Awal Ramadhan. Pagi hingga jelang sore ini lengang sekali. Jalanan kota bergerak malas. Berbeda sehari sebelumnya. Pasar tumpah ruah. Jalan raya hingga lorong sibuk. Penjual ayam panen. Daging sapi laris manis. Harga ikan naik. Ikatan sayuran mengecil dengan harga yang sama di hari lain. Pelabuhan dan bandara padat. Kapal-kapal dijubeli orang. Penjual pakaian wait and see.
Menuju sore, wangi kari, opor, ketupat, lapa-lapa (masakan khas di Sulawesi Tenggara) menguar dari jendela ke jendela. Pintu ke pintu. Orang-orang bersua kawan lama. Sepupu. Ponakan. Tante. Paman. Mantan. Dan terutama orangtua.
Iklan sarung dan sirup tayang tak terbilang mengisi jedah laporan pengamatan hilal dan sidang itsbat. Sesudah magrib, dulang makanan digelar. Acara baca-baca. Doa-doa dipanjatkan. Ditujukan ke mereka yang hidup, lebih-lebih ke yang sudah wafat. Dipimpin oleh mereka yang dituakan, yang hapal wirid-wirid panjang.
Diakhiri dengan salam-salaman, amplop “terima kasih” dipindahtangankan –kadang-kadang ditolak, kebanyakan diterima. Dituntaskan dengan makan bersama. Ada tawa berderai. Juga ada airmata haru yang menitik.
Kesadaran kontemplatif-kolektif kembali hadir: “Ya Allah, terima kasih atas umur yang Engkau panjangkan. Kami masih bertemu Ramadhan. Bulanmu yang suci. Kami hendak menyucikan diri.” Begitu Ramadhan disambut. Itu Ramadhan kita. Itu kita. Meski tak semua begitu.
Di tempat lain di Nusantara, Ramadhan juga disambut dengan semangat serupa meski caranya berbeda. Di Jawa kita mengenal Padusan, tradisi mandi di sungai atau sumber air lainnya dengan dengan niat membersihkan atau menyucikan diri. Sehari atau bahkan semingguan jelang Ramadhan, masyarakat berbondong-bondong ke sungai atau mata air. Kini, kita menyaksikan permandian modern “water park” diserbu warga untuk melaksanakan Padusan.
Sedikit berbeda dengan di Jawa, di daerah Riau dikenal tradisi potang balimau atau balimau kasai, yakni tradisi mandi di sungai pada sore hari sehari sebelum puasa. Tujuannya juga untuk menyucikan diri sebelum masuk Ramadhan.
Di Sumatera Barat ada istilah “membantai”, tradisi warga kampung dengan menyembelih sapi atau kerbau yang dagingnya dibagi-bagikan untuk mereka yang urun-urunan membeli sapi atau kerbau itu. Ini dimaksudkan agar mereka dapat menikmati daging menjelang puasa yang disesuaikan dengan kondisi kantong.
Dulu di Pariaman, masih Sumatera Barat, ada tradisi menyambut Ramadhan, dimana seorang suami yang tinggal di rumah istri, wajib membawa pulang daging ke rumah. Biasanya ditenteng di sepanjang jalan agar orang kampung melihatnya. Kalau ada yang tidak membawa daging, siap-siap saja beranda rumahnya akan digantungi jantung pisang. Entah apa maksudnya.
*** *** ***
Awal Ramadhan di Indonesia bukan peristiwa yang dipandang dalam kacamata keagamaan semata. Ramadhan yang kita sambut dan jalani adalah juga fenomena antropologis. Tidak akan ditemukan suasana demikian ini, bahkan di tanah Arab, tempat agama Islam diturunkan.
Ibarat seorang tuan rumah, kita memperlakukan Ramadhan sebagai tamu yang begitu terhormat. Kita memasak makanan enak. Mandi-mandi. Bersih-bersih. Demi Ramadhan. Untuk Ramadhan –yang dalam pemaknaan praktis maupun hakekatnya sesungguhnya untuk diri kita kita sendiri.
Awal Ramadhan merupakan satu titik penting tentang makna keluarga dan rasa kekeluargaan. Tidak ada orang dewasa Muslim di Indonesia yang melupakan kisah masa kecilnya tentang awal Ramadhan. Dan itu yang membuatnya selalu ingin kembali dan berkumpul dengan kenangan masa kecilnya manakala Ramadhan tiba.
Akan banyak adik-adik mahasiswa yang tidak sempat pulang kampung, terbaring di sudut kamar kostnya, membenamkan wajahnya ke bantal, dan berurai airmata, lalu membuat “status paling galau abad ini “di akun FB-nya.
Kawan saya seorang perempuan nekat pulang kampung ke Konawe Utara, naik sepeda motor sendirian, dan terjatuh oleh jalanan yang kondisinya naudzubillah. Bahkan oleh-oleh untuk kerabatnya hilang terseret air ketika melintasi sungai (jalan ke Konawe Utara sekarang, katanya, harus melintasi sungai dan naik rakit).
Ada kekuatan maha dahsyat yang mendorong kita untuk memperlakukan awal Ramadhan dengan cara sangat istimewa. Tidak peduli betapa sulit prosesnya. Dalam konteks inilah, fenomena antropologis tadi kerapkali mempertontonkan realitas yang paradoksal –tak jarang menyedihkan– ketika dikaitkan dengan makna Ramadhan sebagai proses pengendalian diri.
Justru ketika Ramadhan, konsumsi kita meningkat. Anggaran makan dan minum kita bertambah. Harga barang membubung tinggi sebagai konsekuensi melonjaknya permintaan. Padahal, kita hanya menggeser jadwal makan dan minum kita dari pagi menjadi dinihari.
Demi awal Ramadhan, utang kanan kiri untuk membeli seekor dua ekor ayam. Sekilo dua kilo daging. Syukur-syukur jika berutang. Jika merampas hak orang lain atas nama menyambut puasa pertama?
Di pasar yang begitu sesak, klakson-klakson “intimidatif” para pengendara tidak sabar untuk saling mendahului. Parkir seenaknya di pemakaman umum saat tradisi ziarah kubur yang menghambat jalan orang lain.
Fenomena awal Ramadhan kadangkala membuat kita lupa bahwa kita sedang hendak berpuasa. Bukan berpesta. Bukan baca-baca. Bukan makan-makan. Bukan mandi-mandi.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHo & Pemerhati Sosial