Hampir dua minggu tiga pasangan calon Walikota-Wakil Walikota Kendari resmi mendaftar di KPU. Dalam rentang waktu hingga 21 Oktober 2016, terdapat tiga agenda utama KPU sebagai penyelenggara, yaitu pengumuman perbaikan dokumen untuk memperoleh tanggapan masyarakat, penelitian hasil perbaikan syarat dukungan calon perseorangan, dan penelitian hasil perbaikan syarat calon.
Agenda kedua dapat diabaikan karena sama sekali tidak ada calon perseorangan. Lalu pada tanggal 22 Oktober 2016, KPU mengagendakan penetapan pasangan calon.
Penetapan ini bukan berarti para kandidat sudah benar-benar aman sebagai kandidat. Masih ada ruang yang bisa menggugurkan mereka jika sewaktu-waktu ada persoalan. KPU tetap mengagendakan sengketa pencalonan dalam rentang waktu 22 Oktober 2016 hingga 16 Januari 2017. Kepastian calon sesungguhnya baru bisa diklaim setelah tanggal 19 Januari 2017.
Pemungutan suara diagendakan pada 15 Februari 2015. Artinya, interval waktu antara kepastian formal keikutsertaan para kandidat walikota dengan jadwal pemilihan kurang dari satu bulan. Di rentang waktu itu, para kandidat baru bisa tidur nyenyak bahwa mereka sudah resmi menjadi calon.
Pengantar di atas untuk memberi konteks tentang kapan sesungguhnya para kandidat ini mulai memaparkan visi misinya memimpin Kota Kendari. Jika kandidat menjadikan agenda di atas sebagai patokan utama penebaran gagasannya ke pemilih, maka waktunya kurang dari empat minggu untuk menargetkan seluruh pemilih.
Akan tetapi maksud tulisan ini sesungguhnya adalah mempertanyakan mana ide-ide para calon walikota setelah sekian lama kita semua berdialektika dalam rangka pilwali ini. Sedikit sekali kita menemukan tuangan pemikiran para kandidat mengenai hendak dia apakan kota ini di bawah kepemimpinannya.
Sejauh yang saya ikuti di sepanjang hiruk pikuk pilwali ini, kita hanya dipertontonkan politik kemasan, alih-alih politik gagasan. Diskusi, debat, dan tengkar-tengkar yang terjadi hanya baru di tahap bagaimana mengemas para kandidat terlihat bersih, terkesan cerdas, berperilaku terpuji, keturunan apa/siapa.
Apa dampaknya? Semakin berupaya Adriatma Dwi Putra ditampilkan merangkul jelata dengan senyum hangatnya, semakin gencar video dirinya sedang memaki-maki polisi di saat remaja. Semakin ditampilkan Abdul Razak sebagai orang yang berperilaku terpuji, kian diobrak-abrik keterpujiannya karena bersedia berpasangan dengan mantan terpidana korupsi yang sama sekali tak punya rekam jejak mengabdi untuk kota ini. Semakin digadang-gadang sebagai orang bersih, kian dibombardir Zayat Kaimoeddin sebagai mantan terpidana korupsi.
Debat dengan tema seperti itu kemudian bermuara perselisihan, penyerangan terhadap pribadi sesam pendukung, dan suguhan kata-kata kasar yang lepas sensor dan kontrol. Dan atas fenomena itu, saya alergi menggunakan kosakata “pesta” (demokrasi) dalam momen pilkada (pemilu secata umum). Pesta sejatinya adalah bersenang-senang bersama. Di pilkada, kita hanya menemukan makna “bersenang-senang di atas penderitaan orang lain”.
Politik kemasan adalah pertarungan citra. Pertarungan penseolah-olahan. Diseolah-olahkan bersih, padahal tidak. Diseolah-olahkan terpuji padahal tidak. Dua kutub ini akan selalu berhadap-hadapan. Saling menjatuhkan satu sama lain. Di sinilah politik itu menjadi kegiatan berbiaya mahal.
Uang dibagi, sarung dihambur untuk mencitrakan seorang kandidat terlihat dermawan kalau tidak disebut transaksional. Seperti pedagang. Pedagang suara. Membeli suara rakyat beberapa ratus ribu lalu (berharap) mengangkangi uang negara untuk mengembalikan “modal”-nya.
Jarang sekali diskusi kita dipanaskan oleh, misalnya, apa gagasan Adriatma yang mewarnai dinamika parlemen provinsi ketika duduk sebagai anggota DPRD Sultra dan termasuk salah satu ketua komisi.
Tidak pernah kita menemukan debat tentang jumlah peraturan daerah (perda) yang dihasilkan DPRD Kendari di bawah kepemimpinan Razak. Itu belum termasuk kualitas perda maupun efektifitas penerapannya di lapangan. Kita tidak pernah menyaksikan adu argumen tentang sikap DPRD Kendari yang menjewer kuping pemerintah daerah atas tingginya tarif PDAM yang airnya keruh itu.
Kita pun tidak pernah menyaksikan perdebatan tentang gebrakan apa yang dilakukan Zayat ketika masih menjabat kepala biro pemerintahan provinsi, atau yang teranyar prestasi dia memimpin Kabupaten Muna dalam menggelar pilkada yang hampir memiliki rekor tersendiri karena pemungutan suara ulangnya yang berjilid-jilid.
Harusnya diskusi kita (sudah beralih) ke situ setelah sekian lama kita berkutat di meriahnya politik kemasan. Ketika Adriatma, Razak, dan Zayat beserta calon wakilnya masing-masing ditanya tentang peran pengabdian mereka masing-masing, maka kita akan mendapat gambaran awal bahwa di tangan mereka kota ini menuju kemana. Kita seharusnya sudah bergeser ke politik gagasan.
Oleh karena itu, saya cukup mengapresiasi langkah Zayat berserta pasangannya Suri Syahriah Mahmud yang mendatangi kantor media memaparkan secuil visi misinya. Zayat-Suri akan menaikkan anggaran pendidikan dari 20 persen menjadi 25 persen, berjanji memperbaiki PDAM, mengembangkan ekonomi kreatif, menambah rumah sakit (swasta) baru agar pelayanan rumah sakit pemerintah meningkat karena adanya persaingan.
Zayat-Suri juga menargetkan satu setengah tahun atau dua tahun paket kepemimpinannya, semua lorong di Kendari akan teraspal, yang sumbernya bukan APBD melainkan dana alokasi khusus.
Saya berusaha mencari gagasan konkrit yang dibawa oleh Adriatma dan Razak , tapi sejauh ini belum menemukannya, baik di media massa maupun media sosial yang mereka miliki (jika ada sahabat-sahabat yang punya informasi jelas tentang gagasan mereka, dengan senang hati saya menerima inputnya. Lebih valid lagi jika mereka langsung yang berpartisipasi).
Ketika gagasan-gagasan mereka kita perhadap-hadapkan, kita pun leluasa memberikan timbangan-timbangan. Melihat mana yang paling rasional, lalu menjatuhkan pilihan. Dan yang paling penting, kita punya pegangan untuk menagihnya kelak jika mereka ingkar. Yah, kita sedang mengais gagasan di tengah rimbunnya kemasan.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial