Djakarta adalah koentji. Sedikit memplesetkan kalimat DN Aidit dalam film G30S/PKI yang diperankan oleh almarhum Syubah Asa –seorang wartawan sekaligus seniman. Kalimat sebetulnya adalah Djawa adalah koentji. Kala itu, penulisan masih menggunakan ejaan lama. Ucapan Aidit merupakan salah satu kalimat kuat dalam film dokudrama ini.
Rasanya, tidak perlu menjelaskan makna kalimat Aidit. Pun semua sudah mahfum makna pleseten di atas. Betapa pentingnya Jawa wa bil khusus Jakarta. DKI adalah ibukota negara. Habitat para pemegang kemudi bangsa. Penduduknya besar. Masalahnya berpilin berkelindan. Jakarta goyang, bergetar republik ini.
Sebagian kita yang bukan warga Jakarta tidak begitu peduli dengan pilkada di sana. Tidak peduli Ahok yang berani, tegas, dan bermulut tanpa rem itu kembali jadi gubernur atau tidak. Bagi sebagian warga Kendari (KDI), masalah Jakarta adalah masalah orang Jakarta yang tidak perlu ikut diributkan. Toh, kita hidup di KDI, bukan di DKI.
Tapi tidak demikian setelah ada penantangnya yang diterima publik dengan antusias. Anies Baswedan. Mereka yang selama ini diam, bahkan mungkin apatis, mendadak tergerak hatinya setelah Prabowo Subianto memilih tim strategi Joko Widodo ini menantang Ahok.
Sangat beda rasanya penerimaan publik ketika nama Yusril Ihza Mahendra masih disandingkan dengan Sandiaga Uno. Entah kenapa publik seperti kurang sreg terhadap pendiri Partai Bulan Bintang ini. Barangkali karena Yusril politisi sedangkan Anies penginspirasi. Anies dipersepsi lebih tulus (baca: jujur). Saya menangkapnya begitu.
Rasa memiliki terhadap Jakarta kemudian tumbuh dan bermekaran setelah Anies masuk dalam gelanggang. Warga Kendari tidak melulu berdebat tentang Pilkada KDI. Ada diskusi alternatif yang tak kalah seksinya.
Ada ceruk aspirasi yang selama ini gagal diisi oleh Ahok dan itu ditawarkan Anies. Pembangunan adalah dalam rangka memanusiakan manusia. Jalan, jembatan, perumahan, selokan, kanal, revitalisasi, dan lain sebagainya diperuntukkan bagi manusia seluruhnya. Tidak parsial. Tidak memarjinalkan. Tidak menyingkirkan satu golongan manusia demi kepentingan golongan manusia lainnya atas nama keteraturan. Pembangunan adalah pelibatan semua manusia di dalamnya.
Anies menjadi antitesis Ahok. Jika Ahok jujur, Anies tulus. Ahok keras, Anies lemah lembut. Ahok kasar, Anies sopan. Semua hal baik yang ada pada Ahok dijawab Anies dengan kebaikan lain yang setara. Satu kelebihan Ahok bahwa dia sudah punya jejak di Jakarta, sedangkan Anies hanya seumur jagung di kementerian pendidikan.
Bagaimana Pilkada Kendari? Adakah pemimpin yang kualitas ketegasan dan kejujurannya menyamai –atau paling tidak mendekati– Ahok? Adakah calon Walikota Kendari yang mampu menginspirasi seperti Anies?
Memang tidak setara membandingkan Pilkada DKI dan KDI, tapi nilai-nilai kepemimpinan yang dimiliki seorang pemimpin tetaplah sama. Yang membedakan adalah kadarnya. Kualitasnya. Tentang dimana seorang pemimpin mengabdi, itu hanya soal jumlah dan dan ruang lingkup.
Mudah-mudahan Pilkada KDI seperti halnya Pilkada DKI yang bertujuan memilih seorang pemimpin. Jika Pilkada Kendari tidak bertujuan ke arah sana, maka Pilkada Jakarta jauh lebih seksi. Terlepas bahwa kita hidup di Kendari.***
Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial