Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar rapat koordinasi wilayah (rakorwil). Dilaksanakan dua hari. Sabtu sampai Minggu. Tanggal 25-26 Maret 2017. Agenda terpenting adalah arah gerak partai di pemilihan gubernur.
Andi SyahrirAda tiga opsi pergerakannya meski fungsionaris PKS hanya menyebutkan dua. Pertama, mengajukan kader pada posisi 01. Kedua, mengajukan kader untuk posisi 02. Ketiga, sama sekali tidak mengajukan kader.
Di rakorwil, PKS tidak hanya berdiskusi tentang sikap partai, tapi juga bermanuver ke eksternal partai. Mereka mengundang para kandidat gubernur untuk menjadi pembicara yang dikemas dalam bentuk “Leadership Talk”. Ada beberapa kandidat yang dihadirkan.
Walikota Kendari Asrun, yang telah menyatakan “kepastiannya” maju lewat kursi PAN. Ada mantan Bupati Wakatobi Hugua, yang juga Ketua PDIP Sultra. Anggota Ombudsman dan mantan anggota DPD RI La Ode Ida. Terakhir, Bupati Kolaka Utara Rusda Mahmud. Belakangan, Rusda menyatakan berhalangan hadir.
Tidak begitu sulit untuk memahami mengapa Rusda memilih “berhalangan” hadir di acara penting seperti ini. Penting karena Rusda sejauh ini masih mencari dukungan parpol. Menjadi pembicara di panggung PKS berarti peluang untuk penjajakan.
Kenapa mudah? Pertama, Rusda-Sjafei adalah paket yang sudah “final”. Jika Rusda datang, PKS paling akan menyodorinya “proposal” yang berisi: PKS akan dukung Rusda jika 02-nya adalah kader PKS. Atau yang lebih dahsyat lagi, 01-nya adalah kader PKS, Rusda yang kosong 02.
Di sisi lain, agak sulit bagi PKS untuk menerima tawaran Rusda yang datang dengan “paket Rusda-Sjafei” untuk mendapatkan dukungan lima kursinya. Secara kalkulatif, Rusda maupun Sjafei bukanlah fungsionaris utama pada sebuah parpol. PKS akan banting tulang, baik untuk mencari mitra koalisi maupun nanti di kerja-kerja pemenangan.
Hal kedua kenapa mudah menjawab berhalangannya Rusda dalam rakorwil PKS adalah bahwa pada acara itu sesungguhnya yang menjadi “bintang” adalah Asrun. Dukungan parpol sudah hampir pasti untuk posisi 01. Ada atau tidak ada PKS, Asrun bisa melenggang sendiri. Rusda harus realistis atas realitas ini.
Pertimbangan lainnya, Asrun jauh lebih “mesra” dengan PKS ketimbang Rusda. PAN-PKS punya sejarah yang manis di pilgub lima tahun lalu plus Pilwali Kendari yang baru saja usai.
Baiklah, kita tinggalkan Rusda yang berhalangan hadir. Dapat disimpulkan, ketidakhadirannya menunjukkan bahwa PKS untuk sementara tidak berada dalam gerbong partai pendukungnya.
Kita beralih ke yang berikut, yakni mencoba membaca beberapa hal dari manuver PKS yang mengundang para calon gubernur ini. Mengapa PKS mengundang empat atau tepatnya tiga orang ini?
Pertama, PKS memberi lampu hijau atau diberi lampu hijau berkoalisi dengan PAN untuk mengusung Asrun. Dengan demikian, PKS akan memilih opsi kedua seperti yang disebutkan di atas, yakni mengajukan kadernya sebagai 02 mendampingi Asrun.
Kedua, manuver PKS ini dapat pula ditafsir sebagai upaya untuk menempuh opsi pertama, yakni mengajukan kader PKS sebagai 01 dan Hugua atau La Ode Ida sebagai 02-nya.
Ketiga, undangan untuk Hugua dan La Ode Ida sesungguhnya semacam “persiapan” bagi PKS untuk menempuh opsi ketiga, yakni sama sekali tidak mengajukan kader, melainkan akan menjadi pilar pendukung duet Asrun-Hugua atau Asrun-La Ode Ida.
Jika memilih Asrun-Hugua, PDIP kemungkinan masuk dalam gerbong pendukung dan akan menjadi salah satu koalisi “raksasa” PAN-PKS-PDIP dengan total 19 kursi atau sekitar 42,2 persen dari total kursi di parlemen. Kelemahannya, Hugua setelah lengser sebagai bupati mulai menciut pengaruhnya. Dalam Pilkada Wakatobi saja pada tahun 2015, Hugua gagal memenangkan kandidat yang diusungnya.
Sebaliknya, jika memilih Asrun-La Ode Ida, anggota ombudsman ini memiliki massa kutural yang kuat di wilayah kepulauan, yang mengantarkannya menjadi anggota DPD sebanyak dua kali. Meskipun ketika banting setir menjadi caleg PAN untuk DPR RI, dia dikandaskan oleh saingan separtainya, Tina Nur Alam, istri Gubernur Nur Alam, Ketua PAN Sultra saat itu.
Di sisi lain, La Ode Ida sesungguhnya bukan kader partai manapun. Dengan PAN, dia hanya seorang caleg. Dengan demikian, La Ode Ida tidak memiliki dukungan infrastruktur partai yang bisa menggalang dukungan. Dia hanya punya basis kutural.
Ringkasnya, ada tiga isu kait berkait yang bakal hangat didiskusikan dalam rakorwil. Pertama, apakah kader PKS didorong dalam paket cagub-cawagub. Kedua, apakah PKS akan berkoalisi dengan PAN dan La Ode Ida atau Hugua akan dipaketkan dengan Asrun. Ketiga, siapa di antara La Ode Ida dan Hugua yang akan didukung PKS jika memilih tidak berpaket dengan Asrun (PAN).
Tapi ingat, La ode Ida dan Hugua tentunya punya cita-cita sendiri untuk menjadi 01. Mereka tentu punya “proposal” masing-masing untuk PKS. Dan di waktu yang masih lapang ini, PKS masih punya pilihan di luar La Ode Ida, Hugua, atau Asrun. Pertanyaan yang paling utama sesungguhnya adalah apakah PKS akan punya keputusan final setelah rakorwil usai?
Hari memang masih panjang. Pilihan kartu masih banyak. Ajang Rakorwil PKS baru satu meja untuk memainkan kartu. Kebetulan kartunya tentang tiga (atau empat) figur tadi. Terdapat meja di partai lain, pun tersedia figur yang lain. Kemungkinan masih luas terhampar. Dan pada akhirnya, politik adalah seni memainkan kartu-kartu kemungkinan.*
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial