Bersikap Netral Adalah Jihad

Netral adalah barang mahal di negeri ini. Pilihan sikap yang tidak enak. Jika berhitung-hitung untung rugi, netral sama sekali tidak menjanjikan apa-apa. Bersikap netral berarti bersiap untuk tak punya kawan. Akan selalu dianggap pihak di luar garis. Pihak netral tidak akan berhak merayakan sebuah kemenangan, juga tidak wajib untuk meratapi sebuah kekalahan. Bukan orang kita, demikian vonis yang dijatuhkan.

Andi Syahrir

Dalam dua kekisruhan “skala nasional”, kelompok netral nyaris hilang di tengah riuh dan gegap gempita pertikaian. Isu pemilihan presiden dan isu penistaan agama. Dua isu yang sesungguhnya terkait berkelindan satu sama lain. Kita dengan mudah menemukan cemoohan “cebonger”, sebuah istilah yang merujuk ke para pendukung Joko Widodo saat nyapres dan terus bertahan hingga saat ini. Dan teriakan “Salawi” (semua salah Jokowi) untuk mencibir hal yang sebaliknya.

Kita juga begitu gampang menjumpai istilah seperti “kaum onta” yang ditujukan bagi mereka yang menginginkan calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok segera dihukum karena menista agama. Di dinding sebelahnya, gelar “ahoax” disematkan pada mereka yang membela Ahok.

Dalam pertempuran maha dahsyat itu, kedua belah pihak telah saling membutakan mata untuk melihat kebenaran secara obyektif. Segala macam cara dan propaganda dilakukan untuk memaksakan kebenaran yang mereka pijak. Padahal, kita masih kerap berpapasan dengan kebenaran pada keduanya. Di sinilah ruang-ruang sunyi yang ditempati oleh para kelompok netral, yang suaranya nyaris tidak kedengaran tersebab kegaduhan itu.

Dari waktu ke waktu, seiring kian masifnya pertentangan dua kubu, kelompok netral ini semakin susut. Ada yang condong ke salah satu pihak, ada pula yang menyeberang ke pihak sebelahnya. Perseteruan ini laksana kanker yang menjalar ke seluruh komponen bangsa ini. Menjangkitinya dan menjadikannya rapuh.

Kondisi kebangsaan kita jatuh pada pemikiran Zoroastrianisme tentang terhempasnya manusia pada visi dualistik yang membagi dunia ke dalam dua kubu yang tak terdamaikan (Karen Armstrong, 2014). Selain Tuhan Kebijaksanaan, kata Zoroaster, ada Tuhan Kejahatan yang kekuatannya setara dengan Tuhan Kebijaksanaan tapi merupakan kebalikannya.

Di masa Zoroaster, sangat jelas kelompok manusia yang menyembah Ahura Mazda sebagai Tuhan Kebijaksanaan. Pun sangat jelas kelompok manusia yang mengabdi pada Angra Mainyu, sang Roh Kebencian. Di masa kini, di Indonesia, semua kubu yang bertikai mengaku membawa panji-panji kebenaran dan keadilan. Tidak ada yang yang mau disebut abdi dari Angra Mainyu.

Negara –dengan segala perangkat birokraksi dan kekuasaan yang melekat padanya– dalam kapasitasnya sebagai pelindung dan pengayom seluruh komponen bangsa, sejatinya mewakili kelompok netral. Celakanya, birokrasi di bawah kendali negara justru jatuh dalam polemik klasik Hegelian-Marxisme tentang konsep netralitas birokrasi.

Hegel berpendapat bahwa birokrasi merupakan jembatan antara negara dengan masyarakat rakyatnya. Negara hadir mewakili kepentingan umum. Rakyat yang terdiri dari profesional-pengusaha mewakili kepentingan khusus. Birokrasi menjadi medium perantara tersalurkannya pesan-pesan kepentingan khusus menuju kepentingan umum. Hegel menyiratkan adanya netralitas.

Marx mengkritiknya. Menurutnya, negara tidak mewakili kepentingan umum akan tetapi mewakili kepentingan khusus dari kelas dominan. Birokrasi merupakan perwujudan kelompok sosial yang amat khusus. Birokrasi merupakan suatu instrumen di mana kelas dominan melaksanakan dominasinya atas kelas sosial lainnya.

Pada tingkatan tertentu, kata Marx, birokrasi menjalin hubungan sangat intim dengan kelas yang dominan dalam suatu negara. Marx menegaskan, birokrasi itu tidak netral dan harus memihak. Berpihak pada kelas yang dominan (Achmat-Batinggi, 1999).

Dalam praktek kehidupan kebangsaan kita, gagasan Marx sepertinya lebih superior ketimbang pendapat Hegel. Kendatipun tiap hari kita meledek Marx bahwa pemikirannya tak lagi laku dijual-jual, namun barangkali tanpa sadar praktek-praktek bernegara kita sesungguhnya mengadopsi gagasan Marx. Dalam konteks inilah, maka penegakan netralitas adalah sebuah jihad.***

 

Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini