Inti persahabatan itu adalah sikap saling menerima. Kekurangan dan kelebihan. Tidak ada hubungannya dengan status apapun yang disandang. Kaya-miskin, pejabat- jelata, atasan-bawahan, titel sederet-putus sekolah, penjual mobil-penjual ikan keliling. Yang dibutuhkan persahabatan itu adalah hati bukan status sosial.
Persahabatan itu adalah proses. Bukan sesuatu yang instan. Tidak ada orang yang baru sehari dua hari berkenalan, sempat foto bersama, lalu mengklaim diri telah bersahabat. Terdapat proses interaksi untuk mengonsolidasikan perasaan yang pada gilirannya akan menentukan apakah persahabatan terjalin atau tidak.
Oleh karenanya, di kelas-kelas anak sekolahan, di angkatan-angkatan anak kuliahan, di kompleks-kompleks perumahan, di dalam gedung-gedung perkantoran, di kamar-kamar kos, di pangkalan-pangkalan ojek, di himpunan-himpunan organisasi, tidak semua merupakan personal yang bersahabat dalam pemaknaannya yang intim.
Akan selalu terbentuk kelompok-kelompok kecil dari setiap komunitas tadi yang menamakan diri sahabat. Hati dan perasaan mereka cocok. Saling menerima. Dan penanda paling jelas dari hubungan mereka adalah mereka selalu terlihat bersama atau berusaha untuk selalu ada (baik secara fisik maupun spirit), bahkan untuk urusan yang sangat tidak penting sekalipun.
Teori persahabatan yang dikemukakan seorang sarjana di bidang komunikasi dan kebudayaan digital asal Sydney, Australia, Mobinah Ahmad, dapat menjadi panduan untuk mengukur orang-orang yang Anda kenal, apakah dia sahabat atau bukan. Demikian pula sebaliknya, mengukur apakah Anda sahabat baginya atau bukan.
Menurut Mobinah seperti dikutip dari artikel www.abc.net.au yang berjudul “Friendship theory developed by Sydneysider groups acquaintances into six categories, goes viral” edisi 30 Oktober 2015, ada enam tingkatan persahabatan, dengan mengecualikan kerabat, pasangan, dan rekan kerja.
Pertama disebut sebagai pra-kenalan. Ciri-cirinya, kita tidak saling mengenal satu sama lain. Kita hanya tahu nama. Anda tahu namanya, dia juga tahu nama Anda.
Kedua, kenalan level satu. Parameternya adalah kita saling kenal melalui teman atau kenalan masing-masing. Dikenalkan temanlah, begitu kira-kira. Pernah bertemu secara singkat di sebuah pesta atau even-even sosial, atau deklarasi pasangan calon kepala daerah (lho…lho…lho…).
Ukuran lainnya, Anda adalah klien bisnis atau kolega kerja yang Anda tidak punya waktu untuk bersama dengannya kongkow-kongkow. Anda bertemu dengannya secara kebetulan selama beberapa kali. Pertemuan Anda dengannya tidak direncanakan, tetapi anda merasa nyaman dan mudah untuk bertemu. Detail perkenalan Anda dengannya benar-benar dangkal. Semisal, tidak tahu rumahnya, saudaranya berapa, atau siapa saja mantannya.
Ketiga, kenalan level dua. Kalian pergi ke sekolah sama-sama atau satu pete-pete bareng. Tentu di tahap ini sudah kenal lama satu sama lain. Meskipun demikian, kalian jarang jalan berdua saja, selalu berkelompok dengan teman lainnya. Jika dia memerlukan bantuan Anda, maka Anda berusaha sekuat mungkin membantunya. Mungkin supaya terlihat serius membantu. Tapi Anda akan bosan berbincang dengannya jika sudah lewat dari 20 menit.
Keempat, kenalan level tiga. Ditandai dengan kalian memiliki hubungan yang bagus, berbincang seru, saling perhatian satu sama lain. Hanya sesekali atau bahkan tidak pernah bertemu lalu janjian ketemuan.
Kelima, pra-teman. Anda ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengannya dan memutuskan untuk menjalin pertemanan yang karib dengannya, bukan karena kalian terhimpun di lingkungan yang sama.
Keenam, sahabat. Anda sangat peduli setiap apapun dari kehidupannya. Pendidikannya, penampilannya, kesehatannya, bagaimana hubungannya dengan orang-orang yang dicintainya. Juga peduli dengan pemikirannya, gagasannya, kegembiraan, dan ketakutannya.
Anda dengan mudah berbicara jujur atau berpendapat terbuka padanya. Semisal, jarimu kenapa jempol semua? Atau, pake saiki deodoran, tidak bisama napas inie. Atau, pilihki ini nanti di pilkada, ada bede serangan fajarna.
Seorang sahabat juga langsung paham bahwa Anda sedang tidak enak hati hanya dengan melihat kerutan keningmu atau caramu berkedip. Dia paham suasana hatimu melalui sinyal-sinyal halus yang Anda kirimkan.
Anda juga melihat dia merasa nyaman berhubungan denganmu, rela berbincang-bincang sampai berjam-jam, bahkan sempat berkata, tunggu dulu saya ambil power bank, saat kalian berbincang lewat telepon seluler.
Seorang sahabat juga mengambil inisiatif atau bahkan berkorban untuk mengerjakan sesuatu untuk sahabatnya. Saling jujur, menghormati, mengagumi, memaafkan, dan peduli tanpa kenal sikon.
Itulah batasan-batasan yang dibuat oleh Mobinah Ahmad, yang lalu membuat teorinya itu viral ke seluruh dunia. Namun, Mobinah punya catatan atas teorinya. Semacam “syarat dan ketentuan berlaku”.
Teori yang dibuatnya fleksibel. Level persahabatan bisa naik atau turun tergantung dari dinamika persahabatan itu sendiri. Seseorang bisa lebih dekat atau malah menjauh satu sama lain.
Mobinah juga mengakui bahwa teorinya ini sangat subyektif berdasarkan pengalamannya sendiri yang mungkin saja sangat sentimentil.
Kalau Anda punya teman seorang petinggi (publik maupun swasta), lalu dia memintamu melapor dulu ke satpam rumahnya untuk bertemu dengannya, dia bukan sahabatmu di level enam.
Jika dia sahabat level enammu, dia akan keluar ke pintu gerbang, menjemputmu hanya dengan memakai kaos oblong, bersendal jepit, lalu berujar, potong-potong sedikit kumismu, hampir mako saya tidak kenali. So, Anda bisa mengukur sendiri di level mana pertemanan Anda dengan seseorang.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial