ZONASULTRA.COM, UNAAHA – Baru saja publik dikejutkan dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Badan Pengawas Keuangan (BPK) pusat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam OTT ini penyidik lembaga anti rasua itu menetapkan empat orang sebagai tersangka, yakni dua orang dari Kementrian Desa Tertinggal serta dua lainnya merupakan penjabat tinggi BPK.
Seperti yang dilansir Tempo.co, OTT tersebut diyakini berkaitan erat dengan dugaan suap atas pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Kementrian Pedesaan itu. “Kode uang disepakati “PERHATIAN” kemudian terkait untuk WTP di Kementrian Desa tahun 2016,” ungkap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif yang dilansir Tempo.co
Jika dugaan suap pemberian WTP ini benar, maka kredibilitas opini yang menyatakan daerah tersebut baik dan benar dalam mengelolah keuangan atau dalam bahasa sederhananya “tidak ada temuan kerugian negara pada daerah itu atas penggunaan anggara daerah maupun negara”, sangat patut dipertanyakan keakuratannya.
WTP Konawe
Meski banyak yang tidak percaya, pada tahun 2016 lalu Badan Pengawas Keuangan (BPK) Sultra memberikan opini WTP terhadap pengelolaan keuangan daerah Konawe bersama dengan tujuh catatan yang diberikan, diantaranya. Pengelolaan kas pada bendahara pengeluaran di Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) belum tertib, Aplikasi v-tax (aplikasi pengelolaan pajak daerah) belum mendukung penyajian laporan keuangan daerah.
Selanjutnya, Penatausahaan dan pelaporan uang persediaan belum tertib, Konawe belum memiliki sistem dan prosedur pelaporan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Implementasi standar akuntansi pemerintah berbasis aktual belum optimal, realisasi belanja jasa konsultasi belum sesuai ketentuan, dan yang terakhir adalah proses pengadaan barang dan jasa melalui pengadaan langsung belum sesuai ketentuan.
WTP saat itu menjadi hadiah terindah pemerintahan Kery Saiful Konggoasa dan Parinringi, sebab selama puluhan tahun Konawe hanya mampu memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), dan predikat baik itu baru pertama kalinya diraih.
Selain menjadi ajang kebangaan Pemda Konawe, opini WTP itu juga ternyata menjadi “jualan” Kery untuk pencalonannya sebagai Bupati Konawe di periode kedua. Namun “jualan” itu sepertinya kembali dipertanyakan publik pasca OTT yang dilakukan KPK di kantor BPK.
Bupati Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Konawe, Rolansyah kembali mempertanyakan kredibilitas BPK Sultra dalam memberikan opini WTP bagi Kabupaten Konawe, pasalnya jika dilihat dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pengawas Keuanga dan Pembangunan (BPKP) saat itu terdapat kerugian hingga puluhan miliar rupiah, yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan BPK untuk memberikan opini WTP.
“Kalau memang Konawe wajar untuk mendapatkan WTP, pertanyaannya adalah, mengapa ditahun WTP itu, Kepala Disperindag Konawe ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan, oleh Kejaksaan negeri (Kejari) Konawe, atas dugaan kasus korupsi pembangunan pasar Sampara,” ujar Rolansyah
Sementara, lanjut Rolan, saat itu BPK memberikan opini WTP yang menunjukkan jika pengelolaan keuangan dan aset daerah telah benar dilaksanakan sehingga tidak ada lagi temuan kerugian negara.
Menurut pria yang juga berprofesi sebagai dosen itu, jika memang daerah penghasil beras terbesar di Sultra benar layak mendapatkan opini WTP, maka kasus dugaan tindak pidana koropsi pembangunan pasar Kapita Lau Ndalami (Sampara) yang merugikan negara sebesar Rp1,2 miliar tidak akan terbukti.
“Sementara saat ini Mantan Kadis Perindag, Muhammad Yasin, Penjabat Pembuat Komitmen (PPK), Muhammad Syafruddin, dan kotraktor sudah menjadi terpidana. Itu artinya kasus koropsi pembangunan pasar sampara terbukti,” Imbuhnya.
Pertanyaan atas pemberian opini WTP tidak hanya datang dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Konawe, melainkan pertanyaan serupa juga datang dari Haerul Saleh, salah satu anggota Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pusat dari fraksi partai Gerindra.
Saat pertemuan di Aula rapat kantor Gubernur Sultra pada 2016 lalu, Haerul Saleh secara khusus melontarkan pertanyaan soal pemberian WTP Konawe yang diduga belum layak mendapatkannya dengan tujuh catatan yang diberikan. Ia sengaja mempertanyaakan hal itu sebab pada saat pertemuan itu turut pula dihadiri Ketua BPK Sultra Widiyatmantoro.
“Saya takutnya BPK ini asal kasih saja WTP, saya mewakil BPK untuk melakukan audit pada lembaga negara, tapi saya juga mewakili BPK jika ada kesalahan,” ungkap Haerul Saleh dalam rangka kunjungan kerja di Sultra, Senin (1/8/2016) di Aula Rapat Kantor Gubernur Sultra.
Widiyatmantoro yang kala itu menjadi obyek dari pertanyaan politisi Gerindra itu langsung menanggapi pertanyaan tersebut. Menurutnya, syarat untuk menentukkan suatu daerah yang mendapatkan opini WTP adalah sistem pengendalian internal memadai dan tidak ada salah saji yang material atas laporan keuangan dan secara keseluruhan laporan keuangan telah menyajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintah (SAP).
Materialitas adalah besarnya nilai yang dihilangkan atau salah saji informasi akuntansi, yang dilihat dari keadaan yang ruang lingkupnya dapat mengakibatkan perubahan atas suatu pengaruh terhadap pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan terhadap informasi itu, karena adanya penghilangan atau salah saji. Hal tersebut mengharuskan auditor untuk mempertimbangkan keadaan yang berkaitan dengan entitas dan kebutuhan informasi pihak yang akan meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Kemudian terkait raihan opini WTP Pemerintah Kabupaten Konawe, Widiyatmantoro menegaskan jika skor atau angka yang didapatkan oleh Pemkab Konawe masih berada dibawah standar materialitas meskipun memiliki 7 catatan.
“Dan semua punya perhitungan, serta rumus untuk menentukkan apakah skor yang didapat melibihi materialitas, termasuk Konawe skor yang didapatkan tidak melibihi angka materialitas,” ungkapnya.
Selain itu, tidak menutup kemungkinan suatu daerah yang mendapatkan opini WTP tidak terdapat indikasi korupsi, pada situs resmi BPK (www.bpk.go.id) dijelaskan bahwa dalam melakukan pemeriksaan ada tiga jenis pemeriksaan pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Pemeriksaan keuangan dimaksudkan untuk memberikan opini apakah laporan keuangan sudah disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sementara, pemeriksaan kinerja dimaksudkan untuk menilai apakah pelaksanaan suatu program atau kegiatan entitas sudah ekonomis, efisien, dan efektif. Sedangkan, pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) adalah pemeriksaan selain dua jenis tersebut, termasuk disini adalah pemeriksaan investigatif untuk mengungkap adanya kecurangan (fraud) atau korupsi, pemeriksaan lingkungan, pemeriksaan atas pengendalian intern, dan lain-lain.
Berdasarkan LHP BPKP Sultra atas pelaporan keuangan daerah nomor 32.B/LHP/XIX.KDR/07/2016 tanggal 25 Juli 2016, Diketahui bahwa jumlah kerugian negara atas buruknya sistem dan pengelolaan keuangan dan aset daerah mencapai Rp 55,332,142,749,99 Miliar. Jumlah tersebut belum termasuk dengan hitungan Aset tetap yang tidak diketahui keberadaannya. Serta kerugian negara pada perhitungan hasil audit BPK nomor 32.A/LHP/XIX/07/2016 dan hasil audit BPK nomor 32.C/LHP/XIX/07/2016.
Dari jumlah tersebut, Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Konawe merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) penyumbang kerugian terbesar yakni sebesar Rp 34.993.841.193.00 Miliar. Hingga saat ini belum ada jawaban yang tepat atas pertanyaan publik “Kenapa Konawe Bisa Mendapat Opini WTP?” dengan temuan kerugian negara mencapai miliaran rupiah.
Mungkinkah opini Wajar Tanpa Pengecualian yang disematkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Konawe oleh Badan Pengawas Keuangan Sulawesi Tenggara sama dengan dengan usaha Irjen Kemdes PDT, Sugito. Dengan maksud Kemetrian Desa Tertinggal bisa mendapatkan predikat WTP yang akhirnya berujung pada OTT KPK di kantor BPK?. (A*)
Penulis : Restu Tebara
Editor : Tahir Ose