Tangannya meraih handphone di dekatnya. Menelepon seseorang. Menyebutkan satu per satu nama dan memintanya datang ke ruang depan. Di ruang kerjanya. Berselang beberapa menit kemudian, dua remaja bersaudara muncul beriringan. Dengan sedikit canggung mendekat ke kami. Selang beberapa saat, muncul seorang lagi dengan wajah sedikit mengantuk. Rambutnya agak acak-acakan.
Ayah mereka menegur, kenapa rambutnya acak-acakan? Dia mengaku sudah tidur. Dan sang ayah meminta maaf telah membangunkannya. Saya? Jauh merasa bersalah lagi. Gara-gara saya datang bertamu, anak yang sudah tidur dibangunkan.
Untuk membuyarkan kantuknya, sang ayah menginstruksikan untuk berdiri siap layaknya orang baris-berbaris. Memberikan aba-aba penghormatan, yang dengan patuh dan takzim dilakukan oleh sang anak. Semuanya dilakukan di depanku dan saya terpukau menyaksikannya, terheran-heran dengan penuh kekaguman.
Saya sedang menyaksikan sebuah hubungan ayah-anak yang sedemikian rupa. Anak-anak yang begitu patuh dan santun dengan perlakuan seorang ayah yang mengayomi, disempurnakan sikap penghargaan yang luar biasa terhadap anak-anaknya. Saya takjub. Saya belum pernah melihat yang seperti ini. Dimana pun. Kapan pun.
Mereka anak-anak yang dibentuk dalam keluarga Islam yang begitu kental. Shalat berjamaah adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar. Anak-anak ini akan dihukum dengan keras jika melanggar. Ajaibnya, ketika mendapat hukuman, tak setetes airmata pun mengalir dari pelupuk mata mereka, layaknya anak-anak seusianya. Justru sang ayah yang berurai air mata saat menunaikan tanggung jawabnya menghukum sang anak yang bersalah.
Mereka diajari sopan santun dan tatakrama dengan atmosfir yang demikian ketat. Bertemu dengan orang lain, mereka begitu takzim. Mereka mempraktekkan cara makan bersama-sama menggunakan kappara’ (semacam wadah yang lebar), tapi juga diajarkan tata cara makan dengan tradisi kesopanan umum.
Juga diajarkan keberanian. Jangan pernah takut akan apapun jika itu menyangkut kebenaran. Dibekali dengan tempaan fisik dengan aneka ilmu bela diri yang mumpuni. Dari kempo hingga tinju.
“Itu perutnya yang satu itu, (berbentuk) roti-roti,” ujar sang ayah berkelakar menunjuk anak keduanya, Kakak Afif, demikian mereka saling menyapa. Yang ditunjuk tersipu-sipu. Saya memijit bahunya dan merasakan otot mahasiswa fakultas kedokteran semester enam ini begitu alot.
Tubuh yang begitu padat dan berisi, merefleksikan kebugaran yang benar-benar prima. Sebuah implementasi ajaran ke-Islam-an tentang generasi penerus yang harus tangguh.
Putra ketiga, Kakak Zuhdy, bahkan menguasai ilmu bela diri pencak silat kampung yang dipelajarinya dari tanah kelahiran sang ayah di Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam dunia bela diri tradisional ada kemampuan-kemampuan khusus, misalnya ketajaman mata saat bertarung menggunakan senjata tajam. Kakak Zuhdy memilikinya.
Tapi apa pesan paling tegas dari seluruh kemampuan bela diri itu adalah jangan pernah menyalahgunakannya. “Sekali kalian berkelahi, maka saya yang duluan gosok,” pesan sang ayah.
Jangan tanya tentang prestasi. Bahkan di usia yang masih dini, mereka telah menghapal berjuz-juz dari Al qur’an. Mereka adalah jawara-jawara di sekolahnya. Dua di antaranya adalah pengukir prestasi di ajang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN).
Saya menemukan potret sebuah keluarga Muslim ideal di rumah ini. Berada di sana lebih dari sejam, saya seperti orang yang sedang kuliah tentang kehidupan. Kuliah tentang menjadi ayah. Menjadi anak. Menjadi suami. Juga menjadi lelaki.
Saya merekam sebuah keluarga bersahaja yang mencoba membagi dan menularkan banyak kebaikan bagi orang lain di sekitarnya. Dimulai dari lingkungan terdekat. Rumah mereka memang berpagar kokoh. Tapi samping kanan dan kirinya memiliki pintu untuk diakses oleh tetangganya. Bahkan kuncinya dipegang oleh sang tetangga.
Sesungguhnya banyak hal yang kami perbincangkan semalam itu. Saya sengaja memberikan porsi utama tentang pendidikan dalam keluarga. Keteladanan dalam rumahtangga. Sesuatu yang begitu sulit kita peroleh di zaman modern saaat ini. Saya merasa berkewajiban menyebarkannya. Setidaknya mengingatkan diri saya sendiri setiap kali membacanya kelak.
*** *** ***
Saya bertamu ke rumah salah seorang tokoh di Kota Kendari. Jauh hari saya sudah merencanakan untuk menemuinya, bersilaturahmi layaknya seorang adik ke kakak. Yunior-senior. Anak ke orangtua. Murid dan guru. Rakyat dan pemimpin.
Momentumnya muncul seiring terbitnya buku kecil saya, “Membaca Indonesia dari Bumi Anoa”. Sebuah buku yang saya maksudkan dapat turut mengambil secuil peran dari proses dialektis kehidupan berbangsa kita dalam kepingan bernama Bumi Anoa, Sulawesi Tenggara, dimana Kota Kendari menjadi bagian tak terpisahkan. Di dalamnya, ada beberapa sumbang pemikiran dengan segala kesederhanaan landasannya.
Buku dibalas buku. Sebuah buku saya bawa pulang dari rumah beliau. Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri. Buku yang masih baru dan wangi. Menjadi semacam pengganti buku yang sama dengan edisi jadulnya yang nyaris tak sempat saya selamatkan ketika banjir tahun 2013 silam.
Bersama beliau, saya menemukan banyak hal yang tak ternilai. Banyak kisah, banyak latar belakang, dari begitu banyak peristiwa sosial, budaya, ekonomi, politik, yang membingkai perjalanan kehidupannya sekaligus mewarnai daerah ini. Saya akan menyimpannya sendiri. Bersama foto narsis kami.
Saya hanya mau membagi buah tangan dari beliau. Keripik Pisang Sikkato lima rasa produksi home industri yang dibinanya, yang dibungkuskan khusus untukku. Sembari menuliskan ini, saya menikmatinya pelan-pelan bersama secangkir teh hangat dan kenangan bersama Bapak Musadar Mappasomba dan putra-putranya. Semalam. Di Anduonohu.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial