PENGGUNDULAN HUTAN – Ribuan hektar kawasan hutan kini menjadi kubangan akibat aktivitas pertambangan 36 perusahaan tambang nikel di kecamatan Molawe, kabupaten Konut, Sultra. Akibatnya, wilayah pesisir pantai di empat desa kecamatan itu mengalami perubahan warna air laut karena sedimentasi akibat material tambang. (Jefri Ipnu/ZONASULTRA.COM)
ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Sejak berdiri sebagai daerah otonom pada tahun 2007 lalu, degradasi lingkungan akibat kegiatan pertambangan nikel di kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) kian tak terkendali.
Kehadiran sejumlah perusahan tambang telah mengubah wajah daerah itu yang dulunya hijau nan sejuk kini terlihat tandus dan kering. Seluruh kawasan hutan digunduli, mulai dari kawasaan berbukit, lembah hingga areal pesisir pantai.
Penelusuran awak ZONASULTRA.COM, masuknya investasi tambang nikel di kecamatan Molawe dimulai pada tanggal 10 Agustus 1995 oleh PT Aneka Tambang (Antam) melalui Surat Mentri Pertambangan dan Energi nomor 2330/201/M.SJtetang luas wilayah Kuasa Pertambangan Eksploitasi.
Karena adanya tumpang tindih Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan sejumlah perusaah swasta yang izinnya dikelurkan oleh Pemda Konut, maka perusahaan tambang BUMN itu belum juga melakukan aktivitas produsksinya di daerah itu. Padahal, sejak tahun 2010 lalu, Antam sudah memiliki IUP produksi dari Bupati Konut dengan luas 16.920 hektar. Tak hanya itu. perusaah ini sudah pernah melakukan kegiatan eksploitasai tambang nikel di wilayah Lalindu dan Lasolo sejak tahun 2005 lalu.
Lalu di tahun 2014, Pemda Konut kembali memberikan izin penambangan kepada sejumlah tambang swasta untuk menggali dan menjual ore nikel dari bumi Molawe. Padahal, hampir semua izin yang diberikan oleh Pemda Konut itu berada dalam wilayah IUP Antam.
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Sultra mencatat, sebanyak 13 IUP yang berada beropari ## beroperasi berada di dalam lahan PT Antam. padahal, terkait tumpang tindih lahan ini, PT Antam telah memiliki putusan Mahkamah Agung Nomor 225.K/TUN/2014 Tanggal 17 Juli 2014 dan telah berkekuatan hukum tetap. Dimana amar putusannya menyatakan bahwa pada intinya IUP PT Antam Tbk. Nomor 158 Tanggal 29 April 2010 telah dimemenangkan oleh Mahkamah Agung dan diperintahkan untuk dihidupkan kembali.
Terlepas dari konflik tumpang tindih lahan tambang di Molawe, saat ini sekitar 36 perusahaan tambang tengah aktif menghancurkan bentangan alam daerah itu. Ribuan hektar tanah yang dulu hijau kini menjadi kubangan yang jika tidak dilakukan reklamasi memiliki potensi longsor
Sejumlah perusahaan itu adalah PT KMI, PT MBM, PT Sangia, PT WAI, PT Malaka, PT Cinta Jaya, PT Sri Wijaya, PT KMS, PT Hapar, PT Mukni, PT Jems, PT KKP. Untuk yang sementara beroprasi saat ini PT WAI, PT Sangia, PT Malaka dan PT MBM.
Aktivitas 36 perusahaan tambang ini dikhatirkan akan semakin masiv meluluh-lantahkan bumi Molawe. Utamanya di desa Mowundo, Mandiodo, Tapu Emea dan Tapunggaya. Perusahaan-parusahaan itu mengeruk gunung yang memiliki kandungan biji nikel.
Tak hanya itu, kegiatan penambangan sejumlah perusahaan itu juga berdampak pada tercemarnya pesisir pantai di daerah itu. Sebab, kawasan hutan yang berada di atas perbukitan telah digunduli, sehingga pada musim hujan, tanah bekas galin itu menjadi sedimentasi yang terbawa air hujan hingga ke wilayah pesisir.
Saharudin, warga kecamatan Molawe menungkapan, sejak maraknya aktivitas 36 perusahaan tambang nikel di daerahnya, kondisi air laut pesisir pantai di daerah itu mulai berubah menjadi merah kecoklatan. Bahkan, kini air laut yang dikeliling pelabuhan Jetty untuk memuat ore nikel yang tadinya jernih juga memerah akibat tanah ore yang jatuh kedalam air laut.
Menurutnya, perubahan kondisi alam di pesisir pantai itu berpengaruh langsung terhadap mata pencaharian warga di desa Mowundo, Mandiodo, Tapu Emea dan Tapunggaya yang mayoritas sebagai nelayan.
“Sekarang warga kalau mau melaut jauh-jauhmi karena air lingkungan sekitar air lautnya merah. Ikan lari mi semua,” ujar Saharudin, Senin (31/7/2017).
Aktivitas penambangan nikel di Molawe kian tak terkendali. Inilah yang menjadi sumber peta bagi masyarakat, sebab degradasi lingkungan sudah terjadi di depan mata. Tak akan butu waktu lama, daerah ini bakal menjadi langganan banjir, longsor dan kemiskinan yang berkepanjangan. Karena, lahan sebagai sumber mata pencaharian warga mulai tergusur menjadi lokasi pertambangan.
Kondisi ini seharusnya menjadi point penting bagi pemerintah deerah setempat untuk mulai memikirkan dampak pengelolaan lingkungan untuk melindungi warganya dari ancaman bencana alam.
Sepatutnya, pemerintah juga mulai mengambil langkah tegas untuk menindak perusahaan-perusahaan tambang yang tidak memiliki izin dan terbukti melakuakan pencemaran lingkungan, utamanya bagi perusahaan yang tidak memiliki pengolahan limbah dan dalam melakukan aktivitas penambangan nikel. (B)
Penulis: Jefri Ipnu
Editor: Abdul Saban