OPINI : Di penghujung Oktober 2014 silam, kader PAN di DPRD Sultra ribut. Mereka mempertengkarkan jabatan. Berebut ketua komisi tiga. Ada dua yang digadang-gadang. Adriatma Dwi Putra, peraih 25.387 suara melawan seorang seniornya yang meraih 8.881 suara.
Mereka adu argumen. Sang senior ngotot. Gue ini senior, gue dong yang pantas jadi ketua. Adriatma bersikukuh. Nggak bisa gitu, bang. Kita liat prestasi, dong. Situ suaranya berapa? Lagian, gue didukung kawan-kawan yang lain, nih. Kira-kira begitu debatnya kalau di-Betawi-kan.
Tahu apa yang terjadi? Senior ini ngambek. Dipecahkannya gelas dan cangkir di dekatnya. Orang-orang gaduh jadinya. Benda-benda yang tak punya dosa itu berkeping-keping. Tapi itu tak seberapa. Jauh lebih berkeping-keping hati sang senior setelah Adriatma dipastikan jadi ketua. Rekannya yang lain malu melihat ulang sang senior.
Dua tahun kemudian, kepingan hatinya yang berserakan kembali utuh. Pasalnya, Adriatma mundur jadi ketua. Tidak ada pilihan lain. Sang senior meraih kursi kehormatan yang diimpi-impikannya. Ketua komisi tiga.
Kehormatannya dobel. Anggota DPRD yang terhormat. Ketua komisi yang juga terhormat. Kehormatan ganda itu belum cukup. Posisi duduk juga harus terhormat. Jadi, jangan coba-coba pindahkan dia dari kursi yang sudah didudukinya.
Dia akan bilang, “pindahkan daku, kau kugampar”. Mirip judul film “tangkaplah daku, kau kujitak”-nya Lupus.
Gara-gara posisi duduk kehormatan itu, seorang staf DPRD ketiban sial. Sang senior ini salah tempat duduk. Dikasih tahu bahwa dia salah duduk, dia marah. “Bodoh kamu, bodoh, bodoh” serapahnya berganda sembari tangannya mengayun ke pipi sang staf.
Staf masih sadar. Dia minta maaf. Sang senior yang kehormatannya terasa berkeping-keping kembali belum puas. Dia masih mendidih. Pipi sang staf kembali di-smash oleh si pemilik jurus piring terbang…eh…si pemecah piring. Tidak sekali. Hantamannya dobel. Pokoknya semua harus dobel. Titik. Katanya, kalau tidak dihantam, dia bukan laki-laki.
Orang banyak menyaksikannya. Harga diri sang staf pun rontok. Bukan main-main. Ini acara perayaan ulang tahun. Bukan ulang tahun anak TK yang mungkin hanya dihadiri oleh emak-emak. Dan kalo emak-emak sudah dandan, kelar hidup lo…(halah…nggak nyambung). Ini perayaan ulang tahun kabupaten. Semua orang terhormat ada di sana. Di sana, si pemecah piring unjuk kelelakian.
Sang staf tidak terima. Dia melapor ke badan kehormatan. Kawannya yang lain solider. Mereka memboikot komisi tiga. Belakangan, si pemecah piring menyatakan persoalannya selesai. Dia mengaku sudah menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Tapi, persoalan belum selesai. Orang ini melakukan tindak kekerasan dalam kapasitas menegakkan kehormatannya sebagai anggota parlemen. Pejabat negara. Secara pribadi, dia bisa saja selesai dengan persoalan pidana karena staf memaafkan. Tapi dalam kacamata etik, dia tidak selesai.
Jika setiap pertentangan harus diselesaikan dengan pecahan cangkir dan piring, maka pengusaha barang pecah belah cepat naik haji. Dan jika setiap kesalahan harus dibayar dengan tempelengan, maka negeri ini akan ditorehkan dalam guinness book of records sebagai penempeleng terbanyak setiap hari.
Parlemen adalah lembaga yang diisi oleh orang-orang yang tindak tanduknya mencirikan martabat yang tinggi. Jika ada tukang pukul atau pemecah piring di dalamnya, maka dia hanyalah orang yang memunguti puing-puing kehormatan. Dia harus keluar dari sana.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial