yang begitu “banyak” dapat dimaknai dari dua perspektif. Pertama, bahwa partai-partai tidak menggantungkan “nasibnya” hanya pada satu kandidat yang dianggap kuat. Partai-partai pendukung berkeyakinan kandidat yang diusungnya memiliki basis dukungan yang dalam kalkulator politik tetap memiliki peluang besar untuk menang.
Perspektif kedua, distribusi dukungan yang merata ini merupakan implikasi manuver-manuver politik praktis tingkat tinggi: “seolah-olah mendukung padahal tidak”. Hal itu bisa dibaca dari dinamika pergerakan sejumlah partai saat pengusulan calon usungan mereka ke masing-masing dewan pimpinan pusatnya.
Tapi catatan kali ini tidak akan membahas hal itu. Melainkan ulasan tentang pertunjukan “seni” dari beberapa pemain di balik layar. Pilihan pertama jatuh ke Muhammad Endang. Ketua Partai Demokrat Sulawesi Tenggara (Sultra).
Mengapa Endang? Pertama, Demokrat adalah penutup dari kotak pandora perburuan dukungan partai. Setelah Demokrat menjatuhkan pilihan dukungannya, perbincangan tentang “partai apa dukung siapa” mencapai klimaksnya. Selesai. Babakan baru dibuka lagi.
Demokrat –dengan Endang sebagai sosok paling penting di belakangnya– berhasil menempatkan diri sebagai sumbu perhatian di detik-detik terakhir. Dalam kacamata politik praktis, langkah itu merupakan sebuah seni dalam mencari positioning partai di depan publik.
Kedua, kualitas figuritas dari Endang sebagai politisi. Muda. Kaya pengalaman. Pernah menikmati kemenangan manis. Tapi juga sudah mereguk pahit. Merintis karier dari pergerakan kemahasiswaan, lalu tumbuh di organisasi kepemudaan. Berkiprah sebagai penyelenggara pemilu.
Masuk ke jajaran elit partai. Menumbangkan seniornya di Demokrat. Melaju ke parlemen tingkat provinsi sebagai unsur pimpinan. Meloloskan istrinya ke parlemen Kota Kendari. Koalisi partainya di pilkada serentak tahap pertama berhasil menang di lima dari tujuh darerah, kendati dia sendiri tumbang di pilkada yang diikutinya.
Di Pilkada Konawe Selatan, bersama pasangannya, Endang menempati posisi kedua dari empat pasang calon yang bertarung. Berselisih sekitar 7-8 persen dari sang pemenang, pasangan Surunuddin Dangga-H Arsalim. Anda tahu siapa Surunuddin Dangga? Dia tokoh “super senior” yang menyandang nama besar: “politisi yang tidak ada matinya”.
Coba bandingkan kompleksitas jam terbang Endang terhadap –taruhlah dengan para kandidat– Adriatma, Rasak, Ishak, atau Zayat. Mereka yang berempat pendatang baru di pilkada. Endang sudah merasakannya. Kalah. Kartu politiknya masih hidup. Masih terang. Mereka berempat belum tentu pasca pilwali.
Usia. Dari mereka berempat hanya Adriatma yang mengalahkan usianya. Penguasaan terhadap partai. Adriatma hanya sekretaris tingkat provinsi. Rasak terancam dicabut kartu anggotanya. Ishak pernah didepak sebagai ketua partai di tingkat kabupaten/kota. Zayat malah seorang pegawai negeri yang sebentar lagi pensiun dini. Endang? Terpilih sebagai ketua partai untuk periode kedua secara aklamasi.
Memang Endang bukanlah lawan mereka di pilwali. Tapi haqqul yakin bahwa strategi dan taktik yang diraciknya akan sangat mewarnai pergerakan pasangan Zayat-Suri untuk memenangkan pilwali.
Permainan cantiknya di pilwali sudah dua yang kelihatan. Pertama, sebagai pihak terakhir yang menentukan konfigurasi kompetisi. Kedua, sukses memasukkan istrinya sebagai kontestan dan menjadi satu-satunya kandidat perempuan yang maju. Ini modal besar dalam memainkan wacana pemenangan. Kita tunggu bagaimana dia memoles istrinya yang cantik itu menjadi lumbung suara.***
Permainan Endang sang konseptor sangat luar biasa. Akan tetapi pesakitan yang diberikan kepada yang telah mengangkatnya dari kecil menjadi besar yakni H. Imran (eks- bupati Konsel) jangan dilupakan.
Dimana saat ini sosok Imran muncul sebagai benteng pertanahan bagi partai usungan Prabowo Subianto yang digunakan oleh bakal calon walikota, Ishak Ismail