Tidak banyak politisi yang namanya lebih harum sebagai seorang akademisi ketimbang politikus. Padahal, politisi secara umum jelas jauh lebih populer ketimbang akademisi. Sulawesi Tenggara sepertinya hanya punya satu. Profesor Laode Masihu Kamaluddin. Dia politisi. Tapi publik lebih mengenalnya sebagai guru besar yang konsisten dengan konsep-konsep pembangunan berbasis riset yang sarat dengan nuansa akademis.
Tangan dinginnya sebagai seorang akademisi terlihat dari beberapa program-programnya ketika menjadi petinggi di sejumlah perguruan tinggi. Taruhlah salah satunya Program Cerdas Sultraku ketika memimpin Universitas Sultan Agung Semarang. Dia juga sukses menata Universitas Lakidende (Unilaki) dan meretas jalan kerjasama dengan Korea Selatan.
Di Pilgub 2018, dia masuk dalam pusaran. Menyatakan diri akan maju sebagai salah satu kandidat. Sejauh ini, popularitasnya tidak moncer-moncer amat –jika tidak ingin dikatakan buruk. Survei terbaru Barometer Suara Indoensia (BSI) hanya menempatkan sang profesor pada nomor empat paling bawah dari 17 cagub yang disurvei.
Menurut survei BSI yang dirilis 16 September 2017, Masihu hanya mengungguli secara berturut-turut La Suti Taka, Supomo, dan Oheo Sinapoy. Dari tiga orang yang disebut-sebut itu hanya Supomo, seorang pensiunan jenderal militer, yang berada dalam arena perebutan dukungan partai.
Tapi dia tetap menjaga asa untuk menatap kursi gubernur. Dalam beberapa hari terakhir, namanya yang sempat meredup, kembali mencuat setelah pemberitaan tentang pengambilalihan kepemimpinan Gerindra Sultra.
Masihu menyatakan telah menerima amanah sebagai Ketua Gerindra Sultra menggantikan Imran, mantan Ketua Partai Demokrat ketika menjabat Bupati Konsel. Belum ada konfirmasi resmi mengenai hal itu karena pihak DPP Gerindra sendiri belum pernah menyatakan langsung. Masih sebatas klaim dari Masihu. Imran sendiri tidak membantah hal itu kendati tidak juga membenarkan.
Dan hal terpenting dari sekadar jabatan ketua ialah bahwa Gerindra akan mengusung Masihu sebagai kandidat cagub. Suatu hal yang bertentangan dengan keinginan Imran yang mengarahkan dukungannya ke Asrun –besannya. Barangkali, perbedaan visi dengan DPP inilah yang membuat Imran harus lengser –jika memang pergantian itu terbukti terjadi.
Apa poin yang hendak saya sampaikan pada tulisan ini bahwa sang profesor sesungguhnya lebih banyak berbuat untuk rakyat banyak dalam posisinya sebagai akademisi ketimbang politisi. Betapa konsistennya dia menggaungkan pembangunan ekonomi berbasis kemaritiman di Indonesia, terutama di Sultra.
Tidak mengapa dirinya maju sebagai calon gubernur karena memang kemampuannya yang memadai untuk itu. Tapi jika kemudian dalam rangka memperoleh sokongan lantas tercebur dalam warna partai tertentu, dalam hemat saya, dia telah terseret dalam praktik politik seperti politisi kebanyakan yang bukan akademisi. Bukan cendekiawan. Bukan intelektual.
Esensi menjadi ketua partai bukan sekadar “tiket” nyalon gubernur, bupati, walikota. Ketua partai adalah juga mengurus segala tetek bengek kepentingan partai. Kepentingan dalam spektrum yang kecil. Kapasitasnya sebagai seorang cendekiawan akan terkikis dengan praktik-praktik kepartaian yang cenderung pragmatis dan berorientasi golongan.
Apakah setiap pemimpin harus selalu menjadi sopir untuk kendaraan yang ditumpanginya? Tentu tidak. Dalam jejak kariernya yang panjang, Masihu bukan birokrat partai. Dia akan terlihat degil ketika mengendalikan sebuah partai dengan latar belakangnya sebagai akademisi.
Kedegilan yang mulai terasa adalah fakta bahwa dia adalah kader PPP dan tidak pernah ke partai manapun hingga pilgub ini, yang lalu menggodanya untuk merebut kepemimpinan sebuah partai. Dia mulai terlihat seperti politisi kutu loncat, alih-alih sebagai politisi ideologis. Meninggalkan darah nasionalis-relijius menjadi nasionalis tulen atas alasan pragmatisme.
Bagi seorang cendekiawan, perubahan pijakan platform ideologis berarti buah dari sebuah pertarungan pemikiran yang kontemplatif. Hasil dari sebuah perenungan yang dalam. Bukan sekadar dilandasi oleh rebut-rebutan kursi calon gubernur.
Profesor Masihu adalah salah satu aset terbaik yang dimiliki Sultra. Seorang pemikir, intelektual, yang jejak pengabdiannya begitu panjang di dunia akademik yang idealis. Dia hanya kebetulan terhembus atmosfir politik praktis yang datang sekali dalam lima tahun.
Jika memang Gerindra hendak mendukungnya, dan atas hal itu perangkat kepemimpinan di partai harus berubah, carilah figur lain. Jangan Profesor Masihu. Dirinya akan mengecil di mata rakyat. Sebab, dia akan dipandang sebagai milik Gerindra semata. Bukan lagi sebagai guru bagi masyarakat Sultra.
Politisi dengan warna kecendekiaan adalah beban yang berat. Banyak menjaga. Mendukungnya maju sebagai kandidat gubernur, tapi tidak untuk memimpin sebuah partai. Darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah ilmuwan, bukan darah ketua partai.
Anda tahu, bagi ketua partai, satu tambah satu hasilnya bisa berapa saja. Tapi bagi ilmuwan hasilnya pasti dua. Dan untuk itu, mari menjaga profesor kita dari godaan yang menggelincirkan, ketika satu tambah satu tidak lagi dua di matanya.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial