Lebaran hampir tiba. Sesuai penanggalan, 10 Dzulhijjah 1437 Hijriah akan jatuh pada hari Senin, 12 September 2016 Masehi. Sepertinya, mayoritas umat Islam di Indonesia akan merayakan Idul Adha secara bersamaan. Dua organisasi besar yang memayungi umat Islam di negeri ini, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, sepakat soal penanggalan ini.
Idul Adha ditandai dengan berhaji dan pemotongan hewan qurban. Umum terjadi, puncak penyembelihan hewan qurban di hari 10 Dzulhijjah, meskipun masih dapat dilakukan setelahnya selama hari tasyrik.
Hukum berkurban menurut Imam Hanafi adalah wajib. Sedangkan pendapat kedua menyatakan sunah muakkadah. Perbuatan sunah yang sangat dianjurkan. Pendapat ini dikemukakan salah satunya oleh Imam Syafi’i, yang mazhabnya mayoritas dianut oleh umat Islam di Indonesia.
Tapi perbedaan pendapat kedua mazhab ini lebih pada tafsir tentang kemampuan seseorang untuk berqurban. Dalam hal ini kemampuan dalam konteks ekonomi/finansial untuk membeli atau mengadakan hewan qurban. Kalau interpretasi saya salah, mohon dikoreksi.
Dengan demikian, pelaksana qurban adalah orang per orang. Bukan lembaga atau atas nama lembaga apapun. Karena hakikat berqurban adalah pembuktian ketaatan seorang manusia atas Tuhan dengan menyembelih hewan terbaik yang dimilikinya.
Pemaknaannya menjadi lain ketika qurban itu kemudian beratasnama lembaga tertentu, termasuk lembaga negara. Maknanya “diperluas” menjadi ketaatan sebuah institusi terhadap Tuhan. Rasanya janggal. Aneh. Disorientasi.
Di Indonesia, hal semacam ini lumrah. Saban tahun, ketika Idul Adha dirayakan, disusul dengan pengumuman angka-angka statistik tentang jumlah hewan yang diqurbankan, termasuk siapa dan “apa” yang berqurban.
Jika kepentingannya data statistik semata untuk melihat trend peningkatan atau penurunan jumlah hewan qurban setiap tahun, maka informasinya cukup jumlah dan sebaran wilayah administratif atau geografisnya. Pengumuman tentang siapa yang berqurban menjadi tidak perlu. Bukankah peribadahan seseorang hanya urusan dia dengan Tuhannya tanpa perlu diumum-umumkan?
Semakin tak relevan jika mengumumkan “apa” yang berqurban. Makna “apa” dalam hal ini merujuk pada lembaga atau institusi. Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/walikota, dinas A, biro B, perusahaan X, dan seterusnya.
Saya gagal memahami tujuan yang ingin dicapai ketika nama lembaga tertentu diatasnamakan dalam ibadah qurban ini. Qurban bukan sedekah atau sumbangan ke masjid yang dengan mengumumkannya ketahuan akan kemana ucapan terima kasih diucapkan sekaligus berefek samping pada gelar “dermawan”.
Qurban pun tidak selalu bermakna menyedekahkan daging hewan itu ke orang yang kemampuan ekonominya lemah. Qurban bisa menjadi hadiah untuk orang-orang yang kita kenal tanpa sekat kaya-miskin.
Di institusi negara seperti contoh yang disebutkan di atas, telah mentradisi kurban dengan mengatasnamakan lembaganya. Paling tidak ada tiga cara yang kerap dilakukan saat berqurban.
Pertama, sejumlah orang di instansi itu urun-urunan untuk membeli hewan qurban (biasanya sapi).
Mereka lalu “melaporkan” qurban dari dinas X sebanyak tiga ekor sapi, misalnya. Penerima qurban akan diberitahu bahwa daging qurban yang diterimanya berasal dari dinas X.
Jika penerima qurban sedikit “kepo”, dia akan menanyakan siapa kepala dinasnya. Dan kepadanya ucapan terima kasih dihaturkan, baik langsung atau tidak langsung. Padahal, belum tentu yang berqurban itu adalah sang kepala dinas. Tidak berarti bahwa kita harus menunggu-nunggu ucapan terima kasih.
Cara kedua, pimpinan instansi atau pejabat di bawahnya berqurban secara mandiri (tanpa urunan), lalu mengatasnamakan instansinya saat dilaporkan untuk diumumkan.
Ketiga, instansi itu mencari “dana taktis” dari anggaran yang dikelolanya, selanjutnya dibelikan hewan qurban. Dilaporkan dengan mengatasnamakan institusi. Coba tanya Pak Imam yang menyembelih, atas nama siapa qurban ini diniatkan? Pasti sejumlah orang, bukan institusi.
Terlepas dari diskursus qurban oleh “siapa” atau “apa”, Anda mencium “bau tak sedap” di cara yang terakhir? Jika ya, penciuman Anda cukup tajam. Ritual ibadah itu seharusnya wangi, bukan berbau tak sedap.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial