Mungkinkah Menistakan Agama?

Sarlito Wirawan Sarwono
Sarlito Wirawan Sarwono
Sarlito Wirawan Sarwono
Sarlito Wirawan Sarwono

 

Demonstrasi dalam rangka membela Tuhan makin banyak. Hal ini membuat saya bertanya, “Mungkinkah membela agama?”. Pertanyaan selanjutnya, “Sebegitu lemahkah Tuhan dan Agama sehingga memerlukan pembelaan dari umatnya?”

Pandangan saya mungkin tidak begitu populer, tetapi untuk saya, Islam dan Tuhan tidak perlu dibela. Anak-anak, perempuan, orang yang lemah dan tak berdaya, orang fakir dan yatim piatulah yang patut dibela, dan hal itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.

Adanya kewajiban untuk membayar zakat dan sunah untuk bersedekah yang banyak sekali jenisnya, adalah perwujudan perintah agama untuk membela umat yang memang perlu dibantu.

Setiap orang yang membela umat yang lemah dan menjalankan petunjuk-petunjuk Allah untuk berkeadilan, untuk saling menyayangi dan menghormati dan sebagainya, itulah yang disebut Islami, terlepas dia muslim atau bukan.

Karena itulah penelitian oleh Washington University (2011) menemukan bahwa negara yang paling Islami sedunia adalah Selandia Baru, disusul Luxemburg, dan seterusnya, Singapura pada urutan ke 7, AS ke 15, Israel 17, dan Malaysia 33, sedangkan Arab Saudi pada urutan 99, Indonesia 104, dan hampir semua negara OKI berada di urutan lebih rendah dari 100 (dari 208 negara yang disurvei).

Begitu juga sebuah survei oleh Maarif Institute (2015), membuktikan bahwa kota yang paling Islami di Indonesia adalah Denpasar (di samping Bandung dan Yogyakarta).

Jika kita bandingkan antara Ahok dengan pemimpin-pemimpin lain yang mengaku Muslim, Ahok jelas bukan malaikat yang tanpa dosa. Namun dia meminta maaf, kalau melakukan kesalahan, dan berterima kasih kalau dibantu. Dia memang berkata kasar, tetapi hanya kepada orang-orang yang tidak bekerja dengan baik.

Ibu Risma, Walikota Surabaya, yang diidolakan orang (termasuk saya), sering berkata lebih kasar dari Ahok kepada pegawai yang tidak bertanggung jawab atau pemborong yang ingkar janji. Namun tidak ada yang menggugat Risma. Malah Risma didorong-dorong untuk melawan Ahok di DKI.

Untungnya Mega masih cukup cerdas untuk menunggu sampai saat terakhir dan mengambil keputusan yang tepat. Bandingkan capaian Ahok dengan capaian gubernur-gubernur sebelumnya, yang semuanya muslim. Baru sekarang orang bisa memancing di Kali Ciliwung dan mendapat ikan. Yang sebelumnya, hanya dapat sepatu.

Dulu, banjir di Jalan Thamrin-Sudirman dan Kemang bisa sehari-semalam, sekarang 2-3 jam surut. Beberapa daerah yang dulu langganan banjir, sekarang kering. Jalan-jalan tol, MRT, kereta bawah tanah dibangun terus (padahal di tangan gubernur-gubernur sebelumnya mangkrak semua).

Selama saya bersama tim Prodi Perkotaan, Sekolah Kajian Global dan Srategik Universitas Indonesia, meneliti rusun-rusun di DKI, saya menyaksikan sendiri sudah berapa Kepala Dinas Perumahan distafkan oleh Ahok gara-gara bekerja tidak benar! Distafkan begitu saja, tanpa ampun.

Sudah juga menjadi rahasia umum, walaupun tidak pernah disiarkan di media massa bahwa Ahok mengalokasikan dana untuk perbaikan-perbaikan masjid-masjid di DKI dan sudah banyak takmir masjid se-DKI yang diumrohkan oleh Ahok dengan dana Pemprov DKI.

Dia gusur Kalijodo, tuntas! Tanpa bekas dan tanpa kekerasan, semua menyingkir dengan sendirinya, walaupun sebelumnya ribut-ribut. FPI sendiri yang sering membuat takut masyarakat dengan sweeping-sweeping yang menakutkan, malah tidak pernah sekalipun berhasil menuntaskan masalah lokalisasi.

Sekarang, cobalah bandingkan dengan pemimpin-pemimpin lain yang, misalnya, terkait KPK. 90% mereka muslim, bahkan ada yang perempuan juga. Mereka menghadiri sidang pengadilan lengkap dengan jilbabnya.

Bahkan ada menteri agama dan Ketua PKS juga tersangkut KPK, baik yang mengorupsi pencetakan Al Quran, maupun memanipulasi perdagangan daging sapi. Namun kenapa tidak ada yang mendemo KPK?

“Bubarkan KPK. Tangkap pimpinan KPK, karena telah menzalimi pimpinan dan tokoh Islam!”. Bukankah, kalau ditangkapi semua, lama-lama umat Islam kehabisan pemimpin? Di mana logika kita beragama?

Islam Agama Rasional

Akhir-akhir ini Surat Al Maidah ayat 51 menjadi sasaran tembak untuk menuding Ahok sebagai penista agama. Inti surat itu adalah melarang kaum muslim untuk memilih pemimpin yang beragama Nasrani dan Yahudi, karena “sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain”.

Maksudnya, setiap golongan sudah ada pemimpinnya masing-masing. Kalau kita memilih pemimpin Nasrani atau Yahudi, kita akan menjadi bagian dari mereka. Bukan bagian dari umat Islam lagi.

Ayat Al Quran ini sangat logis, masuk akal, dan sesuai dengan teori dasar Sosiologi tentang ­in-group dan out-group dan berlaku untuk setiap kelompok apapun.

Sebagai contoh, kalau massa pelajar sebuah sekolah, misalnya sekolah X, sedang saling lempar batu dan mengayun kelewang dengan massa sekolah yang lain, misalnya sekolah Y, dan tiba-tiba ada sebagian siswa dari selolah X yang menyebrang ke sekolah Y atau sebaliknya dari Y ke X, sudah barang tentu mereka yang menyebrang itu langsung akan dianggap memihak lawan dan akan dijadikan sasaran lemparan batu.

Namun siapa tahu yang menyeberang itu melihat adiknya atau tetangganya sendiri sedang bertempur di pihak sana, padahal sehari-hari mereka saling bergaul, saling bersahabat, dan saling berbincang, kok sekarang jadi bermusuhan?

Boleh jadi yang menyeberang hanya bermaksud melindungi adik atau tetangganya tersebut agar tidak terkena lemparan batu atau sabetan kelewang. Jelas si penyeberang tidak bermaksud untuk berganti kelompok. Karena itu pemahaman tentang  ­in-group dan out-group harus dilakukan secara kontekstual.

Begitu juga dengan surat Al Maidah. Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya (Buddha, Hindu dan Konghucu tidak disebut dalam Al Maidah, apakah boleh kita pilih sebagai pemimpin?).

“Di luar konteks keimanan, tidak ada salahnya kita berteman, bertetangga, bekerja sama, atau bahkan bekerja pada seseorang Nasrani atau Yahudi, atau penganut agama apapun lainnya”

Allah tidak menciptakan manusia seragam, seperti Allah menciptakan semua malaikat yang tahunya hanya menyembah Allah, atau seperti Setan yang hanya mau mengikuti hawa nafsunya sendiri. Allah menciptakan manusia sebagai mahluk yang beragam, dan berlain-lainan golongan.

Dalam kondisi yang berbeda-beda, menurut ajaran agama masing-masing, banyak hal yang bisa kita jadikan contoh bahwa umat manusia selalu bisa bekerja sama. Ketika kita naik bus, misalnya, kita ikut saja dan percaya bahwa supirnya mahir dan profesional menjalankan bisnya.

Ketika kita menjadi penumpang bis itu, supirnya adalah pemimpin dari seluruh penumpang harus menaati petunjuk-petunjuknya. Ketika kita naik bis itu, kita tidak bertanya agama supirnya apa, kan? Yang penting kita yakin bahwa dia memang supir, bukan tukang bakso.

Jadi kenapa ketika kita akan memilih gubernur, kita sibuk mengurusi agama calon Gubernur? Kita juga naik motor, menelpon dengan HP, atau membersihkan tangan pakai denga tisu tanpa mau repot-repot mempermasalahkan siapa dan apa agamanya dari orang-orang yang membuat benda-benda itu.

Percaya atau tidak, sajadah-sajadah murah tetapi bagus, yang dijual di Mekkah dan selalu dijadikan oleh-oleh oleh mereka yang baru pulang dari umroh atau haji, adalah buatan Cina, yaitu negara ‘kafir’ asal-usulnya Ahok.

Ketika Jokowi menjadi calon presiden, dia juga dimusuhi dan dirisak, malah lebih dahsyat lagi ketimbang nasib Ahok yang dianggap non-pribumi dan Nasrani. Namun Jokowi yang pribumi dan muslimpun, difitnah dulu sebagai non-pri (lengkap dengan nama Cinanya) dan Nasrani, untuk kemudian dirusak sebagai non-pri dan Nasrani.

Bahkan pembawaan Capres Jokowi sebagai orang Solo asli, yang selalu adem, tidak pernah ngomong keras, apalagi kasar, tidak menyebabkannya diperlakukan lebih baik dari pada Cagub Ahok, yang orang Bangka-Belitung dan berperangai berangasan.

Jadi, sebetulnya bukan Ahok yang menista agama Islam, tetapi pihak-pihak yang menuduh Ahok sebagai penista Islam lah, yang sedang menista Ahok. Tentu saja karena Ahok manusia biasa, bukan malaikat, apalagi Tuhan, ia bisa saja sewaktu-waktu dinista oleh siapa saja dan di mana saja.

Namun Islam sebagai agama yang rasional, bukan lah agama tukang menista. Islam yang rahmatan lil alamin, adalah agama yang penuh damai, dan penuh pemaafan.

Inilah yang akhir-akhir ini, di era teknologi informasi dan globalisasi yang sangat rentan akan suasana penuh konflik dan fitnah ini, timbul ketertarikan yang makin lama makin kuat dari orang-orang yang tergolong intelektual, yang mencari pesan-pesan spiritual yang menyejukkan hati, untuk makin mendalami Islam dan mengupas sisi-sisi baiknya dari agama kita-kita yang muslim, sedangkan di antara yang non-muslim makin lama makin banyak yang berkonversi untuk menjadi muslim.

Di sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional. Mereka ini sangat mudah diprovokasi, karena mereka bermain dengan emosi.

“Di sisi lain, kondisi umat Islam sendiri di Indonesia sangat awam, tidak kritis dan tidak kreatif, mudah terpengaruh dan sangat emosional”

Maka ketika Ahok dilantik jadi gubernur, kaum pembenci Ahok yang mengatas namakan Islam, juga melantik “Gubernur” mereka sendiri, lengkap dengan seragam putih-putih dan peci hitam, diiringi dengan pekik takbir yang akhirnya lenyap begitu saja dibawa angin lalu.

Dari Rasional Menjadi Rasionalisasi

Inilah yang sekarang terjadi. Karena umat yang mayoritasnya adalah awam dan tidak kritis, Islam mudah sekali diintervensi dari agama yang rasional (mencari kebenaran), menjadi agama rasionalisasi (mencari pembenaran).

Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan Prof. Dr. Amien Rais, tokoh akademik, Guru Besar ilmu politik dari UGM yang kemudian menjadi politisi, mendirikan partai PAN, dan pernah menjadi Ketua MPR.

Sebagai Ketua MPR dan penggagas Poros Tengah, Amien Rais pernah menggagalkan Megawati untuk menjadi Presiden RI, walaupun  PDIP adalah pemenang Pemilu 1999 dengan perolehan kursi terbanyak di DPR, yaitu dengan memanfaatkan berbagai dalil agama Islam dari Al Qur’an dan Hadist yang intinya adalah mengharamkan umat Islam untuk memilih perempuan sebagaai pemimpinnya, termasuk sebagai presiden. Maka Gus Dur, yang digadang-gadang oleh Amien Rais, sukses dilantik menjadi Presiden RI keempat.

Namun tidak sampai dua tahun kemudian (dari periode masa jabatan yang seharusnya lima tahun), Ketua MPR Amien Rais, berulah lagi, yaitu ingin menjatuhkan (meng-impeach) presiden Abdurahman Wahid.

Lagi-lagi, mantera yang digunakannya adalah ayat-ayat suci Al Qur’an dan hadist-hadist Nabi, yang kali ini sengaja dipilihkan yaitu yang membolehkan perempuan jadi presiden, menjadi pemimpin, karena presiden bukan pemimpin agama. Suatu argumentasi yang sama sekali jauh dari rasional, tetapi sangat bermuatan rasionalisasi (mencari pembenaran).

Jadi benarlah apa kata suatu hadist, yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis saja, seluruh dunia akan berubah menjadi lebih Islami dengan sendirinya, seperti kasus Selandia Baru dan kota Denpasar yang keduanya dibuktikan paling Islami di samping Ahok yang sudah Islami, walaupun belum Islam. Masyarakat-masyarakat itu sendiri yang akan mengislamkan dirinya sendiri.

“Jadi benarlah apa kata suatu hadist, yaitu bahwa kalau kita mau duduk diam manis saja, seluruh dunia akan berubah menjadi lebih Islami dengan sendirinya”.

 

Oleh  : Sarlito Wirawan Sarwono
(Gurubesar Psikologi Universitas Indonesia)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini