ZONASULTRA.COM, KENDARI – Masih jelas di ingatan masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) peristiwa yang terjadi di Kota Kendari pada September 2017 lalu. Puluhan pelajar secara bersamaan masuk rumah sakit jiwa (RSJ) setelah mengonsumsi pil yang disebut PCC. Pil ini bahkan sampai merenggut nyawa pemakainya.
PCC mengandung Paracetamol, Caffeine, dan Carisoprodol sehingga dinamai PCC. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sendiri tidak menyebut pil PCC sebagai obat.
Kepala BPOM Kendari Adillah Pababari mengatakan, pil tersebut izin edarnya telah dicabut sejak 2013 silam, sehingga PCC tidak lagi dikategorikan sebagai obat.
Pil PCC ini sempat digunakan dalam dunia medis. PCC mengandung senyawa Carisoprodol yang masih termasuk di dalam golongan muscle relaxants atau relaksan otot. Namun, dalam penggunaannya banyak disalahgunakan oleh masyarakat, khususnya kalangan remaja.
Menurut Adillah Pababari, pil PCC mempunyai khasiat yang baik saat digunakan dengan dosis yang pas. Diantara manfaatnya antara lain, merilekkan otot, menghilangkan rasa nyeri, memperbaiki pola tidur, serta biasa juga digunakan untuk pengidap penyakit jantung.
Pil ini sebelumnya masuk dalam daftar obat G. Maksudnya, dalam penggunaannya harus menggunakan izin dari dokter. Karena itu, obat yang tergolong obat keras ini, tentunya mempunyai efek samping ketika dikonsumsi. Efek samping yang paling dominan ditimbulkan oleh pil ini adalah insomnia, cepat marah, cemas berlebih, serta kejang-kejang.
Namun faktanya, banyak masyarakat mengonsumsi pil PCC bukan pada peruntukkannya. Mereka sengaja menelan pil itu dengan dosis lebih, agar mendapat efek samping “hilang kesadaran”.
Entah apa yang ada di benak mereka. Pengakuan salah satu korban PCC, AF (16), merasa semua beban pikirannya hilang setelah mengonsumsi pil tersebut.
“Rasanya itu, kita kayak terbang. Kepala kaya dipijit, lama-lama kita tidak sadar,” ucap AF di bilangan Jalan Laute, beberapa waktu lalu.
Senada dengan pernyataan AF, salah satu mantan pengguna PCC, AA (23) mengungkapkan, setelah mengonsumsi PCC beban pikirannya akan hilang. Bukan hanya beban pikiran yang hilang kata dia. Namun pikirannya juga ikut hilang.
“Saya sudah berhenti. Saya sempat pakai itu beberapa bulan. Sebenarnya bukan beban pikiran kita yang hilang, tapi kita memang hilang kesadaran dan tidak tahu apa yang kita lakukan,” papar AA.
RAZIA – Sebanyak 120 personil Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) melakukan razia di apotek yang berada di dalam Kota Kendari, Kamis (26/10/2017). (Lukman Budianto/ZONASULTRA.COM)
Harga Naik Dua Kali Lipat
Generasi muda memang menjadi sasaran empuk bagi tangan-tangan nakal pengedar PCC. Generasi muda yang selalu tertarik mencoba hal baru, menjadi peluang para pengedar. Mereka tidak memikirkan efek dominan dan berkepanjangan. Mereka hanya memikirkan keuntungan yang mampu diraup dari PCC yang dijadikan komoditi.
Hingga saat ini, 21 orang yang diduga sebagai pengedar PCC telah diamankan Kepolisian Daerah Sultra. Latar belakang pekerjaan mereka berbeda-beda, mulai dari karyawan swasta, apoteker, petugas apotek, hingga yang bekerja serabutan.
Motivasi mereka menjadikan PCC sebagai komoditi tidak lain hanya untuk mendapatkan materi lebih. Tuntutan ekonomi, sulitnya lapangan kerja menjadi alasan kuat para tersangka nekat melakukan bisnis terlarang itu.
Setelah jatuh banyak korban, kepolisian meningkatkan atensi terhadap peredaran pil PCC. Terakhir, 23 Oktober 2017 lalu, 4 orang yang diduga sebagai pengedar PCC kembali diamankan. Diamankannya 4 orang ini, menjadi kabar baik. Namun, di balik itu, fakta lain kemudian muncul, yakni harga PCC meningkat dua kali lipat.
Jika dulunya sepuluh butir pil PCC dipasarkan dengan harga Rp10 ribu hingga Rp 25ribu, kali ini pengedar nakal membandrol pil terlarang tersebut dengan harga Rp50 ribu hingga R 200 ribu per sepuluh butir.
Hal ini terungkap setelah jajaran Direktorat Narkoba Polda Sultra menangkap kawanan pengedar pil PCC pada Senin, 23 Oktober 2017. Para tersangka mengaku menjual pil tersebut dengan harga Rp50 ribu tiap sepuluh butir yang telah dikemas dalam satu saset plastik.
“Kemarin kita telah mengamankan empat orang tersangka pengedar sediaan farmasi. Jadi harga tiap sasetnya dihargai dengan Rp50 ribu. Jadi ini naik ya, dulu kan biasanya dijual Rp10 ribu sampai Rp25 ribu,” ungkap Kasubdit III Dit Res Narkoba Polda Sultra, AKBP Laode Kadimu.
Hal yang sama juga sempat diungkapkan oleh Kapolsek Mandonga AKP Akhmat Basuki beberapa waktu lalu. Kata dia, pasca boomingnya pemberitaan PCC, peminat PCC di Kota Kendari tidak berkurang. Bahkan ia mengindikasikan ada peningkatan. Hal itu terbukti dengan harga PCC yang menurutnya naik sampai dengan Rp200 ribu per sasetnya (10 butir).
“Harga PCC ini semakim naik loh. Pengedar bahkan gila-gilaan naikin harga hingga Rp200 ribu per saset,” ungkap Akhmat Basuki sesaat sebelum menggelar razia di bilangan eks MTQ Kendari.
Tanggung Jawab Semua Kalangan
Boleh dikata, kepolisian telah berhasil meminimalisir peredaran PCC. Buktinya, peredaran PCC semakin hari semakin menurun. Bersamaan dengan itu, karena kurangnya pasokan PCC, maka tidak heran jika para pengedar yang tersisa meningkatkan harga jual.
Badan Narkotika Nasional juga telah melakukan langkah tepat dengan meningkatkan sosialisasi bahaya Napza ataupun pil PCC di sekolah-sekolah. Seperti yang disampaikan Kepala BNNK Kendari Murniati saat menggelar sosialisasi di SMA Kartika. Murniati mengatakan kegiatan tersebut dilakukan agar pelajar bisa mengenali obat-obatan yang dilarang untuk digunakan.
Namun tentunya, sosialisasi ini bukan hanya tugas dari pihak BNN, melainkan kewajiban bagi semua kalangan masyarakat. Kabid Humas Polda Sultra, AKBP Sunarto mengatakan, peran orang tua yang paling berpengaruh dalam menciptakan imun anak dari bahaya narkoba.
“Sebenarnya peran orang tua yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak kita. Dengan membimbing para anak anak dekat dengan Tuhan, saya yakin bisa membuat mereka (anak) berpikir untuk menghindari narkoba,” ucap Sunarto.
“Dengan demikian, anak anak kita juga bisa memilah teman dan lingkungan yang positif untuk mereka,” jelas Sunarto.
Dengan itu, perang terhadap PCC hingga saat ini harus terus dikobarkan. Bukan hanya tugas pemerintah setempat ataupun tugas institusi penegak hukum, melainkan tugas semua masyarakat, karena PCC hingga saat ini belum usai. (A)
Penulis : Lukman Budianto
Editor : Jumriati