ZONASULTRA.COM, JAKARTA – Hari raya Idul Fitri merupakan hari yang paling ditunggu usai menjalankan ibadah puasa selama satu bulan penuh di bulan suci Ramadhan. Hari yang suci ini tentu saja disambut masyarakat muslim untuk meminta pengampunan Allah SWT dan memaafkan sesama manusia.
Momen hari raya tersebut digunakan untuk bersilaturahmi dan berkumpul dengan keluarga. Makanan khas lebaran seperti ketupat dan opor ayam serta aneka kue kering seperti nastar meramaikan meja makan dan meja tamu sebagai hidangan. Anak-anak kecil berlarian girang menerima amplop atau uang yang biasa dibagikan kepada anak-anak.
Untuk dapat menikmati kebahagian tersebut, tak ayal banyak perantau yang melakukan aktivitas mudik ke kampung halamannya. Mereka rela merogoh kocek, meluangkan waktu dan mempersiapkan tenaga untuk melakukan perjalanan pulang demi merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga. Namun tidak semua perantau dapat merayakan lebaran di kampung halamannya, apalagi perantau yang sedang melaksanakan masa studinya.
Subiran Paridamos, salah satu anak rantau dari Sulawesi Tenggara (Sultra) yang telah beberapa tahun tidak merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman. Lantaran kondisi saat masa studinya membuat harus merayakan lebaran di Ibukota, Jakarta.
(Baca Juga : Kisah Sukses Pengusaha Tenun Khas Sultra, dari Sepeda Ontel Hingga Pameran Mancanegara)
“Saya mau pulang banyak pertimbangan, pertama saya tidak punya uang untuk ongkos pesawat. Andaikata pun saya punya uang, tiket saya kalkulasi Kendari-Jakarta pulang pergi Rp. 3 juta bisa digunakan untuk beli buku atau bayar kuliah,” ujar Subiram saat ditemui beberapa waktu yang lalu.
Ia pun bersabar tidak pulang ke kampung halaman selama kurang lebih 3,5 tahun pada masa studinya di sebuah universitas swasta di Jakarta. Pada saat itu Subiran menyibukan diri di kosan untuk membaca buku, menulis, dan juga merenung. Tentu saja kerinduan akan keluarga dan kampung halaman kerap menghantui dirinya.
“Siapa sih yang tidak ingin balik menghabiskan waktu lebaran bersama keluarga, siapa sih yang tidak mau? Tapi ada hal-hal yang bersifat kondisional dan tidak bisa dipaksakan,” terang laki-laki kelahiran Desa Simbune, Kabupaten Kolaka ini.
Tentu saja tidak mudah menjalani lebaran tanpa keluarga di tanah rantau. Apalagi Jakarta cenderung sepi saat hari raya Idul Fitri lantaran banyaknya warga yang mudik ke kampung halamannya masing-masing. Namun selalu ada hikmah yang didapatkan, Subiran lebih merasakan khusyuknya lebaran ketika menyendiri di kosan. Setidaknya kiriman ketupat dan opor ayam dari tetangga kosan cukup menghibur dan menyadarkan bahwa hidup harus peduli akan sesama.
Untungnya saja saat ini teknologi komunikasi sudah canggih. Kita bisa medengar suara bahkan melihat foto atau video call melalui smartphone. Meski tidak bertatap muka secara langsung, setidaknya bisa saling melepas kerinduan dan saling bermaafan.
(Baca Juga : Kisah Anak Jadi Tukang Parkir Demi Biayai Sekolahnya)
Bukan hanya lebaran, bulan Ramadhan pun sangat berbeda antara di kampung dan Ibukota terutama kuliner. Di kampung halamannya, Kolaka, es pisang ijo merupakan menu favorit selama bulan Ramadhan yang tidak bisa didapatkan Subiran di Jakarta. Memang ada beberapa penjual pisang ijo di Jakarta, namun cita rasanya tidak senikmat pisang ijo di kampung halaman.
Budaya peribadatan di kampung halaman juga berbeda dari kota metropolitan yang super sibuk para pekerjanya dalam mencari nafkah. “Kultur aktivitas peribadatan, pawai obor menyambut Ramadhan. Kalau disana saya biasa ngisi ceramah di masjid, kalau disini saya bukan siapa-siapa,” papar anak rantau lulusan Sarjana Ilmu Politik ini.
Selalu ada kabar bahagia bagi orang-orang bersabar. Mungkin ini yang dirasakan oleh Subiran. Selama 3,5 tahun ia berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar Sarjana Ilmu Politik. Pada saat itulah ia lebih percaya diri untuk pulang ke kampung halaman dan membawakan gelar sarjana bagi kedua orang tuanya.
“Ketika orang sibuk mudik lebaran saya bersabar, sampai selesai saya kuliah dapat gelar sarjana baru saya pulang,” ungkapnya.
Subiran pun tidak menyesali kesendirianya dulu pada saat merantau, karena itu hilang seketika saat pulang ke kampung halaman usai menyelesaikan kewajibannya. “Kalau saya pulang pada saat itu belum sarjana belum siapa-siapa, saya mau ngomong apa?” pungkasnya.
Kini Subiran Paridamos kembali ke ibukota menyelesaikan Pascasarjananya. Tentu saja keadaan sudah berbeda, Ramadhan dan lebaran kali ini tidak sendiri melainkan bersama perempuan berdarah Jawa yang telah dinikahinya. Kebahagian semakin bertambah, karena saat ini dalam masa menanti buah hati yang akan segera lahir, seorang anak berdarah Jawa-Sulawesi. (A)
Penulis: Rizki Arifiani
Editor: Jumriati