Refleksi Mengenai Toleransi di Indonesia : Bahaya Fundamentalisme Agama dan Pentingnya Akal Sehat!

Muhammad_Mardhan
Muhammad Mardhan

Dalam beberapa waktu belakangan ini, tema tentang ‘toleransi beragama’ nampaknya merupakan wacana politik paling gemilang yang menjadi sorotan publik di Indonesia. Setelah banyaknya peristiwa sosial-politik yang berlabel keagamaan dewasa ini, kini tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa jika ini diteruskan, maka bukan tidak mungkin akan kembali terjadi konflik sosial antar umat beragama dalam skala besar. Maka, memasuki bulan Ramadhan ini, saya sengaja mencoba mengajukan tema ini sebagai sebuah opini atau mungkin bahan perbincangan ringan, bukan dengan maksud menggurui, sok-sok bijaksana, apalagi menceramahi pihak tertentu perihal problem yang kita alami itu.

Muhammad_Mardhan
Muhammad Mardhan

Sebenarnya saya tidak tahu, terminologi apa yang paling cocok untuk menerjemahkan fenomena atau probem di atas. Namun, untuk memudahkan pembacaan kita terhadap apa yang hendak saya singgung disini, maka fenomena itu secara sederhana kita sebut saja sebagai “krisis toleransi”. Meskipun disatu sisi anggapan itu tidak sepenuhnya benar, namun disisi yang lain juga sulit dikatakan salah, apalagi setelah menengok banyaknya kasus (provokasi, konflik, terorisme, kekerasan, intimidasi) bernuansa agama yang terjadi belum lama ini. Beberapa yang terbaru sebut saja pengeboman Kampung Melayu, Jakarta Timur, polemik Pilkada DKI yang sarat dengan muatan SARA yang telah merembet menjadi adegan caci maki di media sosial, hingga gencarnya aksi persekusi serta teror oleh sekelompok orang dari ormas Islam garis keras (fundamentalis-reaksioner), dll.

Melihat kenyataan ini. Sungguh, baik sebagai orang yang berkeyakinan, maupun sebagai anak bangsa. Saya tak hanya gusar, tapi juga sekaligus sedih. Saya yakin, pasti ada yang salah tentang semua ini. Bagaimana tidak, setelah semua peristiwa berdarah pernah menimpa bangsa ini (konflik Maluku, Poso, bom Bali, Syiah dan Ahmadiah, pembakaran masjid di Tolikora, dll) hingga hancur berantakan. Nyatanya hingga detik ini, masih ada saja sekelompok orang (dari ormas tertentu maupun induvidu) yang selalu bangga menganggap diri atau kelompoknya paling bersih, paling suci, dan paling benar, lalu menganggap orang/kelompok lainnya kotor, kafir, sesat, bahkan wajib ditumpas. Parahnya lagi, ada banyak diantara kita yang membenarkan tindak-tanduk kelompok tersebut. Sungguh, sunguh luar biasa, di luar akal sehat!

Sekilas tentang kelompok fundementalis
Maraknya kekerasan sektarian yang terjadi dewasa ini, sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan dimotori oleh kelompok atau organisasi “fundamentalis Islam” atau yang oleh kalangan intelektual biasa disebut sebagai “kanan ekstrim” (termaksud fasisme). Sebelum membahas ini lebih lanjut, perlu kiranya menjadi catat bersama, bahwa menguatnya kelompok fundamentalis agama merupakan ancaman nyata bagi kebebasan berekspresi, kehancuran demokrasi, sia-sianya tujuan reformasi dan itu berarti juga kita kembali ke zaman kegelapan yang penuh pembungkaman, diskriminasi dan mitos.

Di Indonesia, biasanya orang atau kelompok tipe ini seringkali menggunakan dalil keagamaan sebagai legitimasi teologis mereka untuk membenarkan aksi-aksinya, baik itu untuk mendapat dukungan dari massa luas (terutama se-iman), maupun dalam menekan lawan-lawannya, senantiasa memaksakan keyakinannya yang eksklusif terhadap publik, bahkan tak segan menggunakan cara-cara kekerasan. Tak hanya itu, ciri lain dari kelompok fundamentalis ini, adalah sikapnya yang anti terhadap demokrasi, bermental rasialistik, anti pancasila, percaya pada nilai keagungan masa lalu, dan paling lantang dalam mengusung ide pembentukkan negara Islam di Indonesia.

Nah, dampak dari itu semua adalah, phobia islamisme atau berkembangnya opini negativ tentang Islam itu sendiri sebagai sebuah agama (baik oleh muslim sendiri, maupun oleh penganut agama lainnya), sebagai konsekuensi logis atas tindakan (sebagian) para penganutnya yang ekstrim. Sehingga, dalam kaca mata publik, Islam selalu diidentikkan dengan kekerasan, anti pluralisme, selalu bersikap konservatif, dan tidak dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain,dsb.

Padahal, jika merujuk pada ajaran agama, terutama Islam yang sering disebut agama ‘rahmatan lin alamin ’(kebaikan bagi seluruh umat manusia,alam semesta), seharusnya tidak seperti itu. Salah satu ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan itu misalnya :

“Maka disebabkan rahmat (kasih sayang) Tuhanlah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, niscaya mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, maka maafkanlah mereka dan mohonkan ampunan bagi mereka dan bermusyawaralah dengan mereka dalam segala urusan”.(Q.S. Ali Imran, 3 :159).

Pentingnya akan sehat dalam menyikapi fundamentalisme agama
Beberapa hari yang lalu, saya pernah berdiskusi sekaligus berdebat panjang dengan beberapa orang kawan di sebuah grup facebook, karena perbedaan pandangan diantara kami dalam menyikapi fundamentalisme agama yang ada di Indonesia. Dari perdebatan tersebut, ada dua hal yang saya tangkap disana:
Pertama, massifnya fundamentalisme di Indonesia berikut eskalasi para pendukungnya, merupakan indikasi bahwa sebagian besar kita, ternyata belum sanggup memisahkan dimensi spiritualisme dengan aspek bernegara, atau sikap sebagai seorang yang beragama dan sikap sebagai seorang warga negara. Singkatnya, kita seolah lupa pada Konteks! Padahal jelas, menurut saya, apapun itu, harus ditempatkan pada konteksnya. Mungkin itulah penyebab, mengapa orang-orang (terutama oleh nitizen) kerap melabeli para fundamentalis ini sebagai ‘anti akal sehat’. Contoh kasus misalnya, mereka bilang cinta NKRI, tapi disisi yang lainnya juga getol hendak mendirikan negara Islam, teriak-teriak ulama dikriminalisasi, umat harus bersatu, padahal nyata-nyata ini adalah negara hukum. Bahkan masih saja ada yang berfikir, kalau Densus 88 itu musuh umat Islam, hanya karena mereka menagkap dan memburu para pelaku Teror (terorisme).

Kedua, nampaknya jika dipikir-pikir, ada banyak hal-hal mendasar yang salah dengan cara pandang mereka, termaksud kegemarannya menyebar berita ‘Hoax’, tidak terkecuali para Intelektualnya. Buktinya, masih terdapat Sarjana diantara mereka yang menganggap bahwa Pluralisme itu adalah Racun bagi umat. Menanggapi itu, jujur saya sampai bertanya-tanya “Lha, di abad 21 ini kok, masih ada orang yang bilang Pluralisme itu racun sih?” Kalaupun itu benar adanya, itu berarti, sejak dulu, sejak kita lahir, kita ini sudah keracunan? Tapi kok, kita masih bisa hidup, sehat wal-afiat? Hahaha.. Tak sampai disitu, baru-baru ini bahkan ada seorang Profesor bilang (dalam pidatonya) kalau Jokowi dan menteri-menterinya adalah kader PKI. Mendengar itu, “saya cuma Bengong, kok PKI yang sudah bubar sejak tahun 65-66 itu, bisa mengkader Presiden kita ‘Jokowi’ yang waktu itu masih berumur 4 tahun?”Hahha..

Sampai disini, saya tidak dapat berkata banyak lagi. Yang jelasnya, menurut hemat saya, krisis toleransi yang berlangsung dewasa ini hanya dapat kita bendung dan akan cepat berlalu, jika kita menyadari pentingnya akal sehat dan bersedia memfungsikannya secara optimal, serta mentransformasikannya pada kehidupan kita dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

 

Oleh : Muhammad Mardhan
Penulis adalah Mahasiswa Indonesia asal Bombana, Sultra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini