Saat ini zaman semakin modern, begitu juga dengan teknologinya yang kian canggih. Tetapi sayangnya, tak semua orang menggunakan akal sehatnya untuk berpikir logis terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi sebagai contoh kasus Kanjeng Dimas yang konon mampu menggandakan uang yang saat ini marak terjadi di masyarakat yang mengiginkan sesuatu (materi) yang instan namun tidak sebanding dengan usaha mereka. Keadaan tersebut pun tak jauh berbeda pada masa sebelum hijrah. Apakah sebenarnya yang melatar belakangi semua itu? Dan bagaimana Islam menyelesaikan persoalan tersebut?
Menjamurnya Pemburu Harta
Sejumlah modus penggandaan uang yang dilakukan oleh Taat Pribadi, Guru Besar Padepokan Kanjeng Dimas Taat Pribadi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Salah satu modusnya, para pengikut padepokan tersebut diberi peti ajaib berukuran kecil seperti kotak amal. Kotak tersebut dilengkapi dengan kunci gembok. Kotak itu dipercaya berisi uang berlipat ganda yang tiba-tiba muncul beberapa lama setelah korban menyetor uang lewat kordinator pengikut Taat di Situbondo. Namun nyatanya, uang yang dipercaya muncul secara gaib itu tak ada. Anehnya, sampai sekarang masih ada pengikut Taat yang percaya ihwal kotak ajaib tersebut. Di Situbondo diperkirakan ada ratusan pengikut Taat. Modus lainnya adalah pengikutnya menyerahkan mahar sejumlah uang jutaan rupiah dan membaca amalan atau wirid. Ribuan pengikut Taat tersebar di seluruh Indonesia. Mereka bukan hanya masyarakat biasa, tokoh nasional ada yang menjadi pengikut Taat. ( tempo.co, 28/9/2016)
Akademikus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, menilai maraknya kasus dugaan penipuan dan pelecehan berkedok agama, seperti yang dilakukan Gatot Brajamusti dan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, merupakan sebuah gejala kultus. Azyumardi menjelaskan, pengkultusan masih terjadi di masyarakat karena terjadi krisis karakter. Banyak yang menempuh jalan instan dalam menyelesaikan masalah, seperti utang piutang, ambisi politik, dan jabatan. Azyumardi mengatakan muncul penipu atau con man dengan menciptakan kultus untuk membangun karisma melalui penampilan, kepintaran berbicara, dan retorika menggunakan argumentasi agama. Gatot Brajamusti selama ini dikenal sebagai guru spiritual para selebritas dan pengusaha. Biduanita Reza Artamevia dan aktris Elma Theana pernah menjadi murid Gatot di Padepokan Brajamusti. Setelah tertangkapnya Gatot untuk kasus penggunaan narkotik oleh Kepolisian Resor Mataram, terungkap pula dugaan praktek ritual seks yang dilakukannya selama ini. Dia disebut memperdayai korban dengan sabu-sabu, kemudian melakukan pesta seks. ( tempo.co, 29/9/2016)
Penelusuran jajaran Polda Sulawesi Selatan terkait kasus heboh penggandaan uang oleh Dimas Kanjeng Taat Pribadi membuahkan hasil ada indikasi sekitar 2.180 orang yang menjadi korban penipuan modus penggandaan ini. Kombes Frans menambahkan, sebenarnya sudah ada 12 orang Makasssar yang melaporkan kasus penipuan modus penggandaan uang Dimas Kanjeng Taat Pribadi tapi semuanya langsung melaporkan ke Polda Surabaya Jawa Timur. Kombes Frans mengatakan Polda Sulsel saat ini terus berkoordinasi dengan jajaran Polda Jatim untuk mengawal dan melaporkan setiap perkembangan kasus ini. Sementara itu, besok lusa beberapa tim penyidik dari Polda Jatim akan mengecek juga ke Makassar. (fokussulsel.com, 2/10/2016).
Klenik Berkedok Agama
Sesungguhya masyarakat saat ini hampir sama dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Maka wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi saat ini sebagai “Jahiliah Modern”. Sebagai contoh dari segi akidah, berbagai kemusyrikan dan aliran sesat terus bermunculan. Di negeri ini, mencuatnya kasus Kanjeng Dimas begitu juga dengan Gatot Brajamusti sebenarnya melengkapi kasus-kasus yang telah ada sebelumnya seperti kasus Guntur Bumi, Eyang Subur, Lia Eden, dan lain-lain, ini menggambarkan betapa sebagian umat ini masih percaya dengan orang-orang ‘aneh‘ yang berpenampilan layaknya seorang syaikh, wali (bahkan mengaku nabi), guru spiritual, orang pintar, ahli hikmah, dan lain-lain. Padahal sejatinya mereka menggambungkan penyembahan terhadap jin dengan berbagai tindak kejahatan misalnya penipuan, pelecehan terhadap wanita, bahkan pesta narkoba!
Perdukunan dan fenomena paranormal yang terus berkembang padahal sudah jelas keharamannya semua ini tentunya berpangkal pada kerusakan akidah umat saat ini yang menganut paham pemisahan agama dari kehidupan(sekularisme). Saat agama dipisahkan dari kehidupan dan tidak dijadikan pedoman hidup, umat Muslim banyak yang kehilangan pegangan hidup. Mereka tidak bisa lagi menentukan persoalan dengan benar, termasuk dalam perkara supranatural/gaib. Mereka lebih menuruti perasaan atau mencoba mengilmiahkan hal-hal gaib tersebut. Akibatnya, mereka dengan mudahnya akan terjerat dalam budaya takhayul dan khurafat.
Sejatinya perkara gaib tak mungkin dapat dibahas secara rasional karena memang tak dapat diindera dan dijangkau oleh akal manusia. Seluruh hal gaib memerlukan penjelasan dari Allah SWT Yang Maha mengetahui hal yang tampak maupun yang gaib. Justru tatkala seseorang berusaha merasionalkan hal gaib, ia sebenarnya telah jatuh dalam kesesatan (QS al-An’am [6]: 59).
Selain itu, hal penting dari penyebab maraknya praktek perdukunan ataupun paranormal yakni adanya paham pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) yang sudah membuat umat Muslim jauh dari agama mereka. Sayangnya, hari ini sekularisme malah dijadikan pegangan hidup. Umat Muslim tak lagi menjadikan akidah Islam sebagai dasar perkara gaib maupun kehidupan dunia, sekaligus sebagai dasar pembuatan undang-undang. Akibatnya, takhayul dan khurafat semakin merebak serta diterima oleh banyak kalangan, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi namun dangkal pengetahuan agamanya.
Disamping itu, keadaan diperparah karena negara tidak melindungi akidah kaum muslim. Dalam hal ini, negara tidak melarang praktik perdukunan dan paranormal berkembang di masyarakat. justru profesi paranormal mendapat tempat istimewa di tengah-tengah masyarakat. Mereka diperlakukan seperti selebritis dan kaya-raya. Tidak sedikit pengusaha, pejabat pemerintahan dan para intelektual lebih percaya kepada para dukun ataupun paranormal dari pada al-Quran dan as-Sunnah. Miris! Padahal syariah Islam telah menetapkan bahwasanya tukang sihir harus diberi sanksi keras karena merusak akidah umat. Sebagaimana Nabi saw. bersabda yang artinya, Hukuman bagi tukang sihir adalah dengan dipenggal lehernya dengan pedang (HR at-Tirmidzi).
Kacamata Islam
Fenomena perdukunan ala Dimas Kanjeng sebenarnya telah sering terjadi di negeri ini dan cukup marak. Tak sedikit dari berbagai kalangan masyarakat sudah biasa menggunakan jasa mereka untuk berbagai kepentingan. Misalnaya di setiap Pilkada atau Pemilu banyak para caleg/calon kepala daerah yang meminta bantuan paranormal atau dukun. Mereka dengan senang hati akan melakukan apa saja sebagaimana yang diminta oleh para dukun seperti tirakat di sungai, di gua, memberi sesaji, dan lain-lain demi untuk terpenuhinya keinginan mereka. Padahal praktik-praktik seperti itu haram. Sebagaimana Nabi saw. bersabda yang artinya, Siapa saja yang mendatangi seorang peramal, lalu dia bertanya kepada dukun itu tentang suatu hal, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh malam (HR Muslim). Begitu juga hadis lainya yang artinya, Siapa saja yang mendatangi seorang dukun atau peramal, lalu membenarkan apa yang dikatakan dukun atau paranormal itu, maka dia telah kafir terhadap apa (al-Quran) yang diturunkan kepada Muhammad saw. (HR Ahmad).
Begitu juga larangan meminta perdukunan dan membuka praktek perdukunan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, Bukanlah termasuk golongan kami orang yang mencari perdukunan atau melakukan perdukunan. (HR Thabrani). Sangat jelas dalam hadits ini Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang meminta bantuan dukun atau memberi bantuan perdukunan.
Selain itu juga, hukum harta hasil perdukunan. Berikut ini hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan tentang hukum harta yang diperoleh melalui praktek perdukunan, Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang (memakan) hasil jual anjing, upah pelacur dan upah dukun. (HR Bukhari, Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa perdukunan, mendatangi dukun, mempelajari perdukunan, ilmu nujum, meramal dengan pasir, gandum dan batu kerikil, termasuk mengajarkan semua hal ini adalah haram dan mengambil upah atasnya juga haram berdasarkan dalil yang shahîh”.
Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa Abu Bakar ash-Shidiq Radhiyallahu anhu pernah diberi makanan oleh hamba sahayanya. Setelah makanan itu ditelan Abu Bakar ash-Shidîq Radhiyallahu anhu, hamba sahaya tersebut bertanya kepadanya, “Tahukah Anda dari mana makanan ini?” Abu Bakar menjawab, “Tidak!” Jawab hamba sahaya, “Dulu semasa jahiliyah aku pernah berpura-pura jadi dukun, lalu ini upahnya,” maka Abu Bakar Radhiyallahu anhu memasukkan anak jarinya ke kerongkongannya hingga ia memuntahkan apa yang ada dalam perutnya.
Semua ini karena umat Islam telah mencampakkan aturan-Nya. Begitu juga akibat sekularisme yang semakin menancap di negeri ini sejak ditanamkan oleh para kafir penjajah hingga saat ini. Karena itu hendaknya umat Islam kembali pada aturan Allah SWT dengan melaksanakan semua aturan-Nya. Bahwasanya Islam merupakan agama yang mulia, memuaskan akal, sesuai fitrah manusia dan menenteramkan jiwa. Tetapi, keutuhan dan keagungan Islam tak mungkin dapat dirasakan tanpa adanya penerapan syariah Islam dalam naungan sebuah Institusi. Karena sesungguhnya Islam tak mungkin dapat hidup bersama-sama dengan sekularisme. Sekularisme membuat kerusakan, menumbuh suburkan takhayul dan khurafat, sementara Islam menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, semua itu tak akan mungkin terjadi jika Islam diterapakan dalam seluruh aspek kehidupan dan diwujudkan dalam penegakkan syariah Islam. WalLah a’lam bi ash-shawab.
Oleh: Fitri Suryani, S.Pd
(Guru & Aktivis MHTI Konawe)