Film Lautku Rumahku
Tidak adil rasanya meng-“apple to apple”-kan film lokal yang dibesut dan diperankan oleh orang-orang lokal Sulawesi Tenggara yang minim pengalaman dengan film-film yang diproduksi oleh pekerja seni yang sudah punya nama besar dengan pengalaman berlipat.
Sudah “nekad” memproduksi film dengan ragam keterbatasan, lalu hadir di layar lebar di Kota Kendari, adalah sebuah pencapaian tersendiri. Film Lautku Rumahku mewakili deskripsi ini. Sebuah film lokal yang disutradarai oleh Ahmad Nizar, seorang kawan yang berprofesi salah satunya sebagai jurnalis. Profesi salah duanya tentu sebagai sutradara film kini.
Film ini sudah hampir semingguan diputar di bioskop di Kendari. Untuk ukuran film lokal, dari segi jumlah penonton yang ditarget 1.000 orang, film ini telah sukses. Mengutip situs tegas.co, Lautku Rumahku telah ditonton sekitar 1.600 orang. Sudah jauh melampaui target.
Dari sisi kualitas, mulai dari cerita dan alurnya, kemampuan akting, hingga suara, di sana sini kita akan menjumpai banyak kekurangan. Alur ceritanya datar. Kita seperti menonton film yang tidak tuntas. Masih mau ngakak yang paripurna, film sudah habis. Berharap adegan romantis yang membuat hati gadis-gadis Kendari meleleh, layar bioskop sudah hitam. Kira-kira begitu.
Kemampuan akting para pemainnya –yang semuanya tidak pernah mengenyam sekolah perfilman– sekali lagi harus kita maafkan. Tetapi untuk satu orang pemerannya, saya menganggapnya sebagai kunci yang menyegarkan dan menyelamatkan film ini sekaligus, yakni pemeran tokoh Duma.
Pria berkulit hitam, berpostur gempal, dan bersemboyan “biar ompong tapi keren” ini sukses menjadi “pemeran pembantu utama” sebagai anak muda kocak yang baik hati. Dialog serta gesturnya sangat natural.
Aslinya, dia pria yang jenaka. Seusai film, saya mencarinya dan berfoto bersama. Saya akan menyimpan foto itu baik-baik. Kelak jika dia terkenal dan menjadi pemain film yang sukses, saya akan mengklaim bahwa saya pernah berfoto bareng dengannya. (Eh…ini iklan…hehehe). Yang pasti, saya nge-fans oleh pemeran Duma ini.
Kualitas suara. Kita mendapati sebuah scene dimana suara dalam ruangan yang awalnya bergema, lalu berubah menjadi lebih jernih dan mengecil volumenya. Persoalan ini ditemukan pada adegan ketika tokoh Onang menghadap atasannya pamit bertugas ke tempat baru.
Ada dua adegan yang terlihat cukup fatal. Pertama, ketika untuk pertama kalinya Onang dan Aisyah berjumpa di rumah ibu Onang. Saat itu Onang sedang ganti baju dan Aisyah datang membawakan teh. Aduh, adegan dan dialognya hampir saya tidak maafkan.
Kedua, di penghujung film. Saat Onang melamar Aisyah di atas mercusuar dengan memasangkan cincin lamaran. Jika membawanya ke ranah yang lebih serius, muatannya terlalu global. Tidak sesuai dengan lokalitas ke-Sultra-an kita. Tidak ada orang Sultra yang melamar pacarnya dengan memintanya apakah dia bersedia dinikahi, lalu langsung dipasangkan cincin.
Saya berharap sekali adegannya seperti ini, “Aisyah, mauka lamarki. Kalau saya datang sama Aji-ta (ayah yang sudah berhaji), kira-kira kita mauji?” Lalu dijawab Aisyah, “Segerami…”…hehehe.
Tapi segala kekurangan itu perlu dimaklumi atas beberapa alasan. Pertama, film ini awalnya film pendek untuk tujuan mengikuti lomba tentang kenavigasian laut. Kedua, waktu pembuatan hanya berkisar sebulanan, dengan sepuluh hari di antaranya adalah proses syuting. Ketiga, penggunaan segala sumberdaya lokal yang jauh dari hiruk pikuk dunia perfilman nasional.
Kendati demikian, ada satu hal yang sangat mengesankan dari Lautku Rumahku yang dapat disejajarkan dengan film nasional. Lagu latarnya. Sebuah soundtrack song yang berjudul sama dengan filmnya. Begitu menggetarkan. Lagunya keren. Enak dan ringan. Bernuansa maritim. Tentang kecintaan akan laut dan tanah air sekaligus.
Menikmati lagunya dengan scene keindahan laut, bawah laut, dan pulaunya, seakan menuntun kesadaran kita tentang ke-Indonesia-an. Mendengarkannya sembari menikmati laut lepas dengan tiupan angin yang sepoi, saya seperti dibawa pada rasa nasionalisme yang berkobar-kobar.
Lagu ini diciptakan sendiri oleh sang sutradara, Ahmad Nizar yang akrab dengan sapaan Ino. Dinyanyikan dengan begitu apik oleh penyanyi lokal Sultra, Kemal, dengan pengisi musik Andi Link dan Yoyok. Rekamannya dilakukan di studio lokal, Yoyok Studio.
Film ini seperti setetes embun yang melepaskan dahaga warga Sultra akan film bertema lokal dengan pelibatan orang-orang lokal. Penonton Sultra merindukan kehidupan sehari-hari mereka terefleksi di layar-layar lebar. Berbahagia menyaksikan kejenakaan, kepolosan, dan ke-apa ada-an kehidupan mereka. Lautku Rumahku menjawab itu. Seperti minuman pembuka, kita tunggu film berikutnya.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial