ZONASULTRA.COM, RUMBIA – Kala matahari pagi mulai menampakkan diri di ufuk timur, puluhan anak perempuan dan laki-laki pun nampak berjalan menuju ke sebuah sungai. Di tangan mereka tampak keranjang kecil berisikan sabun mandi, sampo, pasta dan sikat gigi serta tak lupa selembar handuk dan sarung.
Satu persatu anak-anak tersebut melompat ke sungai yang dalamnya setinggi pinggang orang dewasa, tapi ada pula beberapa anak lainnya yang memilih membersihkan diri di pinggir sungai.
Aliran air tidak begitu deras membuat tempat ini aman bagi mereka. Suara riang dan gembira anak-anak seakan memecah keheningan hutan di sekitaran sungai itu. Lalu, sekira 15 menit kemudian, anak-anak tersebut pun kembali pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Itulah sepenggal potret rutinitas anak-anak di kampung adat Hukaea-Laea, Desa Watu-watu Kecamatan Lantari Jaya, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara kala memulai aktivitasnya di pagi hari sebelum berangkat ke sekolah.
Desa Watu-watu merupakan salah satu pusat peradaban Suku Moronene sejak abad ke-18. Hingga saat ini desa ini belum teraliri listrik. Aktivitas anak-anak sekolah di tempat ini pun berbeda dengan anak-anak di tempat lain.
Sebelum berangkat sekolah, puluhan anak di desa ini harus berjalan kaki sejauh 500 meter dari pusat kampung menuju ke sumber air di desa itu, yaitu Sungai Laea hanya untuk mandi.
Kepala Sekolah SMP Swasta Laea, Djalil Karuru (35), mengungkapkan, Desa Watu-watu tak memiliki sumber air yang bisa dialirkan langsung ke rumah warga, sehingga sebelum berangkat ke sekolah anak-anak akan mandi terlebih dahulu di Sungai Laea yang berada di bagian barat kampung adat.
Sebuah rumah panggung dengan luas sekitar 10 x 20 meter yang menggambarkan ciri khas bangunan kampung adat Hukaea-Laea dijadikan tempat belajar bagi anak-anak SMP di desa itu. Beratapkan rumbia, dinding jelaja dan berlantaikan papan. Tak ada kursi dan meja, duduk melantai adalah satu-satunya cara yang dapat dilakukan puluhan generasi penerus bangsa ini setiap menerima materi dari guru mereka.
“Tempat ini sebenarnya bukan diperuntukkan untuk tempat belajar bagi anak-anak, ini adalah balai adat kampung,” ungkap Djalil ditemui usai memberikan materi mata pelajaran Bahasa Indonesia, Kamis, 25 Agustus 2016.
Bukan hanya tak ada meja dan kursi, bahkan bangunan SMP yang digunakan untuk menuntut ilmu di desa yang berada dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai ini, tidak ada sama sekali. Dulu, siswa SMPS Hukaea-Laea bergabung dengan SDN 145 Watu-watu yang lokasinya tak berada jauh dari balai adat, namun kondisi tersebut tidak bertahan lama karena mengganggu konsentrasi belajar para siswa yang harus bergabung dengan murid SD.
Tak hanya itu, balai adat yang digunakan sebagai tempat belajar saat ini pun tidak layak. Siswa-siswi kelas VII, VIII, dan IX harus belajar secara bersama dalam balai tersebut, tak ada sekat pemisah antara mereka. Sehingga sang guru harus mengajar di kelas yang sama secara bersamaan pula.
“Ya, beginilah kondisinya, dulu kan bergabung dengan SD tapi susah, nah disini saya bagi papan tulis menjadi 3 untuk masing-masing kelas, kemudian saya ajar secara bergantian,” ujar pria yang sudah mengabdikan dirinya sejak tahun 2012 lalu.
Tenaga Pengajar Kurang
SMPS Laea memiliki enam orang tenaga pengajar. Satu orang PNS yang tak lain adalah Kepsek SMPS Laea sendiri dan lima orang lainnya adalah tenaga bantuan yang hanya tamatan SMA berusaha memberikan yang terbaik bagi 40 siswa-siswi yang menuntut ilmu di sekolah tersebut.
Kadang, lima orang guru tersebut jarang datang mengajar karena alasan akses yang jauh dari jalan poros Konawe Selatan-Bombana. Ditambah lagi medan jalan yang sulit karena harus menelusuri lahan padang ilalang yang merupakan bagian kawasan taman nasional.
Bermodalkan buku-buku yang sudah tidak baru lagi sebagai referensi untuk mengajar, guru di SMPS Laea juga harus menyesuaikan dengan kurikulum yang terus berkembang setiap tahunnya. Saat ini pihak sekolah masih menggunakan kurikulum 2006.
“Sebenarnya kami juga pakai kurikulum terbaru, hanya saja sudah terbiasa dengan kurikulum lama, akhirnya saya hanya cari yang samanya saja baru saya padukan untuk mengajar anak-anak, dan yang terpenting adalah mereka bisa membaca dan menulis,” ungkap Djalil.
Pria yang diangkat sebagai PNS pada tahun 2009 ini berharap agar pemerintah kabupaten atau provinsi dapat memperhatikan mereka dengan memberikan bantuan tenaga pengajar dan fasilitas gedung utama untuk tempat belajar.
Djalil tak memungkiri jika dari 40 siswa-siswinya, kadang ada sejumlah anak didiknya yang tidak masuk sekolah dua hari berturut-turut karena membantu orang tua di ladang dan kebun untuk memanen hasil tanaman mereka.
Djalil pun memaklumi hal ini, karena pada dasarnya seluruh anak didiknya nanti akan lulus dan melanjutkan sekolah di tingkat lebih tinggi. Mereka akan belajar di luar kampung adat dan terpisah jauh dari orang tua. Oleh karena itu, dirinya tak membatasi jika anak-anak menghabiskan waktu yang lebih lama dengan orang tua.
Untuk menyiasati hal tersebut, siswa yang tidak hadir selama dua hari akan diberikan tugas tambahan untuk mengejar ketinggalannya.
Resky Ayu Pratiwi (13), salah satu siswi kelas IX mengungkapkan rasa sedihnya melihat kondisi sekolah yang menjadi tempatnya menuntut ilmu. Dirinya sangat ingin merasakan fasilitas sekolah yang layak seperti sekolah pada umummya.
Salah satu siswi berprestasi di SMPS Laea ini memiliki cita-cita ingin menjadi dokter. Untuk itulah dirinya berusaha untuk giat belajar di tengah keterbatasan sekolahnya. Kadang hal paling disesalkan di hati perempuan berambut lurus ini adalah guru yang jarang masuk hingga biasanya tiga kali dalam seminggu.
Tantangan Kampung Adat
Di balik segala keterbatasan itu, ada satu alasan kuat di dalam hati Djalil untuk mendidik para siswanya agar menjadi orang-orang yang berguna bagi diri sendiri, orang tua, masyarakat, bangsa dan negara, yaitu kedekatan emosional.
Kedekatan emosional yang dimilikinya adalah dengan kampung adat serta anak didiknya. Kampung adat Hukaea-Laea merupakan tanah kelahiran nenek pria berambut ikal ini sebagai pejuang Suku Mornene di masa lalu, ditambah lagi seluruh anak didik SMPS Laea merupakan keluarga besar Djalil.
“Iya semua keluarga saya, yang paling jauh ya sepupu dua kali, dan anak-anak di sini juga semua ini sepupuan dan bersaudara paling jauh sepupu dua kali juga,” ujarnya.
SMPS Laea merupakan hasil swadaya masyarakat yang bergotong royong memberikan biaya agar proses belajar mengajar dapat berjalan lancar. Anak-anak di sini pun sekolah dengan gratis, bahkan untuk sepatu dan baju anak didiknya terkadang diberikan cuma-cuma dari pihak sekolah.
SMPS Laea telah menamatkan siswa-siswinya sebanyak 9 kali sejak sekolah ini berdiri pada tahun 2000 silam dengan mengikuti proses ujian nasional yang dilangsungkan secara serentak di seluruh Indonesia.
Saat ini sudah banyak lulusan sekolah ini melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi, namun adapula yang hanya tamat pada tingkat menengah atas dan memutuskan untuk bekerja membantu orag tua.
“Saya bangga anak-anak disini juga mampu mengikuti UN dengan sukses,” pungkasnya.
Harapan terbesar Djalil agar sekolah yang dipimpinnya itu dapat bersaing dengan sekolah-sekolah lainya dari segi prestasi akademik.
Ke depan sejumlah kegiatan ekstrakulikuler akan dikembangkan di kampung adat ini terutama yang berbau seni dan adat budaya Morenene. Sebagai kampung adat seluruh warga harus tetap menjaga adat di tengah perkembangan zaman sebagaimana aturan yang berada dalam perda yang mengatur terkait kampung adat Hukaea-Laea.
Dan satu hal yang menjadi tantangan terbesar kampung adat ini yaitu dengan berada dalam kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Mereka tidak mudah dan sembarang untuk melakukan pembangunan dan membuka lahan untuk berkebun serta berladang, semuanya memiliki aturan.
Salah satunya untuk membangun rumah warga dilarang menggunakan bahan permanen terkecuali semi permanen termasuk untuk gedung sekolah. Sehingga kampung adat Hukaea-Laea ini dapat dijuluki sebagai kampung yang memiliki aturan adat dan aturan pemerintah. (A)
Reporter: Ilham Surahmin
Editor: Jumriati