Pejabat Tak Perlu Disumpah dengan Al Qur’an

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Di suatu subuh yang dingin, seorang ustadz naik ke mimbar, berceramah, dan mengemukakan ketidaksetujuannya tentang pejabat yang ketika pengambilan sumpah jabatan menggunakan kitab suci Al Qur’an.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Menurut sang ustadz, sang pejabat tak perlu bersumpah dengan menjunjung kitab suci di kepalanya. Yang harus dia junjung saat bersumpah cukup kitab undang-undang hukum pidana/perdata. KUHP. KUH Perdata. Dalam hukum positif yang berlaku di negara kita, pejabat hanya diminta komitmennya untuk menjalankan KUHP dan KUH Perdata.

Dengan meletakkan Al Qur’an di atas kepala, kata dia, pejabat dituntut untuk menaati bukan hanya soal pidana dan perdata. Tapi juga menyangkut hal lain yang ada dalam Al Qur’an. Ketika pejabat melakukan pelanggaran yang ada dalam Al Qur’an –yang tidak diatur dalam KUHP/Perdata– seharusnya dia tak layak lagi menjadi pejabat.

Tapi kenyataannya, di mata hukum kita, itu tidak jadi masalah. Lagipula, perangkat hukum yang dipunyai negara, belum mengakomodir proses pengadilan atas pelanggaran terhadap ajaran Al Qur’an yang tidak diatur dalam hukum positif. Misalnya, iri hati dan dengki. Itu tidak ada mekanisme pengadilannya di negara kita. Mungkin di negara lain juga. Tapi dalam Al Qur’an, iri dan dengki itu pelanggaran berat.

Dalam kacamata sang ustadz, bersumpah dengan menjunjung Al Qur’an, lalu dengan sengaja korupsi, ini seperti mempermainkan kitab suci. Hanya menjadikan kitab suci sebagai perangkat keprotokoleran.

Sesungguhnya, bagi pribadi sang pejabat, bersumpah dengan meletakkan Al Qur’an di atas kepala, adalah sesuatu yang maha berat. Konsekuensi atas pelanggarannya adalah terkena laknat Allah SWT.

Sudah menjadi hal yang lumrah, tambah Pak Ustadz lagi, pejabat yang baru seumur jagung menjabat –yang disumpah dengan menjunjung Al Qur’an– sudah terseret kasus korupsi. Dia kena dua persoalan, hukum positif yang berlaku. Dan sumpahnya atas nama Al Qur’an.

Jika dia hanya disumpah dengan menunjung KHUP/Perdata dan melakukan pelanggaran, dia hanya dapat ancaman hukuman dari negara dan dosa karena melanggar ajaran agama. Dan –mudah-mudahan– tidak didobel dengan dosa (laknat) karena mempermainkan kitab suci saat bersumpah.

Boleh tidak setuju dengan pendapat ini, karena ustadz lainnya mengatakan, empat imam mazhab saja yang berstatus guru dan murid tidak sepakat, apalagi memang kita-kita ini yang tidak seperguruan. Boleh tidak setuju dengan pendapat ini, karena sahabat nabi saja berbeda pendapat tentang suatu yang disabdakan nabi.

Sedikit mengisahkan perbedaan pendapat ketika dalam suatu perjalanan nabi bersama sahabatnya. Lalu Rasulullah SAW bersabda yang intinya, rombongan akan shalat asar setelah tiba di suatu tempat (saya lupa nama tempat yang disebutkan penceramah…hehehe).

Nah, belum sampai di tempat yang dimaksud haru sudah beranjak senja yang jika dipaksakan meneruskan perjalanan, waktu asar akan lewat. Sahabat terpecah menjadi dua. Ada yang shalat asar saat itu juga dengan pertimbangan bahwa shalat itu ada waktu-waktunya. Ada juga kelompok sahabat yang nanti setelah tiba di tempat yang disebutkan baru shalat asar. Argumentasinya kuat, ini sabda nabi.

Persoalan ini lalu disampaikan ke Rasulullah, dan dijawab oleh beliau, keduanya benar. Tidak ada yang salah karena masing-masing punya dalil kuat. Inti dari kisah ini, kita diperbolehkan berbeda, selama punya dalil yang kuat.

Dalam posisi pendapat penceramah yang tidak ingin pejabat disumpah dengan Al Qur’an, saya kira ada benarnya. Dan jika ada yang berpendapat berbeda, tentunya perlu ada argumentasi yang kuat. Dan dari seluruh aneka perbedaan kita, yang tetap harus sama adalah kita tetap saling hormat-menghormati dan harga menghargai. Ah, Islam itu memang indah.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini