ZONASULTRA.COM, JAKARTA– Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) menggelar sidang perdana permohonan gugatan praperadilan yang diajukan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, Selasa (4/10/2016). Sidang perdana praperadilan ini dipimpin oleh Hakim tunggal, Wayan Karya dengan tergugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Baik Nur Alam maupun pimpinan KPK sendiri tidak hadir dalam sidang perdana praperadilan. Nur Alam selaku pemohon diwakilkan oleh Penasehat Hukum (PH) Maqdir Ismail dan tim kuasa hukumnya. Sementara dari pihak KPK selaku termohon diwakili oleh Kepala Biro Hukum KPK Setiadi.
Sidang yang dimulai pukul 10.30 Wib ini membacakan gugatan yang dilayangkan oleh Maqdir cs terhadap termohon (KPK). Diantaranya adalah gugatan penetapan tersangka Nur Alam menurut pihaknya tidak sah.
Alasan praperadilan yang diajukan berkenaan dengan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dipersangkakan oleh KPK telah melanggar pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor. Pasal ini pernah digugat oleh PT. Prima Nusa Sentosa di Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam putusannya Mahkamah Agung memutuskan bahwa penerbitan IUP tersebut sesuai dengan kewenangan dan prosedur dalam penerbitan IUP, sehingga berdasarkan ketentuan padal 37 huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara, adalah menjadi kewenangan gubernur untuk penerbitan izinnya.
(Artikel Terkait : Abaikan Panggilan KPK, Maqdir: KPK Tidak Boleh Abaikan Hak Calon Tersangka)
Dalam penetapan Nur Alam sebagai tersangka ini, belum ada penghitungan kerugian keuangan sebagai elemen pokok dugaan perbuatan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006. Bahwa dalam perkara ini, ketika Nur Alam ditetapkan sebagai Tersangka pada tanggal 15 Agustus 2016 (saat keluarnya SprinDik 15 Agustus 2016), tidak ada perhitungan kerugian keuangan negara yang jumlahnya nyata dan pasti serta dilakukan oleh ahli yang berwenang menurut UU yakni BPK.
Alasan lainnya juga, sesuai dengan UU KPK, KPK tidak diperkenankan melakukan penyelidikan ketika ada lembaga lain sedang melakukan penyelidikan atas obyek yang sama. Dalam MoU antara KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian Negara RI, terkait dengan ketentuan pasal 6, 7, dan 8 UU KPK.
Kejaksaan Agung sedang melakukan penyelidikan, berdasarkan Surat perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-04/F.2/Fd.1/01/2013 tanggal 15 Januari 2013. Kejaksaan Agung RI menerbitkan surat dengan No. R-391/F.2/Fd.1/08/2015 tertanggal 24 Agustus 2015 yang ditujukan kepada Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Keuangan (PPATK), menyatakan bahwa, “ Sehubungan dengan surat dari PPATK Nomor 604/1.03.1/PPATK/12/12/SR tanggal 12 Desember 2012.
Perihal surat tersebut yakni bahwa hasil analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana korupsi atas nama Nur Alam dan berdasarkan hasil penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama Nur Alam, ternyata sampai saat ini belum ditemukan alat bukti yang cukup untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Dengan kata lain sampai dengan tanggal 23 Agustus 2015 Kejaksaan Agung masih melakukan penyelidikan.
(Artikel Terkait : Jelang Sidang Praperadilan, Massa Nur Alam Padati Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)
Akan tetapi ternyata berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan No.: Sprin.Lidik-26/01/04/2015 tanggal 06 April 2015 (sesuaikonsiderans Surat Permintaan Keterangan No. R-299/22/03/2016 tanggal 10 Maret 2016 yang diterbitkan KPK), KPK melakukan penyelidikan perkara yang sama dengan perkara yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung RI berdasarkan surat perintah penyelidikan tanggal 15 Januari 2013, sehingga terjadi duplikasi penyelidikan.
“Ini adalah pelanggaran terhadap UU KPK dan MOU KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penyelidik KPK,” kata Maqdir.
Untuk diketahui, Nur Alam disangkakan atas dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) dalam persetujuan pencadangan wilayah pertambangan, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), eksplorasi dan persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT. Anugrah Harisma Barakah (AHB) di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) tahun 2008-2014. (A)
Reporter: Rizki Arifiani
Editor : Rustam