Rusman Emba – Ridwan Bae
Cukup lama tak menulis tentang dinamika politik lokal kita. Terlalu fokus cari duit buat beli tiket ke Banyuwangi untuk ketemu si dia, remaja yang bikin orang se-Indonesia baperan. Belum sempat berangkat, eh Kendari kebanjiran. Yah, sudahlah. Batal. Lebih baik menguras air yang terjebak dalam rumah ketimbang ke Banyuwangi.
Toh, si dia juga sudah duluan ketemu sama Pak Jokowi. Kalau saya ketemu dia setelah Pak Jokowi, kan ngga enak. Masak saya yang jadi acara puncaknya. Bisa-bisa saya dipersekusi. Halah, katanya mau ngomongin politik lokal. Kok ngelantur kemana-mana ya? Ya sudah, kembali ke judul di atas.
Kita akan bicara tentang Rusman Emba dan Ridwan Bae di panggung pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra). Keduanya sama-sama “serius” mau maju. Keduanya sama-sama sudah mengambil formulir di Partai Demokrat.
Keduanya adalah keponakan dan paman. Keduanya sama-sama bupati (dan pernah bupati) di Muna. Keduanya sama-sama mendukung Muhammad Ihsan –putra Ridwan– pada Pilkada Muna Barat, dan kalah. Keduanya sudah saling dukung dan menopang dalam rentang waktu yang panjang.
Dalam bacaan saya, Rusman dan Ridwan tidak sedang hendak berhadap-hadapan. Mereka sesungguhnya akan melanjutkan saling dukung-mendukungnya. Keduanya sedang memperagakan jurus-jurus politik level tinggi.
Kita membacanya dari perspektif Ridwan yang sudah mengunci Partai Golkar untuk dia –atau orang yang direstuinya– dengan tidak membuka pendaftaran bakal calon gubernur.
Ridwan bukanlah figur dengan tingkat elektabilitas yang superior jika dibandingkan dengan figur-figur lainnya semisal Rusda Mahmud atau Lukman Abunawas.
Dalam bursa wacana di ruang publik, Ridwan kerap memperoleh sentimen negatif terkait dengan kepemimpinannya di Muna selama sepuluh tahun. Sentimen itu pernah teruji lewat Pilgub 2012, dimana
Ridwan yang berpasangan dengan Haerul Saleh berada di posisi buncit dengan raihan suara hanya 22,86 persen, dan hanya unggul di Kabupaten Muna dan Kolaka Utara.
Pun ketika dia berhasil lolos menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2014 dengan perolehan suara tertinggi kedua setelah Tina Nur Alam, lumbung utama suaranya hanya berasal dari Muna. Apa artinya? Ridwan hanya mengandalkan pemilih dari Kabupaten Muna.
Di Pilgub 2018, Ridwan bakal kesulitan memanfaatkan isu-isu primordial pada masyarakat Muna yang berdiam di luar Muna karena preferensi politik mereka yang lebih cair serta irisan kepentingan pragmatis mereka lebih minim.
Oleh karenanya, tokoh seperti Tina Nur Alam atau Lukman Abunawas menjadi incarannya untuk meraih dukungan pemilh dari luar Muna. Persoalannya, kedua figur itu tidak lebih inferior daripada Ridwan.
Segala realitas ini dipahami oleh Rusman, bintang baru yang sedang naik daun. Di awal pemerintahannya, dia cukup sukses menggaungkan nama Muna ke publik Sultra. Masjid agung –sebuah landmark di Kota Raha– yang lama mangkrak dibenahinya. Lalu, kampanye kepariwisataan digencarkan.
Dia juga sukses banting setir dari kader Golkar menjadi fungsionaris PDIP dengan menjadi salah seorang wakil ketua. Belum lama ini dia juga terpilih sebagai Ketua FKPPI Sultra, sebuah organisasi masyarakat yang memiliki basis massa jelas dan militan.
Rusman menyadari, tokoh Muna yang dapat dijual di panggung pilgub dan memiliki infrastruktur politik memadai seperti jejaring, modal finansial, dan kekuasaan hanya dirinya dan Ridwan. Sang paman. Sekutunya. Mentornya.
Dan sayangnya, bintang Ridwan tidak lagi cerah-cerah amat. Rusman memahami celah itu dan segera bergerak menyosialisasikan diri sebagai bekal untuk survei elektabilitas nantinya. Jika dia berhasil mengungguli elektabilitas Ridwan, misalnya, sang paman sepertinya tidak akan terlalu keberatan jika peluang itu diserahkan padanya.
Kendatipun demikian, Rusman juga memiliki hambatan psikologis dari publik. Bahwa kepemimpinannya di Muna baru seumur jagung. Segala yang digagas dan dikerjakannya belum terlihat hasilnya secara fundamental. Belum membuktifkan apa-apa. Jika memaksakan diri maju di pilgub, resistensi berupa tudingan “terlalu mengejar jabatan” akan berhembus dengan kencang.
Dengan demikian, Rusman sesungguhnya tidaklah seserius itu untuk maju. Jika Ridwan tetap bertahan mencalonkan diri, Rusman akan menghentikan langkahnya. Karena jika mereka berhadap-hadapan, keduanya pasti kalah oleh lawan yang lain. Kenapa? Yah, karena keduanya lahir dari lumbung yang sama, mereka akan bertempur di lumbung yang sama. Memperebutkan basis pemilih yang sama.
Rusman hanya sedang mencoba menangkap peluang dari Ridwan yang tidak lagi setangguh dulu. Parameter terakhirnya adalah Pilkada Muna Barat. Rusman hanya menjaga, jangan sampai Ridwan batal maju dan dirinya sama sekali tidak punya persiapan. Karena maju di pilgub bukan hanya soal keberanian. Tapi juga menyangkut hasil survey. Rusman hanya jaga-jaga. Kira-kira begitu.***’
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial