Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Sultra) selain memiliki keanekaragaman budaya dan adat-istiadat sebagai simbol daerah berbudaya. Juga dikenal dengan kekayaan sumber daya alam khususnya laut dan daerah pesisir pantai.
Sumber daya alam dimiliki Wakatobi merupakan rahmat dan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Kekayaan alam Wakatobi khususnya laut dan daerah-daerah pesisir bukan hanya diakui pemerintah Indonesia namun lembaga dunia seperti UNESCO pun mengakuinya dengan menetapkan Wakatobi sebagai kawasan Cagar Biosfer Bumi.
Selain laut dimana terdapat 850 jenis terumbu karang yang merupakan kekayaan alam terbesar dimiliki Wakatobi. Banyak daerah-daerah pesisir menjadi aset dan perlu ditumbuh kembangkan atau dilestarikan demi nama besar Wakatobi. Namun kekayaan alam yang berada disekitar daerah pesisir itu, seringkali mendapat ancaman dari warga di seputar pesisir pantai.
Hutan Mangrove, merupakan salah satu kekayaan alam Wakatobi dan terletak di daerah pesisir. Dalam berbagai kesempatan, ada saja aktivitas masyarakat pesisir yang menjadikan hutan Mangrove sebagai sasaran aktivitas hari-hari untuk dijadikan kayu bakar. Jika hal itu seringkali terjadi, dikhawatirkan terancam punah seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat pesisir yang tidak diimbangi dengan informasi dan pengetahuan.
Bahkan beberapa tahun lalu, puluhan masyarakat yang mendiami wilayah pesisir pantai di Pulau Kaledupa pernah dilaporkan pihak Balai Taman Nasional wilayah II Kaledupa ke pihak berwajib dan sempat menginap di Polres Wakatobi akibat kekurangpahaman dan pengetahuan serta informasi terkait pelestarian hutan Mangrove. Dikarenakan menjadikan hutan Mangrove sebagai sasaran untuk mengambil kayu bakar.
Kegiatan sebagian masyarakat yang mendiami wilayah pesisir menjadikan hutan Mangrove untuk kebutuhan sehari-hari (kayu bakar) rupanya hingga saat ini masih dijumpai. Awal bulan April 2017 lalu, dimana saat itu saya menempatkan diri berkunjung di salah satu desa wilayah pesisir di Pulau Kaledupa (Desa Samabahari). Saya menemukan cabang hingga ranting pohon Mangrove sedang dijemur disamping dan depan rumah masyarakat untuk kebutuhan kayu bakar.
Isu menurunnya daya dukung hutan Mangrove di beberapa lokasi tertentu di Wakatobi, beberapa tahun lalu menjadi pusat perhatian beberapa LSM lokal yang bergerak di bidang konservasi lingkungan. Sejumlah LSM lokal dan pemerhati lingkungan saat itu merasa khawatir akibat besarnya volume pemakaian kayu Mangrove oleh masyarakat di wilayah pesisir pantai sebagai konsumsi rumah tangga.
Dengan fenomena itu, asosiasi pemikiran saya berkesimpulan jika hutan Mangrove seringkali menjadi obyek oleh warga pesisir pantai dan sekitarnya untuk berbagai kebutuhan dipastikan akan menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian hutan Mangrove.
Menurunnya daya dukung hutan mangrove terhadap lingkungan akan berakibat fatal terhadap masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Abrasi air laut tidak dapat dihindari dan semua biota laut yang berlindung pada hutan mangrove juga akan punah. Dan akibatnya akan dirasakan juga secara langsung oleh nelayan yang beraktivitas di sekitar hutan Mangrove.
Pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Wakatobi melalui instansi terkait semestinya sesekali atau terjadwal menggandeng lembaga-lembaga tertentu khususnya yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan untuk bersama-sama menyelenggarakan semacam pelatihan kepada masyarakat di sekitar pesisir pantai sehingga kegiatan mengambil kayu Mangrove untuk kebutuhan dapur bisa tergantikan dengan teknologi lain dimana manfaatnya tetap sama ketika menggunakan kayu Mangrove.
Teknologi tepat guna seperti pembuatan tungku hemat energi bisa dijadikan eksperimen oleh pemerintah bersama lembaga-lembaga pemerhati lingkungan. Pelatihan pembuatan tungku hemat energy diharapkan bisa berfungsi ganda. Selain menyelamatkan hutan Mangrove, pembuatan tungku hemat energy juga diharapkan bisa bernilai ekonomi.
Oleh Duriani
Penulis Merupakan Wartawan Daerah di Wakatobi
Keren…