[Tak] Perlu Berdoa di Pilkada

Andi Syahrir
Andi Syahrir

OPINI : Agama itu hitam putih. Jika abu-abu, ragu-ragu, syubhat istilahnya. Agama (Islam) menganjurkan untuk menghindarinya. Jadi, syubhat pun sebenarnya terkategori hitam. Larangan. Sebaiknya jangan. Itu dia agama. Ya atau tidak. Lakukan atau hindari.

Sehingga terasa sangat lucu jika politik praktis yang dijalankan di negeri ini selalu membawa-bawa nama agama. Silakan kejang-kejang jika keberatan. Pasti dibantah. Agama itu adalah panduan. Pedoman hidup. Segalanya bersumber dari agama, termasuk politik. Jadi, jangan pisahkan antara politik dengan agama. Ya, iya. Setuju. Itu benar jika cara berpolitiknya hitam putih.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Tapi kalau praktek politiknya menggunakan standar ganda. Tidak boleh pilih non-Muslim di daerah A, tapi di daerah B menjadi pendukung penuh, itu mah mau cari enak. Itu sih Machiavellian.

Anda tidak gagal paham kan? Ntar ada lagi yang telunjuknya ke hidung saya, tapi jari tengah, manis, dan kelingkingnya nuding jantungnya. Katanya, berarti Anda setuju kalau non-Muslim jadi pemimpin? Kalau tuduhannya begitu, maka Anda akut gagal pahamnya.

Maksudnya, jika style politik acuannya agama, yah sekali nolak non-Muslim tidak boleh jadi pemimpin –karena dilarang agama– yah, seterusnya harus nolak. Jika konsisten begitu, dijamin konstituennya bakal banyak. Tapi jika mencla-mencle, yah, lihat hasilnya di pileg berikutnya, bakal kian melorot tuh suara sampai di lutut…ups.

Apalagi yang ini, nih. Di pilkada serentak nasional baru-baru ini. Semua pada berdoa dengan narasi kurang lebih begini, “Ya Allah, rahmatilah apa yang kami lakukan dengan mendukung pasangan calon X. Semoga Allah mengijabah doa kita semua untuk kemenangan calon yang kita dukung. Amiin.”

Lalu di lapangan, pintu rumah orang diketuki menawarkan duit seratus dua ratus ribu agar mereka memilih pasangan yang didukungnya. Hadeeh, ini mah sedang mengolok-olok Tuhan.

Dan kabar buruknya, semua melakukannya. Nyaris se-Indonesia. Itu kalau memang ada yang tidak demikan. Yang membedakan, yang duitnya banyak pastinya lebih gencar, yang duitnya sedikit pasti netesnya juga dikit-dikit.

Itu baru soal bagi-bagi duit. Belum kecurangan lainnya. Kemudian, tertunduk-tunduk komat-kamit agar Tuhan mengabulkan doanya. Atau meneriakkan kebesaran nama Tuhan saat saling menyemangati, duh.

Akhirnya, hanya mau bilang, Tuhan tidak sedang menjawab doanya. Kalah atau menang, Tuhan hanya memberikan apa yang sudah semestinya sebagai konsekuensi dari hukum kausalitas. Jika caranya tidak hitam putih, tidak perlu ada doa di pilkada. Jika perintah dan larangan tidak dipisah, tidak usah berdoa di pilkada.***

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini