ZONASULTRA.COM, KENDARI – Senja mulai menampakkan wajahnya. Menutupi terang dengan gelap bernoda putih. Kumuh dan bau, itulah yang terbayang ketika berkunjung di tempat pembuangan akhir sampah (TPAS) Kota Kendari.
Menyebut nama TPAS, sudah tergambar jelas semua jenis sampah terdapat di sana. Banyak pemulung mengantungkan nasibnya di sini. Di kawasan TPAS yang diakui terbaik di Indonesia ini, rumah-rumah warga tersusun rapi. Rumah terbuat dari dinding papan dicat dengan warna yang sama, biru dan putih. Dinding rumah dihiasi dengan pot kecil bunga warna warni.
Suguhan alam hijau akan memanjakan mata. Sepanjang jalan ketika memasuki TPAS, pohon-pohon rindang menjadi penyejuk. Tanah yang jatuh dari mobil pengangkut, berserakan di jalan. Mengendap di aspal menjadi debu dikala terik, ketika turun hujan pun akan menjadi becek kemerahan.
Dari dalam sebuah rumah sederhana, seorag pemulung terlihat lelah usai mengumpulkan sampah plastik. Dia adalah Sapiudin. Kakek berusia 66 tahun ini, bekerja sebagai pemulung baru dijalaninya selama dua tahun. Ayah tiga orang anak ini awalnya adalah seorang petani di desa Motaha, Konawe Selatan.
Selain menjadi petani, ia juga sesekali menjadi nelayan. Menurut Sapiudin, rumah yang ia tinggali di desa Motaha dulu, berdekatan dengan laut. Bekerja sebagai nelayan, ia lakoni untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saat itu.
“Saya datang ke sini sejak 2014 bersama istri dan anak ku,” tuturnya, saat memulai ceritanya kepada zonasultra.id, Sabtu (10/9/2016) lalu.
Kakek yang berusia 66 tahun ini mulai sakit-sakitan. Ia tak bisa lagi bekerja keras. Dengan sisa tenaga yang dimiliki, ia mencoba tetap mengais rezeki dari sampah. Mengandalkan kartu BPJS dari pemerintah, ia memeriksa kesehatannya. Penolakan pun sering ia terima.
Bukan hanya itu, pelayanan yang diberikan pihak puskesmas maupun rumah sakit kurang bersahabat. Kakek ini bercerita didampingi istrinya yang hanya diam. Sesekali tersenyum dengan wajah yang sudah menua.
Dari hasil memulung, Sapiudin hanya bisa memperoleh Rp 500.000 per bulan. Meski kecil, ia sangat mensyukurinya.
“Saya upah segitu aja udah bersyukur nak. Alhamdulillah, insya allah rezeki yang saya dapat halal,” cerita kakek 5 orang cucu ini.
Menjemput mentari dengan mengais sampah yang masih bisa diolah. Sejak sakit hampir sebulan, ia belum sepenuhnya bisa kembali bekerja. Katanya, ia memulai pekerjaan dari jam 6 sampai 9 pagi.
“Saya sudah tua, tenaga juga tidak sekuat dulu. Jadi kadang cepat pulang untuk istirahat,” kata kakek yang sudah berambut putih ini.
Rumah tempat ia tinggali bersama istri dan satu orang anaknya ini merupakan lahan yang diberikan pemerintah. Lahan tersebut hanya sebatas dipinjamkan oleh pemerintah saja.
Lampu rumahnya saat itu padam. Ia menggunakan lampu tembok dengan cahaya terpancar seadanya.
Rumah sederhana berdinding papan tempat Sapiudin dan keluarga berlindung dari panas dan hujan. Langit-langit rumah tanpa plafon penuh sarang laba-laba. Kursi dan meja yang digunakan pun sudah tak layak dipakai lagi.
Kakek yang sudah ompong ini, menceritakan bahwa dua anaknya sudah berkeluarga. Tinggal terpisah dengan anak dan menantunya. Ia memiliki seorang anak laki-laki yang masih bersekolah. Anak bungsunya masih bersekolah disalah satu sekolah di Kota Kendari.
Demi anaknya yang bersekolah ini pula lah, ia tetap bekerja untuk bertahan hidup. Istrinya yang sudah sepuh tetap setia mendampinginya.
Meski bekerja sebagai pemulung, ia tetap senang dan mensyukurinya. Baginya, memulung adalah pekerjaan yang halal dan mulia, daripada harus meminta-minta. Mensyukuri nikmat kehidupan tanpa mengeluh. Ikhlas dan sabar, karena rezeki sudah diatur oleh Allah SWT. (A)
Reporter : Sitti Nurlamasari
Editor : Rustam