Sebagai anak buahnya di birokrasi pemerintahan bidang pertanian, Menteri Amran Sulaiman telah melarang berpanjang-panjang soal isu kenaikan harga cabe. Tetapi sebagai sesama “anggota kehormatan” Himpunan Mahasiswa Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin (Himatepa-UH), jika dimarahi karena “nekad” membahasnya lagi, paling saya diospek ulang.
Tulisan ini akan terbagi menjadi dua pokok bahasan. Pertama, mengenai komunikasi kebijakan secara umum atas kenaikan beberapa harga barang/jasa. Kedua, tentang kenaikan harga cabe itu sendiri. Kita bahas yang pertama.
Cabe sedang sial. Kenaikannya salah momentum. Melonjak di saat pemerintah baru saja menaikkan –dalam waktu yang hampir bersamaan– harga/tarif beberapa barang/jasa publik: BBM non subsidi, biaya administrasi STNK/BPKB, dan tarif listrik untuk daya 900 watt pelanggan dari kelompok “mampu”. Lalu, cabe naik. Yah, sudah. Cukup alasan untuk ribut-ribut lagi. Untuk sementara, tengkar-tengkarnya pindah ke soal lain, bukan lagi melulu penistaan agama dan isu turunannya.
Tapi yang pasti, energi kita masih tetap terkuras untuk berdebat. Padahal, seharusnya debat itu kerjanya orang di DPR. Lha, orang DPR anteng-anteng aja sejauh ini. Kalau disorot kamera televisi saat diagendakan “berdebat”, kursi empuknya banyak yang kosong melompong. Justru, kita rakyat kecil-kecil ini yang begitu semangat berdebat, dan hampir lupa mencari nafkah.
Kenapa kenaikan cabe yang rutin di musim penghujan ini lebih diributkan dari biasanya? Pertama, kenaikannya nyaris bersamaan di saat kenaikan harga tiga barang dan jasa publik di atas. Kedua, melanjutkan alasan pertama tadi, merupakan implikasi atas pengelolaan komunikasi kebijakan yang kurang tepat.
BBM non subsidi dinaikkan, wajar saja. Kan pembelinya kelas menengah ke atas. Masa naik Rp 300 per liter, orang-orang “kaya” itu langsung ngamuk-ngamuk? Kenaikan biaya administrasi BPKB/STNK. Kan, dibayar lima tahun sekali. Tarif listrik 900 watt. Bukankah ditujukan pada kelompok pelanggan “kaya”? Lantas, apa yang salah?
Pemerintah seharusnya paham bahwa rakyatnya itu mayoritas kelompok orang-orang yang malas menyimak. Malas membaca. Kurang mau berpikir panjang. Tapi gemar bicara dan senang bergosip. Rentetan kebijakan kenaikan harga barang/jasa publik di awal tahun –ketika para pegawainya belum gajian tepat waktu– cukup menjadi alasan untuk berteriak protes dan mahasiswa “tergoda” menggalang aksi 121.
Dengan kesadaran seperti itu, kenaikan produk itu seyogyanya tidak dilakukan secara bersamaan. BBM dinaikkan, lalu dijelaskan yang naik itu barang non subsidi. Setelah para pegawai gajian, misalnya, barulah tarif listrik untuk orang “hampir kaya” itu dinaikkan. Begitu rakyat beradaptasi, barulah menaikkan tarif STNK/BPKB lalu melanjutkan penjelasan bahwa ini kan hanya dibayar sekali dalam lima tahun.
Presiden Joko Widodo adalah politisi semiotik. Dia tidak pandai berbicara tapi cukup dengan mengenakan sarung saat menjalankan tugas kenegaraan, kita paham bahwa presiden hendak menggeliatkan dunia tekstil dalam negeri. Kenapa untuk urusan menaikkan barang-barang yang memang sudah “sepantasnya” naik, komunikasinya kurang cantik?
Ringkasnya, pilihan kebijakan kenaikan harga barang/jasa publik secara bersamaan adalah bentuk komunikasi yang tidak tepat untuk karakter masyarakat kita yang gampang nyinyir, bersumbu pendek, dan katanya berkepala bawang. Uh, banyak sekali istilah baru yang diciptakan akhir-akhir ini.
Topik kedua, tentang kenaikan harga cabe. Pemerintah meladeni para pengkritik dengan mengatakan, jangan terlalu cengeng menjadi rakyat. Cukup tanam sendiri lima pot di pekarangan masing-masing, masalah cabe sudah selesai.
Jika cabe dipandang sebagai kebutuhan skala rumahtangga semata, urusan harga cabe memang tidak perlu diribut-ributkan. Dan saya sependapat dengan tudingan “rakyat cengeng” itu. Tapi coba kita pandang cabe sebagai komoditi industri. Bahan baku pabrik-pabrik saus, aneka makanan ringan, dan berbagai industri lainnya dari yang besar sampai mikro yang menggunakan cabe sebagai bahan baku.
Kenaikan cabe tentu saja, ikut berpengaruh secara relatif terhadap harga produk akhir yang mereka hasilkan. Lalu berimbas pada likuiditas barang mereka di pasaran. Dan seterusnya bertali-temali hingga penurunan kapasitas produksi, dan berlanjut pada persoalan yang jauh, misalnya soal pengurangan tenaga kerja.
Barangkali kenaikan yang bersifat sementara itu tidak akan sampai berpengaruh dahsyat seperti yang dikemukakan di atas, tetapi perlu dipahami bahwa komoditi yang harganya tidak stabil, kurang baik bagi kelangsungan dunia usaha. Poin pentingnya, bahwa cabe tidak boleh hanya dipandang sebagai teman makan nasi atau ubi goreng saja. Perspektifnya harus lebih luas.
Berikutnya, hal paling fundamental dari diskusi tentang kenaikan cabe adalah siapa yang menikmati kenaikan itu? Jika jawabannya adalah petani cabe, kenaikan itu patut disyukuri. Karena sekalipun perusahaan “keripik kentang pedas” atau waralaba “ayam goreng crispy ekstra pedas” menaikkan harga produknya, petani cabe masih bisa membelikan anak-anaknya karena cabenya dibeli dengan harga tinggi.
Yang menjadi persoalan adalah jika penikmat kenaikan cabe itu justru bukan petaninya. Melainkan para lembaga pemasaran di luar petani sebagai produsen. Pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir, dan importir. Tidak salah sih mereka menikmati untung, tapi porsinya harus adil buat para petani. Apalagi jika penikmatnya adalah para “free rider” jahat yang sengaja memacet-macetkan jalur distribusi dengan memanfaatkan isu musim penghujan sebagai penyebab utamanya. Seharusnya diskusinya di situ.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial