Partai dengan pergerakan yang begitu dinamis dalam beberapa pekan terakhir di perhelatan Pilgub Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah Golkar. Dipicu oleh beredarnya surat dukungan dewan pimpinan pusat (DPP) partai yang ditandatangani oleh Ketua Harian Nurdin Halid dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham yang intinya merestui Ali Mazi untuk menggunakan partai beringin sebagai pintu calon gubernur.
Fungsionaris dewan pimpinan daerah (DPD) menggeliat. Mereka menolak Ali Mazi dengan berbagai macam argumentasi. Ketua Golkar Sultra Ridwan Bae menyebut Ali Mazi tidak beretika karena tidak pernah pamit-pamit ke dirinya tiba-tiba sudah pasang baliho bergambar dirinya.
Ada juga fungsionaris lain yang menyatakan, jika bukan Setya Novanto yang tandatangan surat dukungan maka tidak sah. Pengurus partai lainnya menuding bahwa DPP tidak demokratis karena mengabaikan aspirasi DPD, yang sama sekali tidak mengusul nama Ali Mazi.
Bukan sekadar menolak dengan pernyataan-pernyataan, bahkan ada aksi massa yang berunjukrasa di kantornya sendiri menyuarakan penolakannya. Mereka melancarkan argumentasi lain: “Kami punya bukti di tangan Ali Mazi Golkar Sultra terpuruk dan terpecah belah.”
Sebelumnya, Nurdin Halid bersama Idrus Marham menguatkan pernyataannya bahwa Ali Mazi benar-benar disokong oleh DPP, dan tidak ada persoalan mengenai siapa yang bertanda tangan, apakah ketua harian atau ketua umum, karena secara prinsipil Ketua Umum Setya Novanto telah menyetujui.
Pihak Ali Mazi pun telah menjadwalkan deklarasi sebagai kandidat gubernur yang akan diusung oleh Golkar (7 kursi) dan juga Nasdem, pemilik tiga kursi yang telah lebih dahulu mengeluarkan rekomendasi dukungannya pada mantan Gubernur Sultra periode 2003-2008 itu. Deklarasi dijadwalkan 19 Oktober 2017 mendatang.
Praktis Ali Mazi sudah “aman”. Dia telah mengantongi cukup dukungan koalisi partai. Juga telah memiliki pasangan, yakni Lukman Abunawas, seorang birokrat-politisi senior dengan jejaring kekeluargaan yang mengakar kuat di wilayah daratan, melengkapi Ali Mazi yang berasal dari kepulauan. Bahkan juga telah punya akronim slogan yang paten: AMAN (Ali Mazi-Lukman Abunawas). Sebuah kebetulan yang pas. Selangkah lagi, mereka resmi sebagai bakal calon.
Kendati demikian, ada ironi dari pasangan “aman” ini. Mereka akan bersama Golkar tapi pada sisi sebaliknya, juga akan berhadapan dengan Golkar –setidaknya para fungsionaris, yang berada di bawah kendali sang ketua, Ridwan Bae.
Kelak di pertarungan yang sesungguhnya, akan ada hambatan di tataran operasional pemenangan, semisal tidak bekerjanya mesin partai sebagai sikap penolakan terhadap Ali Mazi. Walaupun kemudian, penolakan para fungsionaris ini juga masih dipertanyakan kadarnya apakah benar-benar murni aspirasi atau sekadar manuver yang sengaja didesain.
Tapi yang jelas, ini cukup destruktif bagi pemenangan Ali Mazi-Lukman Abunawas, jikalau “perlawanan” DPD I –dan juga DPD II– terhadap keputusan DPP terus berlanjut hingga kandidat ini resmi berlaga hingga hari-H pemilihan.
Tetapi saya ingin mengatakan bahwa “perlawanan” DPD I Golkar Sultra dan DPD II se-Sultra terhadap keputusan DPP untuk menolak Ali Mazi akan berakhir dengan “indah”. Jika merunut kehangatan hubungan Ridwan Bae dengan Nurdin Halid, Idrus Marham, dan juga sang ketua umum, Setya Novanto, adalah sebuah langkah konyol jika Ridwan terus bertahan dengan sikapnya.
Di beberapa kesempatan ketika Setya Novanto dirundung persoalan, baik ketika dilengserkan sebagai ketua DPR ataupun ketika ditersangkakan oleh KPK, Ridwan merupakan bagian dari barisan yang pasang badan membelanya.
Oleh karena itu, perlawanan ini dapat dibaca dalam dua dimensi. Pertama, Golkar Sultra hanya sedang berusaha menjaga marwahnya karena telah mengusung Rusman Emba dan Asrun –dan belakangan Tina Nur Alam.
DPD harus terkesan gigih membela jagoan yang telah mereka susahpayahkan usulkan itu. Kan tidak lucu jika Rusman, Asrun, ataupun Tina kemudian berujar, “hanya segitu perjuangan kalian membela orang yang kalian usulkan? Baru sekali diketok langsung selesai?”
Golkar Sultra menjaga itu karena keputusan untuk mengusulkan Rusman dan Asrun –dan belakangan Tina– pun bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Ada begitu banyak proses yang telah dilalui untuk mengerucutkan nama-nama itu.
Dimensi kedua adalah bahwa ini sebuah skenario playing victim. Korbannya dalam hal ini adalah Ali Mazi. Lontaran tudingan demi tudingan yang menjadi semacam “daftar dosa-dosa Ali Mazi terhadap Golkar Sultra”, pada gilirannya akan berubah menjadi simpati publik atas Ali Mazi.
Publik akan dengan segera melihat dengan jernih bahwa dinamika Golkar Sultra yang menolak Ali Mazi lebih pada manuver politik ketimbang aspirasi yang benar-benar tulus dari “hati nurani” para kadernya. Menariknya, bisa saja skenario playing victim ini justru didesain oleh Golkar Sultra sendiri untuk menggenjot elektabilitas Ali Mazi.
Begini argumentasinya. Apa untungnya bagi Golkar Sultra jika bertahan tetap menolak Ali Mazi yang berkonsekuensi berhadap-hadapan dengan DPP? Tidak ada. Mereka hanya akan menuai badai. Pertama, penolakan atas Ali Mazi tidak berarti bahwa Golkar Sultra dapat mengusung calon lain, jika DPP sudah bulat menyokong Ali Mazi.
Kedua, perlawanan atas DPP akan berkonsekuensi pada sanksi-sanksi organisasi. Ketiga, jika Ali Mazi menang pilkada, mereka “habis”. Keempat, jika Ali Mazi kalah, mereka adalah orang pertama yang ditunjuk sebagai biang kekalahan karena tidak mendukung.
Empat alasan inilah yang mendasari kenapa penolakan ini akan berakhir dengan “indah”. Empat alasan inilah yang mendasari mengapa –patut diduga– bahwa ini hanyalah skenario playing victim yang sedang dimainkan Golkar Sultra –yang justru– untuk memenangkan Ali Mazi. Tetapi terlepas dari itu, saya sendiri tidak percaya jika skenario playing victim ini adalah made in Golkar Sultra…hehehe. But who knows?***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial