Menziarahi Pancasila di Kearifan Leluhur

Andi Syahrir
Andi Syahrir

Di tengah gegap gempitanya kita semua menggelorakan Pancasila, rasanya perlu sejenak berkontemplasi. Tentang Pancasila mana yang sebenarnya diteriakkan. Pada perjalanan kehidupan kebangsaan kita di kekinian, begitu banyak penyimpangan –jika tidak dikatakan kemunafikan– ber-Pancasila. Mengklaim diri Pancasilais, namun tindakan dan kelakuannya jauh dari filosofi bangsa itu.

Pada suatu musyawarah di paguyuban kekeluargaan, saya mendapatkan ruang untuk kembali menziarahi makna-makna Pancasila. Momentum ini lalu menuntun saya menapaktilasi kehebatan visi para pendiri bangsa yang meramu setiap kearifan lokal kita ke dalam satu simpul, Bhinneka Tunggal Ika, sebuah frasa dari bahasa Jawa kuno.

Dari Wikipedia, frasa ini merupakan kutipan dari Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kutipan yang mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha kala itu.

Secara lengkap, Bhinneka Tunggal Ika dikutip dari pupuh 139, bait 5, yang secara lengkap berbunyi: “Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.”

Terjemahannya mengacu pada adaptasi kecil edisi teks kritis Doktor Soewito Santoso (1975), “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”

Kalimat indah yang begitu dalam hasil dari perenungan leluhur –yang kebetulan orang Jawa. Di belahan bumi nusantara ini, kita akan selalu mendapati kearifan serupa pada komunitas etnis lain, yang jumlahnya ribuan, membentang dari ujung Banda Aceh sampai tanah Papua, kata penyanyi legendaris Opa Zeth Lekatompessy.

Dalam konteks ini saya berada di komunitas Selayar. Sebuah frase indah yang kutemui, kembali memberikan keinsyafan tentang Bhinneka Tunggal Ika: “a’munte sibatu a’bulo sipappa”. Secara harfiah, dapat diterjemahkan sebagai: “ber-sebiji jeruk, ber-sebatang bambu”.

Mengapa filosofinya berangkat dari sebiji jeruk dan sebatang bambu? Ada dua tinjauan. Pertama dari sisi sosiokultural masyarakat Selayar. Kedua, karakteristik fisiologis kedua tumbuhan itu.

Meski tempat mukimnya adalah pulau-pulau dengan karakteristik maritimnya, orang Selayar adalah juga masyarakat agraris. Komoditas ekonomi yang menjadi ciri khas mereka adalah jeruk dan bambu. Kita mengenal Jeruk Selayar yang aroma dan rasanya begitu khas, berbeda dengan varietas jeruk Siam lainnya. Berada di manapun sebutir Jeruk Selayar, orang Selayar akan dapat mengenalinya dari baunya.

Demikian juga dengan bambu. Tumbuhan ini dulunya salah satu nadi perekonomian. Atap-atap rumah penduduk adalah bambu. Peralatan rumahtangga penduduk adalah bambu. Kerajinan tangan masyarakat berasal dari bambu. Bahkan sayur khas masyarakat adalah tunas bambu (rebung). Bambu menjadi sentrum aktifitas ekonomi dan kebudayaan masyarakat Selayar.

Singkatnya, jeruk dan bambu adalah tumbuhan yang berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi budaya masyarakat Selayar.

Kedua, secara fisiologis, daging buah jeruk bersekat-sekat. Setiap sekat memiliki lapisannya sendiri dengan buklir-bulir di dalamnya. Ada lapisan yang besar, ada juga lapisan kecil, bahkan tak jarang kita menemukan lapisan mungil menyempil di sela-sela lapisan yang besar. Setiap lapisan ada yang memiliki biji, juga ada yang tidak punya biji. Ada yang bijinya satu di setiap lapisan, ada juga yang lebih dari satu.

Apa makna yang ditarik dari fisiologis jeruk adalah bahwa setiap orang berbeda dengan orang lain. Tidak ada yang sama, baik karakter maupun wujud fisiknya. Tapi mereka tetap manusia yang diikat oleh ciri kemanusiaan yang sama: rasa sedih, gembira, marah, kecewa.

Dalam skala komunitas, setiap anggota memiliki tujuan berkehidupan yang berbeda. Proses menjalani hidup yang berbeda. Tapi mereka tetap diikat oleh norma dan nilai-nilai sosial yang ada dalam komunitasnya.

Seperti jeruk. Setiap lapis adalah satu kehidupan sendiri. Tapi lapisan yang berhimpit-himpit itu berada dalam satu himpunan, satu bungkus kulit besar yang bernama buah jeruk. Seperti halnya bambu. Setiap ruasnya adalah kehidupan yang berbeda. Tapi ruas itu saling bersambungan dan menjulang tinggi.

Orang Selayar mengambil pemaknaan itu. Mereka boleh berbeda satu sama lain. Kehidupannya, karakternya, keyakinannya. Tapi mereka adalah satu himpunan kerabat yang diikat oleh ke-Selayar-an. Mereka menyadari satu hal. Jika hendak mewujud menjadi sebutir jeruk dan sebatang bambu yang utuh, haruslah “sipakalabbiri”: saling menghargai, saling menghormamti, saling meninggikan derajat.

Saya tidak tahu sejak kapan frase “a’munte sibatu a’bulo sipappa” lahir. Namun, saya berkeyakinan bahwa ini adalah pesan-pesan leluhur yang mungkin saja sezaman dengan Mpu Tantular. Bedanya, kita menemukan jejak tertulis berupa sebuah kitab di tanah Jawa. Di Selayar, kita hanya menemukan pitutur lisan.

Andai Bung Karno dan Muhammad Yamin adalah orang Selayar, hidup di Selayar, dan memusatkan gerak langkah perjuangannya di Pulau Selayar, tidak mustahil pada kaki lambang negara Garuda itu akan bertuliskan “A’munte Sibatu A’bulo Sipappa”. Sebuah frase yang sama maknanya dengan Bhinneka Tunggal Ika.***

 

Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhati Sosial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini