Manuver Golkar, Kegembiraan Asrun, dan Bola Liar Tak Terduga

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Ketua Golkar Sultra Ridwan Bae mundur dari bursa kandidat gubernur. Dia menggelar rapat pimpinan daerah khusus (rapimdasus), yang secara mengejutkan hanya mengajukan dua dari tiga nama yang diminta dewan pimpinan pusat (DPP) untuk diseleksi.

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Forum rapimdasus merekomendasikan Bupati Muna Rusman Emba, mantan kader Golkar yang kini menjadi fungsionaris PDIP Sultra. Nama kedua adalah Walikota Kendari Asrun yang juga Ketua PAN Kendari.

Kandidat lain yang selama ini optimis mendapatkan dukungan dari partai beringin, mantan gubernur Ali Mazi justru ditinggal. Padahal, Ketua Harian DPP Golkar Nurdin Halid dan Sekjen Golkar Idrus Marham akan memberikan dukungannya dan segera mengeluarkan SK dukungan dalam “satu dua pekan ke depan”.

“Pak Ali, saya pastikan rekomendasi itu, karena saya Ketua Tim Pilkada Pusat, disini juga hadir Pak Sekjen DPP, Idrus Marham, yang juga Sekretaris Tim Pilkada Pusat, sebentar juga rekomendasinya bisa di tandatangani,” ucap Nurdin sebagaimana dikutip dari Sulselsatu.com yang dilansir zonasultra.id, 15 September 2017 lalu.

Ridwan jelas tidak ingin Golkar mendukung Ali Mazi. Dengan piawai memanfaaatkan forum rapimdasus untuk melegitimasi penolakannya. Hal ini adalah langkah “cantik” Ridwan menyiasati DPP untuk tidak serta merta mengambil keputusan dengan menafikan DPD I. Ridwan memilih menggelar rapimdasus ketimbang memprotes DPP yang bisa berdampak buruk baginya.

Lantas kenapa Rusman Emba dan kenapa Asrun? Rusman memang sudah memprediksi bahwa Ridwan akan keluar dari race karena alasan elektabilitas. Secara personal Ridwan-Rusman bukan orang lain. Ridwan paman sekaligus mentor bagi Rusman.

Koalisi terakhir mereka adalah Pilkada Muna Barat. Meski berbaju PDIP, Rusman secara personal mendukung putra Ridwan yang maju di daerah itu. Di sisi lain, Rusman politisi muda yang sedang naik daun.

Kendatipun demikian, Rusman punya kekurangan. Dia masih seumur jagung memimpin Muna, meski dia cukup berhasil melakukan pembenahan awal dengan berbagai gebrakannya. Publik masih butuh pembuktian lebih.

Kedua, elektabilitas Rusman masih di papan bawah. Dari survei terakhir yang dirilis Barometer Suara Indonesia (BSI) terhadap 17 bakal cagub, September ini, Rusman berada di posisi delapan. Di bawah Asrun yang berada di posisi dua dan Ali Mazi di posisi empat.

Untuk alasan itulah, Golkar (7 kursi) mengajukan nama Asrun sebagai kandidat alternatif dengan kans menang paling tinggi di atas kertas. Asrun sejauh ini “sudah hampir pasti” mengantongi PAN (9 kursi), yang tak butuh koalisi dengan partai lain. Dan ia masih punya kartu As. Figuritas yang dimilikinya mampu membawa partai lain ikut dalam gerbongnya, walaupun PAN tidak butuh itu secara administratif.

Imran, Ketua Partai Gerindra, adalah besannya. PKS sejak jauh-jauh hari sudah menunjukkan isyarat dukungan meski masih terkesan malu-malu. Jika PAN tidak mengusung Asrun, Gerindra (4 kursi) dan PKS (5 kursi) kemungkinan besar tidak bersama dalam gerbong PAN. Jika Golkar bergabung, koalisi ini adalah raksasa.

Belum lagi jika kemudian Asrun berhasil menggaet anggota DPR dari PPP Amirul Tamim menjadi wakilnya. PPP yang punya dua kursi akan kian menjadikan koalisi itu menjadi gigantis dengan total 27 kursi. Plus PKB (1 kursi) yang sepertinya juga merapat ke Asrun sehingga dukungan mencapai 28 dari 45 kursi di parlemen. Enam puluh dua persen lebih dukungan.

Bagi Asrun, kemanapun Golkar menjatuhkan pilihan apakah ke Rusman ataupun ke dirinya, dia sudah patut bergembira. Boleh dikata, Asrun telah mendapatkan satu kemenangan kecil yang nyata.

Asrun tentu lebih memilih melawan Rusman yang hingga kini belum memiliki pasangan ketimbang Ali Mazi yang digadang-gadang berpaket dengan Lukman Abunawas. Apalagi jika kemudian, Golkar lebih memilih dirinya.

Hanya saja, jika Golkar sebagai salah satu kekuatan poros di pilgub kali ini masuk dalam gerbong Asrun dengan PAN-nya, kewibawaan partai beringin menjadi dipertanyakan. Partai besar kok jadi follower. Kemungkinan akan muncul tudingan tidak sedap yang dialamatkan ke Golkar. Kira-kira begitu “sanksi” yang akan mereka terima. Dengan demikian, pilihan paling “ideal” adalah mengusung Rusman. Itu jika DPP setuju.

Jika Golkar “nekad” mengusung Asrun, maka hampir pasti Ali Mazi akan masuk ke satu-satunya poros yang tersedia. Kembali bertarung dengan kandidat lainnya seperti Rusda Mahmud, Rusman Emba, dan Supomo. Hanya tersisa Demokrat (6 kursi), PDIP (5 kursi), Nasdem (3 kursi), dan Hanura (3 kursi). Maka skenario head to head akan terjadi.

Meskipun demikian, Asrun belum bisa bernapas selega-leganya. Dia masih harus awas mengamati pergerakan salah satu kandidat kuda hitam. La Ode Ida. Dia juga mengincar PAN. Menimbang komisioner ombudsman ini rasional mengingat PAN juga belum memantapkan hati menetapkan Asrun sebagai kandidat yang diusungnya.

Ada dua hal yang dapat dibaca atas kehati-hatian PAN untuk tidak tergesa-gesa mengeluarkan SK dukungan. Pertama, La Ode Ida menunjukkan trend yang cukup signifikan dalam survei terakhir BSI. Elektabilitas Asrun hanya berbeda dua persen dari La Ode Ida.

Padahal mantan anggota DPD ini relatif lebih lambat menyatakan maju ketimbang Asrun yang sudah jauh hari menyatakan kesediaannya. Kekuatan jejaringnya di level nasional juga membuat La Ode Ida cukup berpeluang “mencuri” PAN dari tangan Asrun.

Kedua, PAN mewaspadai “tsunami” politik jika sekiranya Asrun tersandung oleh proses hukum yang dilakukan KPK saat ini terhadap penggunaan anggaran di Pemerintah Kota Kendari. Bagi PAN, waktu tunggu relatif masih panjang hingga Desember, untuk mengambil keputusan yang tepat. Sebab proses hukum di KPK begitu liar. Begitu tak terduga.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini