OPINI: KPU Kota Kendari telah menetapkan pasangan ADP-Sul sebagai peraih suara terbanyak Pilkada Kota Kendari. Pasangan yang diusung PAN, PKS, PKB, Gerindra, PBB, dan PKPI ini berhasil meraih 62.019 suara.
Sedangkan rival terkuatnya, pasangan Rasak-Haris (Golkar dan Nasdem) meraih 55.769 suara. Pasangan Zayat-Syahriah (Demokrat, PDIP, PPP, dan Hanura) meraih 33.501 suara.
Selisih suara antara ADP-Sul dan Rasak-Haris mencapai 6.250. Jumlah suara 2% (dua persen) dari total suara sah (151.289 suara) sebanyak 3.025,78 atau jika dibulatkan menjadi 3.026 suara.
Andi SyahrirDengan demikian, jika mengacu pada Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah pada Pasal 157 dan Pasal 158, pasangan Rasak-Haris tidak memenuhi syarat mengajukan gugatan. Ataupun jika bersikeras mengajukan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menolaknya.
Kenyataannya, pasangan Rasak-Haris bersikukuh mengajukan gugatan. Bukan soal tidak menerima hasil itu, tapi lebih pada banyaknya ditemukan pelanggaran, termasuk dari penyelenggara paling bawah sampai KPU Kota Kendari dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kendari. Begitu kata Ketua Ketua Tim Advokasi Pasangan Rasak-Haris, Syahiruddin Latif, SH.
Pada media sosial, sebuah ruang yang lebih telanjang, menyeruak kabar tentang rekaman pembicaraan telepon oknum komisioner KPU Kendari yang mengindikasikan adanya kecurangan.
Tudingannya bermuara pada pihak KPU diduga mendalangi pengedaran 20 surat suara ke tiap TPS sebanyak 520 TPS. Terdapat 10.400 suara yang diduga dimainkan KPU. Begitu tuduhan dari kubu Rasak-Haris.
Bagaimana posisi MK? Jika menafsirkan secara lurus Pasal 157 dan 158 di atas, MK baru akan memeriksa “bukti-bukti hukum yang ramai di media sosial” itu jika mereka menyatakan menerima gugatan. Persoalannya, bagaimana mau menerima gugatan kalau syarat selisih suara tidak terpenuhi?
Di sisi lain, jika MK menerima gugatan itu dan berhasil membuktikan secara akurat –bahkan sekalipun tidak akurat benar– angka 10.400 itu, keadaan akan berbalik. Bukan hanya semata selisih-selisih angka, tapi ancaman diskualifikasi sudah hampir pasti plus proses hukum bagi oknum komisioner KPU.
Namun, kembali lagi pada siapa yang akan membuktikan itu? Tidakkah MK akan dituding melanggar undang-undang jika bersedia menerima gugatan padahal syarat pengajuannya tak bisa dipenuhi? Ini persoalan melingkar-lingkar yang tak berujung.
Seperti anak anjing yang bermain-main dengan ekornya. Terus berusaha mengejar sekalipun mustahil dicapainya. Berputar-putar hingga dia lelah sendiri. Dalam banyak hal, pranata hukum kita memang dibuat seperti permainan ekor anak anjing. Melelahkan. Kita tunggu MK.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial
Undang undang yg berkesan melindungi setiap pemenang pilkada,,, meski mereka telah melakukan pelanggaran yg beratdari proses pilkada tersebut…….itulah undang undang yg dibuat manusia