Wa Ode Nurhayati
Ini bukan naskah berbahasa Inggris. Pun bukan dalam rangka belajar bahasa itu. Ilmu tata bahasa Inggrisku cekak. Ini tentang seorang politisi perempuan yang pernah berjaya dalam satu pertarungan politik. Kemudian rebah, lalu mencoba bangkit lagi. Kita akan bercerita tentang kembalinya dia. Wa Ode Nurhayati. Dia senang namanya disingkat jadi WON. Akronim yang simbolik.
Kalau mau lebih dramatis, harusnya berjudul WON is Back atau WON Reborn. Ah, saya tidak mau itu. Istilah back dan reborn sedang ramai digunjingkan gara-gara acara nonton bareng yang digagas panglima. Nanti dituding memanfaatkan “hot issue” dengan mengait-ngaitkan hal yang tidak ada kaitan sama sekali.
WON masih kategori politisi muda. Toh, saya –yang (merasa) masih muda– lebih tua darinya. Anak-anak muda yang berani tampil sebagai pemimpin perlu diapresiasi. Meski seringkali makna pemimpin terdistorsi menjadi penguasa belaka.
Di tengah perebutan para kandidat gubernur untuk meraih dukungan parpol dan telah mendekati “garis akhir”, WON muncul. Menyatakan diri bergabung dalam gelanggang melalui jalur independen. Dia mengklaim telah mengantongi dukungan 30 ribu KTP konstituen dari 170 ribu yang dipersyaratkan KPU.
WON mengajak seorang anak muda lainnya –yang lebih muda darinya– menjadi calon wakilnya. Seorang praktisi hukum bernama Andre Darmawan, Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Sulawesi Tenggara. Dia juga memimpin sebuah lembaga bantuan hukum bernama LBH HAMI, yang beberapa waktu lalu, berpolemik gara-gara pelatihan paralegal terhadap kepala desa di Konawe Selatan dan Konawe Utara yang diselenggartakan oleh LBH-nya.
Bagi politisi, ada lebih dari satu target yang hendak dicapai di setiap langkah politik yang ditempuhnya. Di pilkada, kita tidak bisa meyakini seyakin-yakinnya bahwa seorang politisi sungguh-sungguh bermimpi merengkuh kemenangan. Pada kasus WON yang boleh dikata “terlambat” start, kita patut menimbang asumsi ini.
Di atas kertas, sangat sulit bagi WON untuk mengungkit elektabilitasnya. Apalagi selama ini, namanya tidak masuk dalam barisan tokoh yang terjaring survei, sebagai salah satu instrumen untuk mengukur tingkat keterpilihannya.
Selain itu, belum ada wacana yang dia gulirkan sebagai tawaran konsep alternatif pembangunan Sultra yang dapat dibincang publik, selain bahwa dia merupakan kandidat perempuan satu-satunya setelah Tina Nur Alam hanya mampu dihitung sebagai calon wakil. Walaupun dalam banyak hal, tawaran konsep pembangunan yang ditawarkan para kandidat di pilkada (baik bupati/walikota maupun gubernur) pun kebanyakan lips service, yang seringkali disusun secara serampangan oleh tim sukses.
Kemudian jika kita melihat statistik, nyaris tidak ada kandidat gubernur dari calon perseorangan yang berhasil menang sejak sistem pilkada diberlakukan di Indonesia –meski untuk pilkada kabupaten/kota, fenomena menangnya kandidat perseorangan, menunjukkan trend yang positif.
Tercatat, hanya Irwandi Yusuf, mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka, yang berhasil duduk sebagai gubernur dari jalur perseorangan pada Pilkada 2006 silam. Namun, pada pilkada berikutnya, masih maju lewat jalur perseorangan, dia berhasil ditaklukkan oleh Zaini Abdullah.
Kita timbang kekuatan apa yang dimiliki WON. Setelah kasus korupsi yang menderanya dan membuatnya harus mendekam di tahanan selama lima tahun enam bulan plus denda Rp 500 juta, nama WON praktis hilang dari jagat perpolitikan Sultra. Padahal, sebelumnya dia adalah politisi muda yang cemerlang.
Keberaniannya berhadap-hadapan dengan Gubernur Sultra Nur Alam yang juga Ketua PAN Sultra (partai tempat dia bernaung) terkait isu kawasan ekonomi khusus (KEK) yang digagas gubernur, banyak mendapat apresiasi dari publik, terutama aktivis lingkungan. Gagasan KEK ini kemudian hilang tertimbun dinamika dunia pertambangan, yang pada akhirnya juga menyeret Nur Alam.
WON juga berani buka-bukaan mengenai dugaan keterlibatan semua anggota Badan Anggaran DPR yang mengutip 7-15 persen anggaran yang dialokasikan untuk perubahan alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dalam APBN 2011.
Pernyataannya menuai reaksi keras dari rekannya di DPR. Kasus itu membesar, bergulir liar, dan justru menyeretnya sendiri ke meja hijau. Dengan demikian, proses hukum yang menyertainya, kendatipun dinyatakan terbukti bersalah, tetap saja menyisakan hal-hal kontroversial yang cukup layak dijadikan sebagai “pertahanan” dalam menangkal tembakan “mantan napi koruptor” yang ditujukan pada dirinya di panggung pilgub.
Pastinya dia pemberani. Tidak sembarang berani pula. Dia pernah membuktikan bahwa dirinya diterima dengan baik oleh publik. Wanita kelahiran 6 November 1981 ini, sukses melenggang ke senayan dengan meraih 27.564 (30,87 persen) dari 89.280 total suara PAN di provinsi ini pada Pemilu 2009.
Partainya memastikan satu dari hanya lima kursi yang dialokasikan untuk Sultra. Ini merupakan pencapaian yang spektakuler mengingat ketika mencalonkan diri, WON berada di nomor urut buncit, dan juga bahwa dia mewakili perempuan –yang minoritas.
Dia juga memiliki “isi tas” yang tidak bisa diremehkan. Lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Karya Dharma Merauke ini merupkan pengusaha dengan bisnis yang membentang dari Sultra, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Dari kontraktor pengadaan barang, konveksi, gerai ponsel, hingga usaha perkebunan.
Masuknya dia ke arena pilgub ketika mesin kandidat lain sudah lama panas, boleh jadi hanyalah untuk menautkan kembali dirinya dengan konstituen yang pernah memilihnya setelah terputus selama kurang lebih enam tahun dan/atau semacam “investasi” awal untuk meramu kekuatan pada Pemilu 2019.
Bahwa jika kemudian garis tangan membawanya ke kursi gubernur di Pilkada 2018, siapakah yang bisa melawan takdir? Tapi itu hitungan lain. Itu matematika sang maha pemilik kekuasaan, dimana nasib baik bisa menaungi siapa saja yang berada di lintasan usaha.
Sesungguhnya, WON sedang berupaya mengembalikan ingatan publik tentang dirinya. WON sedang mempersiapkan kemenangan lain. Kembali ke parlemen. Setelah itu, jika masih berkeinginan, dia dapat kembali menatap pemilihan gubernur 2023-2028. Kala itu, usianya 42 tahun. Masih (disebut) muda.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial