OPINI : Bencana kabut asap yang ditengarai terjad akibat kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat sudah terjadi setidaknya sejak tahun 1967. Sejak itu, bencana kabut asap terus berulang tiap tahun. Tahun ini, bencana ‘langganan’ tersebut kembali mengancam negeri ini.
Anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan bahwa di Kalimantan Barat saja sudah terdeteksi sekitar 200 titik api tanpa penanggulangan prosedur yang benar, baik oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun TNI (Viva.co.id, 28/08/2016).
Ambivalensi Kabut Asap
Musibah sebaran kabut asap yang terjadi di sumatera ternyata berpotensi menyebar sampai ke Sulawesi Tenggara. Adanya belokan angin menyebabkan sebaran asap terus bergerak ke Indonesia timur. Apalagi pada musim kemarau, arah angin dominasi bertiup ketimur (Kendari Pos, 30/08/2016).
Menyeruaknya repetisi bencana kabut asap, memamgtak ubah seperti dua kutub yang saling berlawanan. Di satu sisi, pemerintah berdalih tidak tinggal diam atas kebakaran hutan. Namun, di sisi lain, banyak pihak yang mengklaim bahwa kinerja pemerintah dalam menanggulangi persoalan kabut asap ini tidaklah maksimal.
Dilansir dari Merdeka.com (28/08/2016), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, mengatakan bahwa saat ini Indonesia tengah memasuki musim krusial Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Meski jumlah hotspot atau titik api secara nasional berkurang hingga 70-90%, kewaspadaan terus ditingkatkan seiring dengan mulai masuknya musim kering.
Dirinya dapat memahami bahwa rakyat di daerah yang rawan Karhutla tersebut tentu sudah jenuh dengan persoalan asap dan asap lagi. Namun, pihaknya memastikan bahwa negara tidak tinggal diam. Bahkan, pemerintah terus bekerja tiada henti dengan segala kekuatan yang ada untuk menangani Karhutla. Pihaknya tidak ingin bencana ekologis yang membuat daerah tertutup asap selama berbulan-bulan seperti tahun lalu, kembali terulang.
Mantan Sekjen DPD RI ini juga mengatakan bahwa upaya penanggulangan bencana kabut asap oleh tim terpadu hanyalah satu ikhtiar dari banyak instrumen pemerintah. Saat ini, LHK telah melakukan moratorium sementara izin pengelolaan hutan, lahan sawit, dan pengelolaan lahan gambut (Merdeka.com, 28/08/2016).
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, tidak menilai demikian. Ia mengatakan bahwa seharusnya pemerintah mencegah kebakaran hutan dengan mempersiapkan infrastruktur, pembasahan hutan, sekaligus peralatan infrastruktur pencegahan dan penanggulangan dengan pesawat bomber, seperti yang dilakukan negara Malaysia dan Singapura (Viva.co.id, 28/08/2016). Pemerintah seharusnya melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Politisi Gerindra ini menagih janji Presiden Jokowi yang pernah menyebutkan bahwa tahun 2016 tidak akan terjadi kebakaran hutan lagi. Janji tinggal janji! Menurutnya, bila tidak diatasi dengan penanganan yang benar, maka kebakaran hutan tahun ini akan jauh lebih besar daripada tahun lalu.
Bambang juga menilai pemerintah hanya sesumbar dengan berjanji menangkap ‘pelaku’ pembakaran hutan. Pasalnya, jumlah titik api pada 2015 lalu berkisar lebih dari 3.000 titik yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, namun tidak ada satupun yang dijadikan tersangka. Bahkan, hutan Perhutani yang luasnya sekitar 7.000 ha juga ikut ludes terbakar. Ironis!
Janji palsu tersebut terbukti tahun ini melalui adanya pemberian Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga terlibat kebakaran hutan dan lahan. Dilansir dari Republika.co.id (29/08/2016), anggota DPD asal Riau, Intsiawati Ayus, menilai hal ini sebagai tindakan yang tidak adil. Terlebih, setelah beberapa hari yang lalu seorang petugas TNI, gugur saat melakukan pemadaman kebakaran lahan di Riau. “Terus mana rasa keadilan untuk korban asap? Bagaimana dengan hak-hak masyarakat yang jadi korban?” tandasnya kepada Republika.co.id (28/08/2016)
Adapun ketidakadilan lain dalam bentuk kerugian yang ditimbulkan oleh bencana kabut asap tahun lalu, data BNPB (23/10/2015) mencatat sebanyak 900.862 jiwa warga di Sumatera dan Kalimantan telah serangan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sedangkan dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesipada 2015, menurut Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, sekitar lebih dari Rp20 triliun (BBC Indonesia, 17/09/2015). Bagaimana dengan tahun ini?
Biang Persoalan
Penyebab kebakaran lahan dan hutan di Indonsesia sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utamanya. Maka benarlah firman Allah SWT dalam QS ar-Rum ayat 41, yang artinya “Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Peneliti gambut Universitas Riau, Haris Gunawan, mengungkapkan bahwa gambut di wilayah Sumatera dan Kalimantan mudah terbakar karena bentang alam gambut berubah. Area gambut dengan biodiversitas beragam dan basah disulap menjadi area perkebunan dengan satu jenis tanaman dan dikanalisasi untuk mendukung budidaya. Akibatnya, gambut kering dan mudah terbakar (Kompas.com, 10/9/2015).
Adapun menurut Direktur Eksekutif Walhi Nasional Abetnego Tarigan, akar persoalan dari bencana kabut asap tersebut bersumber dari monopoli penguasaan tanah oleh segelintir orang (Kompas.com, 12/9/2015). Peneliti CIFOR, Herry Purnomo, juga membenarkannya. Ia mengungkapkan bahwa kebakaran hutan adalah kejahatan yang terorganisir karena lebih dari 90% disebabkan manusia atau sengaja dibakar. Tujuannya, membuka lahan perkebunan(Rappler.com, 4/9/2015).
Herry juga menjelaskan bahwa pembakaran hutan merupakan cara yang paling murah untuk mengubah lahan hutan menjadi kebun kelapa sawit sekaligus mendongkrak harga lahan. Biaya lahan yang dibakar hanya $10-20 perhektar, sementara lahan yang dibersihkan secara mekanis membutuhkan $200 perhektar (BBC Indonesia, 24/9/015). Di luar dari masyarakat yang menderita kerugian akibat kabut asap, sekelompok orang justru menikmati hasil dari kebakaran hutan.
Hal ini diperparah oleh adanya ego daerah akibat sistem politik dan otonomi daerah yang kebablasan juga makin menyulitkan. Program yang dicanangkan pusat tidak berjalan efektif di daerah. Kepemimpinan yang kuat dari seorang kepala negaralah yang bisa mengatasi problem sektoral sehingga semua sektor bergerak bersama, harmonis dan maksimal. Sayangnya, hingga kini hal itu belum terlihat.
Solusi Holistik
Konstelasi sistem yang dimotori oleh kapitalis menjadikan bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit dituntaskan. Pasalnya, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swastademi kepentingan ekonomi.
Berbeda dengan sistem Islam, bencana kebakaran hutan dan lahan akan ditanggulangi secara tuntas melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis). Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). RasulullahSAW. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad) Sehingga, sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta (baik individu maupun perusahaan)
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan. Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah.
Adapun secara ijrâ’i, pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu; dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Pendekatan secara ijrâ’i ini dapat ditempuh dengan penanganan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk penanganan jangka pendek, maka harus segera dihentikan kebakaran lahan dan hutan yang menjadi sumber kabut asap. Berbagai cara yang sudah dilakukan seperti water bombing, hujan buatan, pemadaman darat, pembuatan sekat kanal, pembuatan sumur, penyekatan area, menggerakkan masyarakat dan pemilik lahan, baik perorangan maupun perusahaan harus terus dimaksimalkan.
Perlu pula diberikan pelayanan kesehatan dan bantuan kepada korban kabut asap secara gratis dan besar-besaran, mengingat jumlah korban sangat besar dan cakupan wilayahnya sangat luas. Kemudian,penindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku pembakaran dan siapa saja yang terlibat harus dilakukan secara tegas dan tidak tebang pilih. Selama ini masyarakat melihat, penindakan baru menyentuh ‘pelaku’ yang kecil, sementara yang besar dibiarkan.
Untuk penanganan jangka panjang, maka harus diadakan infrastruktur guna mencegah dan mengatasi kebakaran lahan dan hutan; baik berupa pembuatan kanal, penghutanan kembali, pembuatan sumur sumber hidran, embung, tata ruang dan lahan, termasuk mungkin pembelian pesawat water bombing yang diperlukan.Wallahu ‘alam bisshawab.
Oleh: Hasni Tagili
(Dosen Universitas Lakidende & Aktivis MHTI Konawe)