Novel Baswedan Seharusnya Tak Terkenal

Kerja-kerja seorang penyidik dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan kerja-kerja wartawan. Mereka bisa bertemu dengan pesohor, juga dapat bersinggungan dengan penyihir…eh…kalangan lapis bawah. Penyidik bisa diperlakukan sangat sopan dan beradab, bisa juga dinistakan dan dikasari.

Andi Syahrir

Pada suatu waktu, penyidik akan bekerja di lingkungan yang berpendingin udara, di kesempatan lain, penyidik bisa berada dalam ruang-ruang sempit yang pengap. Wartawan juga demikian.

Dalam pemberitaan-pemberitaan keras, terutama yang beririsan dengan persoalan hukum, wartawan yang ditugaskan menginvestigasi dan menuliskan beritanya sangat dirahasiakan identitasnya untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan menimpa mereka.

Banyak kasus wartawan yang harus berakhir dengan nasib yang tragis karena tugas-tugasnya yang bersentuhan dengan hukum. Dari yang legendaris semisal Udin dari Harian Bernas di Yogyakarta hingga yang teranyar, Amran, wartawan Koran Minggun Senior terbitan Medan, yang tewas ditikam di penghujung Maret 2017 lalu.

Publik terhenyak dengan musibah yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan yang disiram air keras dan mengakibatkan dirinya harus dirawat intensif di rumah sakit. Novel adalah penyidik yang begitu populer di mata publik.

Biasanya, seorang penyidik –seperti halnya wartawan– adalah orang-orang anonim. Jauh dari popularitas. Seorang wartawan dapat saja menyamar ketika menginvestigasi. Seorang penyidik memiliki standar operasional prosedur dengan mengenakan penutup wajah saat bertugas. Itu semua untuk melindungi keselamatannya.

Novel –sesenior apapun dirinya– tetaplah seorang penyidik. Petugas yang senantiasa bersinggungan dengan dunia yang begitu liar dan ganas. Tanpa pengamanan dan protokoler ketat. Dirinya bukanlah pejabat elit yang mendapatkan pengawalan melekat seperti atasannya, para komisioner KPK.

Ketika kembali ke rumah menemui keluarganya sehabis bertugas, Novel akan kembali seperti masyarakat umum lainnya. Novel adalah orang biasa yang bukan siapa-siapa. Dia tidak akan diikuti oleh pengamanan ketika berjalan ke masjid untuk shalat subuh. Dia persis seperti saya, seperti Anda, seperti kita semua, orang kebanyakan.

Bedanya, dia terkenal. Tepatnya, dibuat terkenal. Dipublikasikan sebagai pahlawan di depan mata penegakan hukum. Celakanya, pada kutub yang berlawanan, Novel merupakan musuh utama dari mereka yang tidak ingin kepentingannya diganggu atau dirusak.

Popularitas yang dimiliki Novel memudahkannya untuk diidentifikasi. Tinggal dimana. Apa kebiasaannya. Di waktu-waktu kapan dia sendiri. Dan seterusnya. Lalu disimpulkan bahwa shalat subuh adalah paling aman dan leluasa untuk mencelakainya.

Makna dari semuanya bahwa popularitas Novel adalah sesuatu yang salah. Sebagai penyidik, seharusnya dia tetap anonim. Identitas Novel seharusnya disembunyikan oleh institusinya. Oleh media massa. Oleh kita semua yang ingin orang-orang baik seperti dia tetap menjalankan tugasnya dengan aman.

Seorang penyidik adalah pejalan sunyi. Seharusnya jauh dari hiruk pikuk pemberitaan secara personal. Seorang pencuci piring tidak akan pernah terkenal kendatipun dia yang berjasa besar melicinkan segala kotoran yang melekat.***

 

Oleh Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini