Noda Kinerja DPR

Abdul Haris Ode Ruhaba, S.I.K ., M.A.P
Abdul Haris Ode Ruhaba, S.I.K ., M.A.P

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan representasi rakyat dalam suatu pengelolaan negara yang berbasis mutual trust. Sebagai suatu wadah yang menjadi penimpukkan segala jenis amanat penderitaan rakyat, DPR idealnya menjadi suatu Super Hero yang benar-benar membanggakan, solutif dan dipercaya. Tapi, basis-basis ideal tersebut nampaknya hanya akan selalu nyata disecarik-larik kertas sahaja, pada dogma, barang normatif di bangku-bangku pendidikan. Dan selalu menyiratkan pesimisme pada realitas.

Abdul Haris Ode Ruhaba, S.I.K ., M.A.P
Abdul Haris Ode Ruhaba, S.I.K ., M.A.P

Saban hari, DPR dicuatkan sebagai lembaga terkorup. Dalam survei yang ditekuni oleh Global Corruption Barometer (GBC) 2017 DPR mengungguli Polri yang juara di tahun 2013. Survei ini dilakukan dalam durasi sejak pertengahan 2015 hingga awal 2017. Sebanyak 54 % responden menilai DPR sebagai lembagai paling korup. Disusul oleh lembaga birokrasi 50 %, DPRD 47 % dan Direktorat Jenderal Pajak 45 %. Survei ini diadakan oleh Transparency International (TI) dengan jumlah 1.000 responden di 31 provinsi.

Dari survei ini, ada beberapa poin penting yang menjadi catatan responden untuk DPR. Poin tersebut yakni pengetahuan masyarakat atas banyaknya anggota DPR yang ditangkap. Pemberitaan media massa atas itu menjadi variable penting atas ini. Poin selanjutnya adalah beberapa fungsi dan kewenangan yang ada pada DPR justru tidak diamanahkan dengan baik, malah berpretensi pada lemahnya semangat melawan korupsi. Salah satu variable penting dari ini adalah framing Pelemahan KPK melalui upaya legislasi dan riuh-kisruhnya hak angket.

Sebagai catatan tambahan, DPR dianggap tak konsisten serta tidak tertib sehingga bisa ada pengusulan anggaran-anggaran yang berulang dan dianggap tidak wajar. Ironi dengan hal tersebut, kinerja DPR dinilai cukup buruk. Menilik fungsi legislasinya sebagai salah satu parameter, kita bisa menyaksikan buruknya kinerja DPR. Dari 3 tahun terakhir misalnya. Di tahun 2015 ada 37 prioritas rancangan Undang-Undang (RUU), namun yang disahkan hanya 3. Di tahun 2016 ada 50 RUU prioritas dan yang disahkan hanya 10. Di tahun 2017 ada 50 RUU dan yang disahkan hanya 4. Kinerja yang lunglai.

Berbeda halnya dengan penganggarannya, lonjakan-lonjakan angaran fantastis begitu terllihat. Di 2011 anggaran DPR berjumlah 1,74 T, di tahun 2012 terkucur 2,016 T dan melonjak ke tahun ini 4,26 T. Kejinya lagi, DPR mengajukan tambahan anggaran hingga 7,25 T untuk tahun 2018. Bandingkan sendiri dengan capaian legislasinya pada pemaparan diatas. Berbagai kalangan menilai hal ini berorientasi terhadap pesta demokrasi yang akan terhelat di 2019. Sungguh ironi.

DPR dalam Kinerja dan Korupsi

Data fakta yang terpampang diatas adalah suatu sistem perilaku yang tercuatkan oleh DPR. Dari Teori organisasi, hal tersebut tercakup input, proses dan output. Inputnya berupa sekumpulan orang dari Partai Politik (Parpol) sarana dan atau prasarana. Prosesnya dapat berupa interaksi masing-masing antar personel yang mana tiap-tiap personel memiliki tugas, wewenang dan tanggungjawab. Dan outputnya adalah hasil kerjasama dalam melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan yang sama. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa Pencapaian Legislasi yang ada adalah output dari manusia-manusia parpol yang berproses didalamnya. Torehan mengecewakan tersebut selayaknya menjadi introspeksi bagi kinerja legislasi DPR untuk kedepannya. Terlebih dengan ajuan anggaran yang begitu “wah.”

Bagaimana dengan stempel sebagai lembaga terkorup?, yah, fenomena ini dapat terjelaskan dengan mengurai individu pembentuk organ DPR. DPR hanyalah wadah yang tercorengkan atas perilaku individu didalamnya. Menilik pada abstraski Rhenald Kasali, bahwa sejatinya manusialah yang menjadi kemudi ‘movement’ dalam sebuah organ. Mengubah presepsi buruk DPR hari ini adalah merubah – me-Recode insting manusia-parpol kita dalam menjalankan jabatan yang diamanahkannya.

Atas dasar itu, Korupsi yang terjadi di DPR hari ini adalah ulah politisi yang dianak-pinakkan oleh parpol. Mereka kebanyakan secara sadar menjadi budak atas needy dan greedy dalam celah opportunity. Dalam poin needy, parpol tentu terdesak akan biaya-biaya politik. Bagaimana agar tetap eksis dan berburu kekuasaan dengan efektif. Tentu hal ini tidak dapat dinafikan. Terlebih trend keterpilihan pada pemilu-pemilu kita tergerus massif oleh seberapa kuat basis finansialnya. Parpol pun akan dilema, dengan peluang pilihan Korupsi Politik didepan matanya.

Dalam poin greedy, hal ini secara naluriah sudah menjadi bawaan manusia parpol sejak lahir. Bagaimana setiap manusia memiliki keserakahan. Dan bagaimana keserakahan itu bertahan didepan gigantiknya godaan anggaran bin kewenangan di DPR. Ini poin yang sangat krusial dan sangat erat kaitannya dengan nilai moralitas yang terbangun di Indonesia hari ini. Pertanyaan yang muncul dari ini adalah apakah ada politisi yang tidak ingin memperkaya diri atau memperkaya kelompoknya? biarlah hati yang menjawab.

Selanjutnya dalam poin opportunity. Penjelasan atas ini sangat sederhana. Dalam rekaman ingatan mungkin masih terbayang bagaimana pesan Bang Napi, seorang tokoh di pemberitaan kriminial disuatu televisi swasta. Bagaimana Korupsi akan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi karena adanya kesempatan. Dari ini, realita yang terjadi menyiratkan bahwa regulasi pengawasan DPR mesti lebih diperkuat internal pun eksternal. Kesempatan untuk korupsi mesti diperkecil. Sebagai contoh, menguatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran DPR. Dan tentunya memberikan kewenangan yang lebih pada KPK yang notabene begitu buas dalam menangkap koruptor berwajah politisi DPR.

Segala realitas yang terbaca diatas tentu memiriskan kita sebagai rakyat yang terus merasa dibohongi oleh oknum-oknum politisi di DPR. Meski tidak digeneralisir, setidaknya perbuatan korup oknum akan mencemari nama dan kehormatan lembaga tinggi negara kita. Manakala menilai kinerja, tentu kita tidak akan menghakimi secara oknum, sebab produk legislasi adalah output atas pandangan terhadap DPR sebagai suatu organ.

Harapan kedepan, tentu kita mengharapkan perbaikan pada reot-peotnya kepercayaan publik diwajah megahnya DPR kita hari ini. Banyak hal yang bisa dilakukan, yakni dengan meningkatkan keterlibatan dan pengawasan publik- mendorong penguatan regulasi pengawasan internal dan eksternal. Sesimpel saran penulis adalah jangan lupa untuk tandai, jangan lupa dengan kesalahan mereka, berilah penjeraan pada ruang-ruang demokrasi yang ada. Akhir kata kita berseru, Hodi Mihi Cras Tibi, “Ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan, tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat..”. Ayo jerakan!.

Oleh : Abdul Haris Ode Ruhaba, S.I.K ., M.A.P
Penulis adalah Alumni Pascarjana Universitas Halu Oleo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini