Begini Kisah Saddil Ramdani, Pemain Timnas Indonesia U 22

Saddil Ramdani (Foto : Akun Instagram @saddilramdani76)
Saddil Ramdani (Foto : Akun Instagram @saddilramdani76)

Saddil Ramdani (Foto : Akun Instagram @saddilramdani76) Saddil Ramdani (Foto : Akun Instagram @saddilramdani76)

 

ZONASULTRA.COM, KENDARI – Saddil Ramdani, pemain sepak bola yang tergabung dalam Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-22 kini tengah naik daun berkat sumbangan golnya pada pertandingan kontra Filipina di ajang SEA Games di Stadion Shah Alam, Selangor, Malaysia, Kamis (17/8/2017) lalu.

Saddil yang menjebol gawang Filipina dengan tendangan kerasnya dari luar kotak penalti menjadi kado manis bagi peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ke 72.

Sejurus mata masyarakat Indonesia kini tertuju pada sosok Sadil yang naik daun karena menorehkan rasa bangga ditengah merosotnya prestasi sepak bola Indonesia saat ini.

Namun, siapakah Saddil Ramdani? Tim ZONASULTRA.COM menelusuri jejak karir pria kelahiran Labonea, Kabupaten Muna pada 2 Januari 1999 itu melalui situs internet.

Sayangnya, tak ada satu artikelpun yang dapat menggambarkan seperti apa perjalan hidup Saddil, hingga dia menjadi pemain timnas Indonesia.

Oleh karena itu, kami mencoba membangun komunikasi melalui media sosial instagram dan men-follow akun resmi milik Saddil dan berhasil mengiriminya pesan melalui Direct Message (DM). Tak butuh waktu lama, Saddil merespn dengan cepat.

“Iya bisa, 0822********,” tulis Saddil saat membalas pertanyaan redaksi untuk permintaan kesedian wawancara via WhatsApp, Sabtu (20/8/2017) malam.

Membuka awal kisahnya, Saddil menyatakan siap untuk diwawancarai dan bekenan memberikan penjelasan terkait perjalanan karir sepak boalnya dari ia berada di bangku sekolah dasar. Terlihat jelas ia merupakan sosok yang ramah dan mudah bergaul meskipun saat ini ia memiliki banyak penggemar.

 

Dia, Sang Pemimpi dari Pulau Muna

Perjalanan hidup Saddil Ramdani tenyata tak semulus sepakannya yang menjebol gawang Filipina. Lahir dari keluarga sederhana dengan keadaan ekonomi pas-pasan,  11 tahun silam, Saddil Ramdani ternyata harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah hidup terpisah.

Kondisi yang membentuk kepribadiannya menjadi tanggih hingga terbangun tekad untuk menjadi orang yang sukses.

”Saya melihat kesedihan di rumah tangga mama saya, jadi saya pengen bahagiakan mama saya,” ujarnya.

Ia pun menanamkan cita-cita dan mimpi dalam diri untuk menjadi pemain sepak bola terkenal hingga ke kancah internasional. Awalnya Saddil termotivasi bahwa menjadi pemaik sepak bola dapat menghidupi kebutuhan keluarganya.

Satu pengalaman menarik ketika ia berusia 10 tahun, Saddil meminta dibelikan bola plastik seharga Rp. 15.000,- kepada sang ibu yang kala itu uang tersebut akan digunakan membeli beras. Otomatis ibunya pasti menolak. Hal tersebut membuatnya menangis hingag akhirnya harus menerima hukuman cubitan dari sang ibu Waode Dai.

Ibunya beranggapan menjadi pemain di lapangan hijau tidak dapat memberikan masa depan yang cerah dan tidak menjamin mendapatkan uang untuk makan.

Karena anggapan itu serta ejekan dari keluarga di kampung halaman termasuk sepupu membuat semangatnya kian membara untuk membuktikan bahwa menjadi pemain sepak bola bisa membanggakan dirinya, ibu serta 3 saudaranya.

“Bisa menafkahi keluarga meski tanpa bapak,” pungkasnya.

Singkat cerita, Saddil mulai mengeyam pendidikan sekolah dasar di SDN 1 Napabalano. Kemudian melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 2 Napabalano dan menamatkan diri di SMP Negeri 9 Kendari, karena waktu itu ia harus pidah ke Kendari bersama ibu serta tiga saudaranya.

Ketika duduk di Kelas IX SMPN 9 Kendari ia berhasil membuktikan kepada sang ibu dengan menjuari tournament Bupati Cup Konawe Selatan (Konsel) tahun 2012 bersama Tim persando (SSB Sinar Abadi), serta Pekan Olahraga Daerah (Porda) Kota Kendari, uang hasil kemenangan itu sebesar Rp. 5 juta ia berikan langsung kepada ibunya.

Menerima uang tersebut, Waode Dai hanya bisa menangis dan terharu melihat perjuangan anaknya untuk mencari uang dengan harus bolos dari sekolah. Sebab, sebelum pulang ke rumah dengan membawa uang sebanyak itu, Saddil rela meninggalkan rumah hingga 4 bulan lamanya.

Berkat usaha dan pembuktian itulah, sang ibu mulai ikhlas mendukung Saddil dalam berkarir sepak bola.

Nasib memang selalu tak bisa ditebak. Susah payah dia menyisihkan waktu antara berlatih – bertanding sepak bola dengan tuntutan tugas di sekolah. Namun, semua kendala itu menjadi tantangan baginya untuk bisa meraih sukses.

Terkadang Saddil juga mendapatkan uang dari hasil tarkam bertanding sepak bola. Dengan honor mulai dari Rp. 50 ribu hingga Rp. 100 ribu perhari, dia bisa membiayai sekolahnya.

Selapas itu, ia tak mau merasa besar dan sombong dengan terus mengasah kemampuannya. Mulai dari berlatih dan bermain sepak bola bersama tim ataupun dengan teman sekolah dan sebayanya. Hingga akhirnya ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 4 Kendari.

Prestasi sepak bolanya pun kembali ditorehkan ketika duduk di kelas X dimana ia berhasil mengharumkan nama sekolahnya dengan menjuarai LPI tingkat Kota Kendari antar SMA di Stadion Lakidende tahun 2015. Itu menjadi gelar pertama yang mampu diraih SMAN 4 Kendari.

”Pokoknya banyak pengalaman pahit. Misalnya, hujatan ke diri saya sebelum jadi pemain timnas, saya dimaki karena punya impian yang teralu tinggi untuk jadi pemain timnas,” katanya.

Tahun 2015 Saddil mengambil sebuah keputusan penting yang menentukkan masa depannya hingga saat ini. Dia nekad melanjutkan sekolah dengan pidah dari SMAN 4 Kendari ke SMA Negeri 7 Malang, Jawa Timur (Jatim).

Alasan utama ia pindah disana demi meniti karir sepak bolanya untuk menjadi pemain professional. Dibawah didikan Danur Dara dan Aji Santoso, banyak hal dan ilmu yang dipelajari Saddil terutama bermainan sepak bola modern.

Di Malang, dia juga harus kembali mengulang dari kelas X dan saat ini ia tercatat sebagai siswa kelas XII, meskipun ia seharusnya tamat SMA sejak tahun 2016 kemarin.

Kendati awalnya merasa takut ketika harus pergi ke Malang dan jauh dari orang tua selama kurang lebih 2 tahun, namun ia tetap jalani.

Nasib baik mulai menghampiri Saddil. Di Malang, dia mendapatkan beasiswa di Aji Santoso International Football Academy (ASIFA) dan bebas dari uang SPP. Padahal untuk biaya bulanan masuk ditempat tersebut sekitar 5 sampai 8 juta rupiah. Dalam urusan sekolah pun diakui Saddil semua tetap berjalan lancar.

Hasil manis tidak akan menghianati sebuah proses panjang yang dijalani dengan ketekunan dan kerja keras. Sama halnya dengan mimpi Saddil Ramdhani yang berawal dari sebuah desa kecil di Pulau Muna, kini menjadi sosok yang terkenal sebagai pemain sepak bola professional, tergabung dalam klub Persela Lamongan serta menjadi salah satu pemain di Timnas Indonesia U-22. (B)

 

Penulis: Ilham Surahmin
Editor: Abdul Saban

  • TOPIK
  • *

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini