Jaring KPK dan Tafsir Rasa Sedih

Kesedihan adalah parameter keterhubungan jiwa-jiwa. Antara satu jiwa dengan jiwa lainnya. Jiwa yang bertaut dekat akan dengan mudah merasakan kesedihan satu sama lain. Kendatipun, keterhubungannya tidak selalu linear dan sebanding.

Andi Syahrir

Seseorang bisa saja meraung-raung sedih atas nasib buruk yang menimpa orang lain, tapi jika takdirnya dibalik, belum tentu orang lain ini sama sedihnya ketika yang meraung tadi ditimpa kemalangan. Itulah misteri jiwa. Sesuatu yang sangat rahasia.

Keterhubungan jiwa mayoritas ditakar dari intensitas fisik: pertemuan, perkenalan, pertemanan, persahabatan, percintaan, pernikahan, persaudaraan. Meskipun, ia juga bisa diukur dari sentuhan sosio-psikis: pemimpin, nabi, artis, cendekiawan, ulama, dll.

Seorang pemimpin bisa saja tidak bersedih atas kematian seorang rakyat yang tak dikenalnya secara pribadi, tapi seorang rakyat akan merasakan sedih jika pemimpinnya mendapat kemalangan –meskipun tidak semua, atas berbagai alasan.

Seorang saudara, seorang istri, seorang anak, akan selalu dilanda kesedihan, jika saudaranya, istrinya, orangtuanya meninggal dunia. Sekalipun yang meninggal adalah seorang penjahat, apakah dia koruptor, jambret, atau maling ayam.

Bung Karno dan Kartosuwiryo adalah dua orang yang bersahabat karib. Mereka mengawali persahabatannya ketika sama-sama “ngaji” ke HOS Tjokroaminoto di Surabaya. Mereka tumbuh bersama. Bung Karno besar sebagai seorang nasionalis, Kartosuwiryo tumbuh sebagai pejuang dengan menggunakan agama (Islam) sebagai ideologinya.

Perjalanan bangsa mempertemukan keduanya sebagai lawan. Kartosuwiryo kalah. Dia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Keputusan hukuman itu ditandatangani langsung oleh Bung Karno. Proses eksekusinya sempat tertunda tiga bulan. Kenapa? Setiap berkas vonis mati itu itu berada di atas mejanya, maka setiap kali pula disingkirkannya. Konon, saking frustrasinya berkas itu pernah dilemparkannya berceceran di lantai ruang kerjanya.

Sahabat mana yang tega menandatangani surat pencabutan nyawa sahabatnya? Bung Karno pernah menatapi foto sahabatnya itu sambil berlinangan air mata, lalu berujar, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”

Ketika Mayor Jenderal S. Parman (Asisten I Menpangad, yang belakangan menjadi Pahlawan Revolusi) kembali menemui Bung Karno membawa surat keputusan eksekusi mati Kartosuwiryo, ia disuruh pulang dan diminta datang seusai magrib.

Sang Presiden shalat, berdoa khusyuk minta dikuatkan atas keputusan yang diambilnya. Dan ditandatanganinya surat eksekusi pertama dan satu-satunya itu. Kita dapat merasakan betapa sedih hati Bung Karno mengeksekusi sahabatnya sendiri. Sekalipun dia seorang musuh negara. Bukan musuh sembarangan. Pengancam keutuhan NKRI.

*** *** ***

Rabu (5 Juli 2017) malam, lembaga negara anti rasuah, KPK, kembali menebarkan jaringnya. Seorang pemimpin daerah ditahan. Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam. Saya bersedih. Kawan saya yang bermukim di luar Sultra tidak. Wajar. Kawan saya tidak memiliki keterhubungan jiwa dengan Nur Alam. Sekali dua kali saya pernah berinteraksi dengannya. Nur Alam pernah tersenyum ke saya. Saya pernah tersenyum pada dia.

Ketika Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti ditangkap KPK bersama istrinya pada 21 Juni 2017 lalu, saya tidak merasa sedih. Ya, karena saya tidak memiliki keterhubungan jiwa dengannya. Berbeda dengan rakyat Bengkulu. Mereka tentu banyak yang sedih.

Atau misalnya yang lebih dekat, ketika Bupati Buton Umar Samiun ditahan KPK. Saya tidak bersedih dengan penangkapannya. Ini semata karena saya tidak memiliki keterhubungan jiwa dengannya. Tidak ada relasi sosial yang pernah mempertemukan jiwa kami berdua.

Kesedihan terhadap nasib kurang baik seseorang adalah respon humanisme yang secara fitrah kita miliki. Rasa sedih melampaui realitas bahwa seseorang adalah penjahat dan pendosa. Kesedihan tidak memiliki kehendak mengintervensi penegakan hukum. Tapi kesedihan adalah perangkat tafsir yang memandang keadilan bukan hanya semata benar dan salah. Kesedihan adalah soal keterhubungan jiwa-jiwa.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan Alumni UHO dan pemerhati Sosial di Sultra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini