ZONASULTRA.COM, KENDARI – Puncak Ahuawali semakin akrab di telinga masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra). Destinasi wisata yang terbilang baru ini, terletak di Desa Ahuawali, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe.
Puncak Ahuawali yang berada di atas ketinggian sekitar 750 meter dari permukaan laut (MDPL) itu, dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jaraknya sekira 65 kilometer dari ibu kota provinsi, Kendari, dengan waktu tempuh rata-rata dua jam.
Ada dua rute perjalanan yang dapat dipilih. Melalui jalur poros Kendari- Tirawuta, Kolaka Timur (Koltim) atau Kendari- Mowila Konawe Selatan (Konsel).
Saat memasuki kawasan Desa Ahuawali, mata akan langsung dimanjakan dengan keindahan pegunungan ilalang di sisi kanan, ditambah lagi kondisi alam sekitar masih sangat terawat.
Hamparan padang savana begitu luas dan jenis pepohonan berbaris rapi menjadi pemandangan daratan dari gunung ini. Keindahan warna hijau, emas kekuningan dan hembusan angin yang sejuk menyambut kala Anda mendaki di sore hari.
(Baca Juga : Pesona Puncak Ahuawali Konawe, Keindahan Negeri di Atas Awan)
Jika ingin mendapatkan momen senja yang indah, lebih baik Anda mendaki sore hari menjelang matahari terbenam agar tidak kepanasan. Untuk mendapatkan hasil jepretan terbaik menjelang matahari terbit, Anda akan merasakan sensasi berada di atas awan layaknya daerah lain di Tanah Air seperti Tanah Toraja, Sulawesi Selatan (Susel) dan Tangkeno di Kabaena, Bombana.
Dibalik semua keindahan itu, ternyata Puncak Ahuawali menyimpan cerita yang tentunya berkaitan erat dengan sejarah penamaan Puncak Ahuawali.
Jejak Para Wali
Puncak Ahuawali ini diambil dari nama Desa Ahuawali. Puncak Ahuawali memang dataran tertinggi di Desa Ahuawali. Oleh sebab itu, masyarakat setempat menamai tempat tersebut Puncak Ahuawali.
Ahuawali sendiri sebenarnya berasal dari dua suku kata, Ahua dan Wali. Ahua dalam bahasa Tolaki berarti sumur, yang digabung dengan kata Wali. Jadi arti dari nama Ahuawali ini adalah sumur wali.
Sumur wali yang menjadi titik awal penamaan Desa Ahuawali ini memang ada. Letaknya sekira 5 km dari Puncak Ahuawali, yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sumur tua itu sekira satu jam.
Masyarakat setempat percaya jika sumur tua itu merupakan tempat para wali yang menyebarkan agama Islam bersuci sebelum melaksanakan ibadah.
“Ahuawali ini kata orang sini sumurnya wali. Sumurnya masih ada sampai sekarang, jaraknya sekitar lima kilometer dari kaki Puncak Ahuawali,” kata Kepala Desa Ahuawali, Sugeng (39) di kediamannya ketika Zonasultra.com berkunjung, Sabtu (11/11/2017).
Sayangnya karena keterbatasan waktu, Zonasultra.com belum sempat berkunjung ke sumur yang dimaksud. Namun dari penuturan Sugeng, sumur tua itu tidak terawat dengan baik. Hanya saja sumur itu hingga sekarang masih ada. Airnya pun masih biasa digunakan oleh masyarakat setempat.
Lanjut Sugeng, dulunya sumur wali ini sempat digunakan sebagai sumber air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Konawe. Namun sekarang, tidak berfungsi lagi akibat kurang dirawat.
Dengan banyaknya wisatawan yang mulai berkunjung ke Desa Ahuawali, Sugeng selaku kepala desa berencana untuk membuka jalur agar wisatawan yang datang bisa dengan mudah menjangkau sumur tua itu.
Tempat Latihan Paralayang AURI
Selain menjadi tempat wisata, Puncak Ahuawali juga sering digunakan TNI Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) untuk melakukan latihan paralayang. Bahkan, jauh sebelum menjadi tempat wisata, tempat ini sudah dimanfaatkan oleh TNI AU.
Kata Sugeng, Puncak Ahuawali mulai dimanfaatkan oleh TNI AU sejak tahun 1997. Sejak saat itu, warga lokal mulai mendaki Puncak Ahuawali. Namun baru di tahun 2016 Puncak Ahuawali ini ramai dikunjungi warga di luar Desa Ahuawali.
Hingga saat ini TNI-AU masih menggunakan tempat itu sebagai arena latihan paralayang. Namun, semenjak banyak wisatawan yang berdatangan, aktivitas paralayang yang dilakukan TNI-AU intensitasnya mulai menurun.
“Baru-baru ini, orang pariwisata sempat datang meninjau lokasi di Puncak Ahuawali. Mereka tidak sampai ke puncak,” papar Sugeng.
Selain itu, Sugeng juga mendengar isu jika pihak pemerintah merencanakan pembangunan arena motor cross di kaki bukit Ahuawali. Jika dilihat sepintas, kaki bukit Ahuawali memang cocok untuk digunakan sebagai arena motorcross. Selain struktur tanahnya yang keras, jalan di kaki bukit juga tidak terjal.
“Kemarin sudah ada dari Ikatan Motor Indonesia (IMI) yang berkunjung ke sini,” jelas Sugeng.
Tips dan Saran Bagi Pendaki
Tidak bisa dipungkiri, eksotisme Puncak Ahuawali terletak pada pemandangan saat matahari terbit. Selain bisa menyaksikan sunrise (matahari terbit), pengunjung juga disuguhkan dengan gumpalan awan putih bagai salju yang nampak begitu dekat. Sensasinya pengunjung serasa berada di atas awan.
Namun awan putih ini tidak setiap pagi muncul. Kadang awannya muncul sangat dekat, kadang pula tidak muncul sama sekali. Kata masyarakat setempat, semua tergantung dari cuaca dan arah angin.
Masyarakat setempat mengatakan ada tanda-tanda yang bisa dilihat pada malam hari jika gumpalan awan itu akan datang menutupi Puncak Ahuawali.
Tanda itu bisa dilihat pada malam hari. Bintang tertutup awan, dan bulan nampak, kemungkinan besar gumpalan awan putih akan menutupi Puncak Wakila saat matahari terbit. Namun saat bintang nampak jelas, begitupun dengan bulan, maka kemungkinan gumpalan awan putih itu tidak akan muncul.
Puncak Ahuawali sempat ditutup beberapa hari karena terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh pengunjung yang tidak mematikan api saat meninggalkan Puncak Ahuawali.
“Kemarin itu sempat terjadi kebakaran, jadi ditutup sementara. Untung masyarakat sini bergotong royong memadamkan api hingga tidak meluas,” ucap Sugeng.
Dengan adanya insiden semacam itu, sugeng beserta warga Desa Ahuawali berharap agar pengunjung bisa lebih berhati-hati saat membakar sesuatu di atas bukit, terutama memastikan puntung rokok sudah dalam keadaan mati sebelum membuangnya.
Untuk menjaga kelestarian alam Puncak Ahuawali, sebelum melakukan pendakian, pendaki atau pengunjung diwajibkan untuk melapor terlebih dahulu di rumah kepala desa. Kebetulan rumah kepala desa ini letaknya tidak jauh dari kaki bukit Puncak Ahuawali.
Sebelum mendaki, pengunjung terlebih dahulu diberikan himbauan-himbauan oleh kepala desa. Selain itu, pendaki juga diberi kantong kresek sebagai tempat sampah agar pengunjung tidak membuang sampahnya di atas puncak. (A*)
PENULIS: LUKMAN BUDIANTO
EDITOR: JUMRIATI