Oleh Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.
“Kalau mau menjadi Global Player gunakan Global Standard”
Ada sebuah kabar gembira saat kita melewati triwulan pertama tahun ini. Insan pariwisata Indonesia boleh berbesar hati, bahkan bangsa Indonesia boleh mulai percaya diri. Setelah melompat tajam dari ranking 70 pada tahun 2013 menjadi ranking 50 pada tahun 2015, kembali indeks daya saing Indonesia melesat naik 8 peringkat ke peringkat 42 pada tahun 2017.
Reputasi itu dipotret oleh Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) 2017, yang dikeluarkan secara resmi oleh World Economic Forum (WEF) pada 6 April 2017 lalu. Menariknya, kinerja pariwisata Indonesia naik 8 level, di saat Malaysia turun 2 peringkat di posisi 26. Singapura juga turun 2 peringkat dan Thailand naik hanya 1 peringkat di papan 34. Pekerjaan besar justru berawal dari sini, berawal dari akhir.
Kita memproyeksikan pada tahun 2019 nanti kita naik 12 level di posisi 30 besar dunia. Itu artinya, dari 141 negara yang dikalibrasi oleh TTCI WEF, Indonesia ditargetkan menerobos ke nomor 30 dunia. Jika angka itu tercapai, maka pariwisata Indonesia betul-betul diperhitungkan di level dunia. Indonesia menjadi destinasi penting dunia dan pariwisata menjadi industri strategis yang merupakan tulang punggung ekonomi nasional. Saat ini 10 besar itu urutannya adalah Spanyol, Prancis, Jerman, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Australia, Italia, Kanada, dan Swiss.
Apakah 30 besar itu sudah cukup seksi bagi masyarakat dunia untuk datang ke Indonesia? Apakah posisi itu sudah menjadi mimpi penduduk dunia untuk ke Indonesia? Jawabannya tentu saja belum. Ketika masuk ke jajaran 10 besar dunia, baru Indonesia menjadi bahan perbincangan penduduk dunia. Tantangan paling mendesak saat ini adalah bagaimana membangun sinergitas yang mesra antar kementerian, lembaga, dan Pemda dalam bungkus “Indonesia Incorporated”.
3C: Bertingkah lakulah sebagaimana kita dinilai. Presiden Joko Widodo berulang kali menanyakan, sebenarnya apa DNA bangsa ini? Pertanian? Industri manufaktur? Teknologi informasi? Atau industri budaya dan industri kreatif? Ingat, pariwisata masuk di sektor industri yang terakhir. Pertanyaan ini saya balik: Bidang apa yang paling bisa dan memungkinkan Indonesia bersaing di level global? Industri apa yang membuat Indonesia juara dunia? Di kancah internasional, sektor apa yang kita tak punya lawan yang bisa menjadi terbesar dan terbaik?
Tegasnya, sektor apa yang membuat confidence bangsa ini melonjak tinggi?
Sektor apa yang bisa lebih menjamin credibility kita di mata dunia?
Dan, sektor apa yang kita masih bisa di-calibratemenurut standar penilaian dunia? (Saya menyebutnya dengan Formula 3C: confidence, credibility, calibation).
Tanpa bermaksud mengesampingkan sektor lain, jawabannya pasti, yaitu: industri kreatif, budaya, dan sektor pariwisata. Mengingat strategisnya sektor ini, maka naiknya peringkat TTCI memiliki makna yang sangat penting, tak hanya untuk sektor ini, tapi juga untuk perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Ingat, dalam CEO Message sebelumnya saya sudah memprediksikan bahwa sektor pariwisata dalam waktu dekat akan menyalip sektor migas sebagai penyumbang devisa terbesar.
Apa strategisnya 3C bagi bangsa ini? Coba kita lihat satu-persatu. Pertama confidence, dengan kenaikan peringkat TTCI otomatis level kepercayaan diri bangsa ini naik. Secara internal, ke dalam negeri, kita makin percaya diri: bahwa bangsa kita mampu bersaing di level dunia. Kita yakin, bahwa di sektor pariwisata kita bisa berkompetisi dan memenangkan persaingan. Karena itu, pilihan Presiden Jokowi yang menetapkan pariwisata sebagai core economy dan prioritas pembangunan kita juga sudah tepat.
Kedua credibility, di mata masyarakat global kredibiltas bangsa ini juga mulai membaik. Artinya, secara eksternal, ke luar, kita juga semakin diakui, dipercaya, kredibel, orang semakin tahu bahwa “Wonderful Indonesia” memang hebat dan punya nilai di mata dunia. Perlu dicatat bahwa yang menyatakan kalau Indonesia hebat itu bukan kita sendiri, tetapi lembaga dunia yang juga kredibel.
Ketiga, calibration, dengan membandingkan kinerja Indonesia dengan standar dunia, menjadi terbukti bahwa kita naik kelas. Setelah dikalibrasi dan dipotret dengan kriteria dan standar dunia, ternyata kita naik 8 peringkat. Ini pencapaian positif karena standar yang sama juga dipakai untuk memotret dan mengukur indikator dari semua negara.
Hasil membanggakan : if you can’t measure you can’t manage. Secara umum peringkat kita naik tahun ini dari 50 menjadi 42, dengan skor 4,16 dari sebelumnya (2015) sebesar 4,04. Dari data yang terekam TTCI, angka 14 pilar itu naik turun sangat dinamis. Business Environment naik 3 trap, dari 63 ke 60. Health and Hygiene naik 1 level, dari 109 ke 108. International Openess naik drastis, dari 55 ke 17, karena faktor kebijakan Bebas Visa Kunjungan yang kita galakkan dua tahun terakhir. Prioritization Travel and Tourism naik dari 15 ke 12, karena memang pemerintah sangat serius mendorong pertumbuhan sektor pariwisata.
Environment Sustainability sedikit membaik, meskipun masih di posisi 131 dari 134 dunia. Air Transport Infrastructure membaik 3 peringkat, dari 39 ke 36. Ground and Port Infrastructure naik dari 77 ke 69, Tourism Service Infrastructure juga naik dari 101 ke 96. Dan Natural Resources yang memang kita memiliki keunggulan melejit cukup signifikan dari 19 ke 14.
Bicara mengenai kalibrasi, kalau kita cermati 14 pilar pengukuran yang ada di dalam TTCI WEF, sesungguhnya 3 program prioritas kita tahun ini (yaitu digital tourism, homestay desa wisata, dan aksesibilitas udara) sebagian besar sudah tercakup di dalam pilar-pilar tersebut. Jadi kalau kita fokus menyukseskan 3 program prioritas tahun ini, maka efek leverage-nya ke peningkatan peringkat TTCI akan sangat tinggi. Coba kita cermati satu-persatu.
Pertama, Digital Tourism. Kenapa harus Go Digital? Karena dengan Go Digital otomatis kita akan memperbaiki peringkat kita di TTCI pada berbagai pilar seperti: ICT Readiness, Business Environment, Prioritization of Travel and Tourism, dan Price Competitiveness. Sacara langsung maupun tidak langsung, empat pilar TTCI tersebut terkait erat dengan digitalisasi dan teknologi informasi.
Kita bersyukur, digitalisasi sudah mulai merambah berbagai bagian di lingkungan Kemenpar. Dari War Room M-17 Dashboard, Customer Information System (Look, Book, Pay), dashboard wisman, dashboard wisnus, transformer 10 pengembangan destinasi, digital marketing/branding, digital market place ITX untuk selling platform, e-commando, dan e-government, Sampai dengan urusan menghitung wisman-wisnus pun kita menggunakan teknologi digital (memanfaatkan big data) yang dinamai Mobile Positioning Data (MPD).
Kedua, Homestay Desa Wisata. Membangun homestay itu bersentuhan langsung dengan Health and Hygiene, Safety and Security, Human Resources and Labor Market, Cultural Resources, Natural Resources di dalam pilar TTCI. Jadi kalau kita mengembangkan homestay desa wisata, maka ini sama saja dengan kita sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sekali kita mengembangkannya, beberapa pilar TTCI bisa sekaligus kita tingkatkan score-nya.
Harus diingat, dalam konteks pariwisata, homestay itu tidak sekedar membuat properti bangunan rumah. Pengembangannya harus dilihat secara holistik. Harus dekat dengan destinasi wisata dan dipikirkan aspek-aspek lain agar bisa menghidupkan destinasi. Bangunannya harus menggunakan arsitektur Nusantara agar tercipta identitas ke-Indonesia-annya. Harus didorong agar tradisi dan budaya masyarakatnya bisa menjadi atraksi bagi para wisatawan. Juga, standar hospitality-nya dijaga agar memenuhi ekspektasi konsumen.
Ketiga, Aksesibilitas Udara. Mengembangkan konektivitas ini kalau di dalam kriteria TTCI mencakup berbagai kriteria seperti: Air Transport Infrastructure, Ground and Port Infrastructure, dan Tourist ServiceInfrastructure. Termasuk juga di dalamnya kriteria seperti: ICT Readiness, Safety and Security, dan International Openess. Jadi cakupan program prioritas ini di dalam TTCI cukup luas.
Ini adalah PR terbesar kita tahun ini. Soal Air Connectivity bagi kita tidak bisa dibilang mendesak lagi, tapi sudah darurat, karena kita telah mengalami defisit seats capacity sebanyak 2 juta kursi untuk memenuhi target jumlah 15 juta wisman tahun ini. Kalau kita tidak bisa menutup defisit 2 juta seat ini akhir tahun ini, maka di 2018 dan 2019 kita akan lebih repot lagi. Itu sebabnya minggu ini saya melakukan safari lagi ke maskapai dan bandara untuk mendapatkan tambahan slot di bandara dan meningkatkan jumlah maskapai yang terbang direct flight ke Tanah Air.
Lessons-Learned
Ada beberapa pelajaran berharga yang kita dapat dari keberhasilan menaikkan peringkat kita di TTCI.Pertama, attention to detail, teliti dalam melakukan eksekusi. Semua ini bisa kita wujudkan bukan dengan cara main perintah ke anak buah. Hanya asal perintah ke anak buah, pokoknya harus tercapai. Seorang leader harus punya attention to detail, harus masuk ke detail-detail, tidak bisa asal tahu beres. Itu sebabnya saya minta ke Pak Sams untuk “memelototin” satu-persatu setiap pilar TTCI yang harus dikejar target score-nya. Kita bedah mulai dari angkanya, elemennya seperti apa, pertanyaannya apa saja, kemudian dicermati satu-persatu pairing-nya dengan kementerian lain. Tidak bisa tidak seorang leader harus detail. Ingat, the devil is in detail.
(Baca Juga : Kemenpar Gelar Workshop Indeks Daya Saing 10 Bali Baru)
Kedua, Indonesia Incorporated. Harus diingat, banyak dari pilar-pilar TTCI di atas yang hanya bisa terwujud dengan kementerian dan lembaga lain. Soal bandara misalnya, kita tak akan lepas dari Kementerian Perhubungan dan PT Angkasa Pura. Karena itu keberhasilan kita naik peringkat TTCI sekaligus juga merupakan keberhasilan Indonesia Incorporated. Untuk bisa berkolaborasi dan bersinergi dengan kementerian dan lembaga lain, secara rutin kita mengadakan rapat koordinasi dengan mereka dan mendorong mereka untuk mendukung kita. Celakanya, hampir semua kementerian tidak mengerti apa itu TTCI. Bahkan ada pertanyaan bagaimana hubungan kenaikan peringkat dengan kenaikan jumlah wisman. Itu pertanyaan yang sangat indirect tapi perlu dijelaskan dengan hati-hati.
Ketiga, dan yang terpenting adalah CEO Commitment.Hasil yang membanggakan ini bisa tercapai karena komitmen yang tinggi dari Pemimpin Tertinggi yaitu Bapak Presiden Joko Widodo, beliau sangat yakin dan sangat mendukung sektor pariwisata menjadi sektor unggulan. Beliau secara langsung mengunjungi destinasi-destinasi pariwisata dan berulang kali memimpin Rapat Terbatas tentang pengembangan destinasi pariwisata prioritas.
Sementara itu, saya sendiri turun langsung beraudiensi ke markas besar WEF di Geneva Swiss untuk menyampaikan bahwa Indonesia sangat concern dengan TTCI dan menempatkan indikator TTCI sebagai perangkat untuk mendorong 3C. Kita terus-menerus berupaya memperbaharui kebijakan dan melakukan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, untuk meningkatkan daya saing kepariwisataan.
Moving Forward
Kalau sekarang April 2017 keluar laporan TTCI WEF, maka berarti kita masih punya waktu 2 tahun atau 24 bulan untuk menyiapkan laporan di April 2019. Tapi betulkah demikian? Rupanya tidak. Kalau ditarik mundur maka proses penilian WEF sudah ditutup pada Januari 2019, karena datanya sudah dihitung. Jika ditarik mundur lagi, ternyata pengumpulan secondary data sebagian besar sudah berakhir pada September 2018. Artinya pada 2018 kita harus sudah menyelesaikan hasil laporan dari semua Kementerian dan lembaga (K/L) dan kemudian kita laporkan ke WEF.
(Baca Juga : Bertamu di Kemenpar, Dubes Bulgaria Bantu Cari Formula Promosikan Pariwisata)
Oleh karena itu kita harus bergerak cepat. Untuk action plan TTCI 2019, hal yang harus kita lakukan dalam 2 bulan ke depan (April-Mei 2017) adalah sosialisasi indikator TTCI ke K/L dan industri terkait. Kemudian mulai Mei 2017 kita harus melakukan percepatan dan prioritisasi pembangunan pendukung indikator TTCI, baik untuk data primer maupun sekunder. Nah, PR selanjutnya adalah, kita harus melakukan pembentukan opini publik selama setahun ke depan.
Semua unsur yang menjadi kelemahan harus terus kita perbaiki dengan melibatkan semua unsur Pentaheliks. Sinergisitas Pentaheliks ini merupakan faktor kunci kesuksesan kenaikan peringkat TTCI, yang berarti juga faktor kunci kesuksesan pariwisata nasional.
Salam Pesona Indonesia!!
*) Menteri Pariwisata Republik Indonesia