Dek Afi, siapa yang tidak mengenal dia?
Seorang remaja yang baru saja menamatkan sekolahnya di SMA 1 Gambiran, Banyuwangi Jawa Timur itu mendadak menjadi selebriti facebook. Pasalnya ia terkenal melalui tulisan yang diunggahnya di akun facebook pribadinya.Tulisannya yang berjudul “WARISAN” itu banjir dengan ribuan likers dan komentar.Baik itu setuju maupun yang kontra dengan pendapat yang dituangkannya dalam tulisannya.Tak hanya masyarakat umum namun dek Afi ini menuai pujian dari kalangan berpengaruh baik itu dari pemerintah setempat maupun publik figur.Namun belakangan yang menghebohkan. Namun, belakangan yang mengejutkan tulisan Afi tersebut dicap plagiat karena meniru hasil tulisan Mita Handayani. Terlepas dari hal itu yang akan saya dalami disini adalah akibat yang ditimbulkan melalui pemkiran yang senada dengan apa yang ditulis Afi.
Racun pluralisme
Jika dianalisa lagi, tulisan afi ini memang sarat dengan makna ganda toleransi. Dimana, agama dinilainya sebagai kebenaran mutlak yang dimiliki bagi para pemeluknya. Jika saja para pemeluk masing-masing agama ini memaksakan kehendak mereka untuk menjadikan agama dalam hal ini kitab suci masing-masing penganut agama sebagai sumber hukum negara ini maka sudah jelas perpecahan di Indonesia sudah pasti akan terjadi.
Dari sudut pandang Afi ini, dia menilai agama sebagai warisan orang terhadap anaknya. Sehingga anak ini tidak memiliki pilihan lain jikapun dilahirkan dari kalangan yang bukan Islam.
Sejatinya setiap anak yang terlahir di dunia ini terlahir fitrah yakni beragama Islam, hal ini didasarkan pada al-Hadits “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kecuali orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR Bukhari 1296).Jika ditarik benang merahnya, kasus remaja seperti Afi ini tidaklah muncul tanpa ada pemicunya, generasi muda yang begitu akrab dengan paham-paham yang modernistik dan tidak sedikit paham itu ternyata berbahaya jika saja kita jeli melihatnya. Tulisan-tulisan Afi yang katanya kelas berat dan menebarkan cinta damai tak bisa kita lihat dari satu sudut pandang saja.
Paham pluralisme yang menganggap semua agama didunia itu sama membahayakan aqidah kita. Sebab, paham ini menjadikan kebenaran agama tidak mutlak dimiliki hanya satu agama saja karena menganggap Tuhan yang menciptakan semua manusia termasuk semua agama adalah satu Tuhan.Sehingga seseorang seperti kehilangan jati dirinya. Berbahayanya, jika seseorang menganggap agama yang katanya adalah sebuah “warisan” itu menjadikan ia beranggapan agama adalah sebuah doktrin yang disuntikkan kepadanya. Tanpa menjadikannya untuk apa agama yang dimilikinya dan hendak seperti apa dia dengan agama yang dianutnya.Jika kita runut, inspirasi Afi dari setiap tulisannya tentunya bersumber dari buku-buku, literatur, jurnal-jurnal maupun artikel yang telah dibacanya menjadi rujukan opini maupun tulisan-tulisannya.Sehingga terciptalah tulisan-tulisannya yang menjadi “bumbu” situasi-situasi yang kini sedang hangat dinegeri ini. Ditambah media yang melambungkan nama Afi ini, tentu dengan mempromosikan hal-hal semacam ini akan mendapatkan apresiasi terlebih pendukung ide pluralisme ini.Tulisan-tulisan yang mengandung racun bagi aqidah dengan dibungkus atas nama menjaga keutuhan negeri sukses menyulut emosi pembacanya menjadikan ia seolah-olah berada diposisi sebagai pihak yang di zalimi karena munculnya isu mayoritas vs minoritas yang kini digulirkan ke tengah-tengah umat.
Lalu, jika sudah seperti ini sudah tentu paham-paham ini menyasar berbagai kalangan tidak terkecuali remaja yang sedang menjamah beberapa hal baru dalam hidupnya.Belajar dari kisah Afi ini, racun pluralisme ini tidak akan berhenti menghinggap pada diri setiap generasi muda masih akan ada Afi-Afi yang lain yang mengatasnamakan semangat menebar perdamaian tapi justru hal itulah yang menjadi racun yang siap merusak akidah para generasi muda. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Peran Negara
Benteng terkuat untuk menangkal racun pluralis itu adalah institusi negara.Sebab negara lah menjadi filter dari paham-paham yang bertentangan dengan Islam.Negara menjadi safety-guardian para generasi-generasi muda agar tidak mudah mengambil paham baru yang itu justru membahayakan dirinya terlebih akidahnya.
Disinilah pentingnya negara berdasarkan syariat, yang menjadikan Islam sebagai asas dalam kehidupan bernegara. Agar identitas sebagai sebuah umat terjaga, corak kurikulum dan semua perangkat masyarakat terwarnai dengan celupan konsep yang sama (syariat) sehingga akidah generasi terjaga dari racun2 mematikan sejenis pluralisme.
Negaralah yang menentukan sistem kurikulum seperti apa yang mampu menjaga akidah umat.Sistem pendidikan Islam berasaskan akidah Islam sajalah yang akan membentuk generasi muda Islam menjadi generasi yang berpegang teguh pada prinsip hidupnya (Aqidah Islam). Bukan yang menjadikan aqidahnya sebagai bahan ejekan atau menjadikan aqidahnya sebagai objek tawar menawar antara kebenaran dan kebathilan.Wallahu ‘alam bishowab
Oleh : Nurhayati, S.S.T