“Jebakan Batman” Tax Amnesti

"Jebakan Batman" Tax Amnesti
Risnawati

Kolaka Pos (Jum’at, 26/8/2016)_Sejak digulirkan program amnesti pajak oleh pemerintah pertengahan juli lalu, hingga kini masih banyak yang salah kaprah. Banyak yang mengira amnesti pajak ini hanyalah strategi pemerintah menjebak para wajib pajak yang selama initak tersentuh, untuk mengungkapkan data kekayaan yang dimilikinya. Hal itu ditepis kepala Kepala Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kolaka, Syarifuddin Syafri, ia mengatakan program amnesti pajak bertujuan untuk menemukan sumber pertumbuhan ekonomi melalui repatriasi aset. Lanjutnya, amensti pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang dengan cara mengungkapkan harta dan membayar uang sejumlah tembusan, kepada pemerintah melalui KPP terdekat.

"Jebakan Batman" Tax Amnesti
Risnawati

Hal senada pun diungkapkan oleh Presiden Jokowi menegaskan, program tax amnesty memang menyasar pembayar-pembayar pajak besar, utamanya yang menyimpan uangnya diluar negeri. Tetapi, tax amnesty ini juga bisa diikuti oleh yang lain seperti pengusaha menengah dan pengusaha kecil. Lanjutnya, mengikuti tax amnesty itu hak, bukan kewajiban karena itu tidak perlu diramein, karena memang itu hak kok, kita itu harusnya kosentrasi ke hal-hal yang besar. (Kolaka Pos, 31/8/2016)

Benarkah tax amenesty bukan jebakan pemerintah, sehingga masyarakat tidak perlu mengkritisi kebijakan tersebut? Lalu, siapakah sebenarnya sasaran utama dari program tax amnesty ini? Para taipan kaya yang melarikan uangnya ke luar negeri? Atau masyarakat  dengan nilai kekayaan tidak seberapa?

VIVA.co.id –  Program pengampunan pajak atau tax amnesty telah menjadi buah simalakama. Sejumlah kalangan masyarakat, terutama para penunggak pajak, merasa keberatan dengan tarif tebusan yang dinilai cukup besar bila dihitung dari jumlah penghasilan yang tidak dilaporkan selama ini.
Program kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty pun mulai memicu keresahan masyarakat, utamanya masyarakat menengah ke bawah. Wajib pajak (WP), diharuskan mengungkap serta  melaporkan seluruh hartanya kepada otoritas pajak, jika tidak ingin dikenakan denda.

Padahal tujuan awal tax amnesty adalah memulangkan dana-dana milik orang Indonesia yang disimpan di luar negeri atau yang dimiliki oleh WP Indonesia. Siapa pemilik dana di luar negeri itu? Tentu saja para WP, pengusaha besar, eksportir dan para konglomerat. Sudah jelas di sini targetnya adalah pengusaha atau WP kelas kakap.  Namun kenapa kini tax amnesty diarahkan ke semua WP sehingga masyarakat kecil termasuk pensiunan gelisah dan resah menjadi ketakutan dikejar  aparat pajak.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) mengungkapkan kembali bahwa program kebijakan pengampunan pajak diberikan kepada seluruh kalangan masyarakat. Pelaksanaan tax amnesty tidak hanya terbatas bagi orang-orang kaya dan pengusaha.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Hestu Yoga Saksama, saat berbincang dengan viva.co.id pernah menyatakan, tax amnesty sama sekali tidak diperuntukkan hanya untuk kalangan pengusaha-pengusaha besar, melainkan juga kepada seluruh elemen masyarakat. “Bukan hanya yang besar-besar saja. Kalau diberikan hanya kepada mereka, dan menengah ke bawah tidak diberikan, bukannya nanti mereka akan teriak-teriak? Kok yang diberikan tax amnesty yang besar saja,” kata  Hestu, Jumat 26 Agustus 2016.

Hestu menjelaskan, dalam payung hukum tax amnesty, seluruh masyarakat bisa mengikuti program tersebut. Bahkan, untuk sektor UMKM diberikan tarif khusus bagi yang ingin mengikuti program yang berlaku efektif sejak 18 Juli 2016 lalu.

Wajib pajak, lanjut Hestu, yang memiliki harta-harta benda yang didapat dari penghasilan lain yang tidak dilaporkan kepada otoritas pajak bisa dikenai denda maksimal 48 persen sejak pajak terutang itu tidak disetorkan.

Begitupun dilansir dalam Republika.co.id. (Ahad, 28/8/2016)_Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan/Mantan Dirjen Pajak. menyatakan bahwa Tax Amnesty sejak awal didengungkan untuk memulangkan dana-dana milik orang Indonesia yang di simpan di luar negeri atau yang dimiliki oleh para wajib pajak (WP) Indonesia. Kemudian siapa pemilik dana (dan atau aset) diluar negeri itu? Tentu WP/pengusaha besar/konglomerat/exportir. Jadi subjeknya pengusaha besar alias wa jib pajak elit.  Tapi kenapa kini justru tax amnesty diarahkan kepada semua WP secara massif alias diarahkan kepada para wajib pajak gurem sehingga masyarakat kecil termasuk pensiunan gelisah dan merasakan ketakutan dikejar dikejar aparat pajak. Apa motif dan pertimbangan pengalihan sasaran tax amnesty itu? Apakah pengusaha-pengusaha besar tersebut akan ikut program Tax Amnesty? Tentu saja ikut! Tapi, hanya formalitas alias kecil saja; yang penting ikut Tax Amnesty agar bisa mendapatkan Surat Sakti Pajak sehingga tidak lagi diperiksa atau di obok-obok aparat pajak.  Jadi sementara wajib pajak yang besar-besar kini tersenyum, justru rakyat kecil yang kini diuber-uber ketakutan. Luar biasa anehnya atau kalapnya pemerintahan ini. Ujarnya.

Kapitalisme: Biang Masalah

Bila ditelaah secara seksama, Direktur Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH) Hatta Taliwang, RUU Tax Amnesty adalah permufakatan jahat. “Untuk mengampuni koruptor BLBI dan memutihkan uang judi, uang teroris,uang pelacuran, uang human trafficking dan uang narkoba, dan undang-undang ini berniat melakukan rekonsiliasi politik dan hukum dengan para penjahat ini,” pungkasnya Hatta. (mediaumat.com, 26/6/2016)

Di negera-negara Kapitalisme, pajak adalah pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di Indonesia, pendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan negara. Meskipun demikian, nilainya masih dianggap kurang oleh Pemerintah karena rasionnya terhadap PDB (tax ratio) masih dikisaran 12%. Di sisi lain, porsi pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti royalti pertambangan dan pendapatan BUMN terus turun.

Dengan demikian pada prinsipnya, Tax  adalah alat dan cara kapitalisme dalam bernegara, khususnya pembiayaan negara. Bahkan dalam era kolonialis, tax merupakan alat penghisapan terhadap rakyat. Dalam negara komunis Tax tidak menjadi penopang utama, karena semua harta milik negara. Bagaimana negara Pancasila? Negara Pancasila prinsipnya juga tidak menempatkan pajak sebagai sumber pembiayaan pembangunan.  Pembiayaan utama harus bersumber pada pemasukan selain pajak, seperti penerimaan sumber daya alam, bagi hasil sumberdaya alam, usaha negara dari cabang cabang produksi negara. Karenanya, rezim pajak Jokowi dan Tax Amnesty tidak sesuai dengan semangat proklamasi dan Pancasila. RUU Tax Amnesty oleh karenanya merupakan permufakatan jahat elit negara yang harus dicegah. Dalam bahasa agama sebagai Mashlahah Muhaqqaqoh, sehingga tidak boleh didukung.

Pandangan Islam

Praktik sistem Kapitalisme tentu berbeda dengan konsep Islam. Dalam pandangan Islam, negara Khilafah pada dasarnya tidak diperkenankan untuk menarik pajak. Menurut Atha Abu Rasytah, larangan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw. bersabda: ”Tidak akan masuk surga para penarik cukai.” (HR Ahmad).

Maksud cukai di sini adalah harta yang ditarik dari pedagang yang melintasi perbatasan negara. Namun, terdapat dalil yang melarang seluruh bentuk penarikan pajak yaitu sabda Rasulullah saw.: ”Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini dan di bulan ini…” (HR al-Bukhari Muslim).

Hadits ini menjadi dalil atas ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara. Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah ditetapkan oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.
Hanya saja, jika sumber pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayai pengeluaran yang bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah seperti pembayaran gaji pegawai negara, pemberian santunan kepada fakir miskin, pembiayaan aktivitas jihad, penanggulangan bencana, dan pembangunan infrastruktur yang dapat menimbulkan dharar jika tidak dibangun, maka kewajiban tersebut jatuh kepada kaum Muslim dalam bentuk pajak. Meskipun demikian, penarikan pajak tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan sekundernya secara layak. Selain itu, jumlah dana yang ditarik tidak boleh melebih kebutuhan Baitul Mal dalam membiayai pengeluaran wajib tersebut di atas. Penarikan pajak juga bersifat sementara karena akan dihentikan jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.

Akan halnya zakat yang dikenakan atas penghasilan seseorang muslim maka tarifnya hanya sebesar 2,5% dari hartanya jika telah mencapai batas minimal (nishab) yakni setara nilai 85 gram emas dan telah dimiliki selama setahun. Dengan tarif zakat yang bersifat tetap (flat) tersebut maka sebanyak apapun penghasilan seseorang maka ia hanya dikenakan tarif zakat yang sama. Adapun ahlu dzimmah, orang kafir yang tinggal di dalam negara Khilafah Islam, mereka sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya. Mereka hanya membayar jizyah sekali setahun yang nilainya ditetapkan oleh Khalifah berdasarkan pendapatan ahli bahwa nilai tersebut tidak menyusahkan ahlu dzimmah.

Demikianlah, Islam memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana.

Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem Kapitalisme seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan hawa nafsu manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman Pemerintah. Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk pajak dan pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah tak segan berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara ilegal. Karena itu, tax amnesty salah sasaran, rakyat yang terdzolimi. Padahal dalam Islam, zakat saja hanya untuk harta tertentu, apalagi dipajaki. Pajak dalam Islam hanya untuk kondisi yang sangat darurat, itupun hanya mengenai orang-orang kaya saja. WalLâhu ‘alam bi ash-shawab.

 

Oleh: Risnawati, STP
Penulis Merupakan Staf Dinas Pertanian & Aktivis MHTI Kolaka

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini