Letaknya sekitar lima belas menit jika berkendara dari depan Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara. Secara administratif, berada di Kelurahan Anduonohu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Namanya mulai difamiliarkan dengan sebutan Kebun Raya Kendari. Warga kota menamainya kawasan Nanga-nanga.
Pemerintah kota sedang menatanya. Tahun lalu, pekerjaaan tahap pertama sudah rampung. Jalan masuk, gerbang pintu masuk, sejumlah bangunan, dan gerbang kawasan perkemahan sudah siap. Tahun ini, akan dilanjut dengan fasilitas parkiran, tempat pembibitan, dan kebun kolektif. Termasuk pagar sekeliling.
Sejatinya, penataan kawasan kebun raya seluas 118 hektar dibiayai pemerintah pusat melalui kementerian pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Setidaknya 300 spesies tumbuhan akan ditanam di sana. Pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terlibat dalam proyek ini, terutama pendataan tanaman endemik yang ada dalam kawasan serta menanam sejumlah tanaman untuk menambah koleksi. Rencananya, kebun raya ini diluncurkan secara resmi pada tahun 2019.
Saya memasuki kawasan itu, Sabtu (4 Februari 2017) sore lalu. Dijaga oleh personel yang disewa oleh pihak kontraktor. Terdapat empat orang yang berjaga bergiliran. Sebuah anak sungai kecil mengalir membelah kawasan itu. Jika menyusurinya terus ke dalam, menurut sang penjaga, ada air terjun di sana.
Tempat ini belum begitu ramai didatangi orang. Setiap hari, hanya satu dua kelompok kecil. Memotret hijaunya hutan atau berfoto di ketinggian kawasan camping ground. Berbekal keterangan dari sang penjaga, saya mengetahui bahwa ada tim dari LIPI yang sedang bekerja intensif di sana. Mereka keluar masuk hutan melakukan proses pendataan spesies tumbuhan yang ada disana sekaligus melakukan penanaman.
Sore itu, sang penjaga bercerita sedikit horor. Hari telah sore, namun para peneliti itu belum juga kembali ke pos. “Barangkali mereka masuk ke hutan,” katanya. Meski dia tidak begitu khawatir, tapi jam yang sudah lewat pukul lima sore adalah isyarat bahwa mereka yang beraktifitas di dalam hutan harus segera keluar sebelum gelap mulai turun.
Tapi saya tidak terlalu mencemaskan orang-orang LIPI itu. Mereka pastinya petugas berpengalaman. Saya lebih deg-degan dengan kisah sebelumnya yang dia tuturkan. Tentang ular yang sebesar pohon yang pernah tertindih oleh alat berat saat proses pembukaan jalan. Alat berat itu terlihat bergerak naik turun karena sesuatu yang bergerak-gerak di bawahnya.
“Ternyata ular besar. Saat disendok dengan alat berat, bagian ekor dan kepalanya masih menyentuh tanah. Ular itu lalu dibawa ke air supaya merayap ke laut,” begitu kisahnya. Saya sedikit meragukan ceritanya setelah dia mengatakan bahwa kisah itu didengarnya dari seseorang. Tapi tak urung kupanggil anak-anakku yang sedang asyik mandi di sungai kecil itu agar segera naik dari air.
Kekhawatirannya atas keselamatan personel LIPI beserta kisahnya tentang ular besar, serta pengawasannya terhadap pengunjung yang bergerak terlalu jauh ke dalam kawasan hutan, memberi pesan bahwa kawasan ini adalah alam liar –sebuah kekayaan yang begitu mahal karena kita temukan dalam sebuah wilayah kota.
Sangat jarang kita menjumpai sungai dengan aliran air masih jernih terletak di wilayah administratif perkotaan. Ini aset yang begitu berharga. Suatu hal yang perlu kita apresiasi dari pemerintah kota yang secara jeli melihatnya sebagai kawasan yang harus dilestarikan.
Betapa tidak, kawasan Nanga-nanga saat ini sedang dalam tekanan pertumbuhan perkotaan. Kompleks pemukiman kian mendesak kawasan hutan. Jika tidak segera dilakukan garis “demarkasi” yang jelas dan tegas dari pemerintah, lahan ini akan segera terkonversi dengan cepat. Mungkin pada mulanya hanya berupa lahan pertanian. Tapi lambat laun akan menjadi pemukiman khas urban.
Di masa mendatang, Kebun Raya Kendari akan menjadi kawasan ekowisata favorit. Ada semacam peringatan dini yang harus dikemukakan disini, bahwa di setiap tempat yang dikelola menjadi kawasan wisata selalu ada “efek samping”. Istilah kerennya tourism curse. Kutukan pariwisata.
Apa itu? Kita memulainya dengan hal paling sederhana. Pencemaran. Sampah. Satu dua saya telah melihat sampah anorganik (plastik, karet, dll) yang ditinggal mengambang di air. Ke depan, kawasan ini akan semakin ramai, dan tentunya sangat membutuhkan kesadaran bahwa lokasi itu harus kita jaga keasriannya.
Kebun Raya Kendari bukan hanya tanggung jawab pemerintah untuk melestarikannya. Tapi juga tanggung jawab semua warga kota. Kita semua. Berkunjunglah ke sana, dan jadikanlah bahwa kawasan itu adalah kebun kita bersama.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial