ZONASULTRA.COM, WANGGUDU– Legenda dan kebudayaan selalu memiliki konektivitas. Seperti debat tentang lebih dahulu mana telur atau ayam, legenda dan kebudayaan juga kerap dianalogikan demikian.
Legenda membuat jejak masa lalu tetap terawat dalam kenangan kolektif orang-orang di masa kini, lalu mengkonstruksinya dalam bentuk produk budaya kekinian. Salah satunya adalah pakaian. Warna, model, dan bahannya merupakan identitas kebudayaan dalam perjalanan panjang peradaban manusia.
Bagi etnis Tolaki di Sulawesi Tenggara (Sultra), pakaian dan segala pernak-perniknya juga memiliki hubungan yang erat dengan legenda yang hadir di tengah-tengah masyarakat. Dilestarikan dari masa ke masa, dari generasi ke generasi.
Corak kain tenunan khas Tolaki konon berasal dari sehelai selendang bidadari yang sedang iseng turun dari kayangan. Kisah bidadari yang kemudian dikenal dengan nama bercitarasa etnis Tolaki, Anawai Ngguluri, bertaut dengan legenda sebuah gunung yang terkenal di kawasan Kabupaten Konawe Utara (Konut). Gunung Oheo namanya. Gunung ini bahkan diabadikan menjadi logo kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Konawe ini.
Sebuah kecamatan di Konut juga bernama Kecamatan Oheo, dimana kawasan gunung ini berada dalam wilayah administratifnya. Oheo pun banyak diadopsi sebagai nama kaum pria etnis Tolaki.
Salah satu versi cerita yang diperoleh zonasultra.id tentang legenda Oheo dan Anawai Ngguluri, dituturkan oleh seorang tokoh masyarakat Konut, yang kini menjabat sebagai Camat Oheo, Samiudin.
Sesungguhnya, legenda ini juga dapat ditemukan dalam sebuah buku berjudul “Sejarah Tolaki di Konawe”. Salah seorang penulisnya adalah Daniel J. Dunggulawa, tokoh adat Tolaki yang juga merupakan tokoh pemekaran Kabupaten Konut.
***
Anawai Ngguluri hari itu sedang bernasib sial. Bersama dengan enam saudaranya yang lain, bidadari itu turun ke bumi dan mandi di sebuah sungai. Pakaian mereka bergeletakan di pinggir sungai. Pemiliknya tak hirau lagi dengan keadaan sekitar.
Begitu selesai dan hendak terbang kembali ke kayangan, Anawai Ngguluri cemas bukan kepalang. Selendang ungunya raib entah kemana. Selendang Soropinda kesayangannya. Alhasil, dia tidak akan dapat kembali ke langit.
Akhirnya, dia bertemu dengan seorang pemuda bumi bernama Oheo. Pria ini sebenarnya orang yang menjadi penyebab Anawai Ngguluri tak bisa kembali ke negerinya. Dialah yang mengambil selendang indah sang bidadari dan menyembunyikannya di rumahnya.
Karena tak tahu mau kemana lagi, Anawai Ngguluri lalu memohon kepada Oheo agar dia diizinkan tinggal di rumah lelaki itu. Setidaknya, untuk sementara, hingga selendangnya ditemukan.
Oheo setuju tapi dia mengajukan permintaan. Anawai Ngguluri boleh tinggal tapi harus menjadi istrinya. Bidadari ini mengiyakan, tapi juga mengajukan syarat. Kelak jika mereka punya anak, Oheo-lah yang berkewajiban memandikan dan membersihkan kotoran sang anak.
Dalam budaya etnis Tolaki dan secara umum Indonesia, mengurus anak termasuk memberinya makan, memandikan, dan membersihkan kotoran adalah tugas seorang istri. Anawai Ngguluri sama sekali tidak mau melakukan tugas itu. Oheo menyanggupinya.
Menikah dan punya anak sesunguhnya tidak ada dalam benak pemuda Oheo saat pertama kali menemukan calon istrinya. Dia justru sedang kesal karena tanaman tebu yang merupakan penopang penghidupannya, habis terobrak-abrik entah oleh apa. Ampas tebu bertebaran di mana-mana. Dan ini yang kedua kalinya.
Semalaman dia memikirkan cara untuk mengetahui siapa yang telah merusak tanamannya. Pagi harinya, dia kembali ke kebunnya dan menyusuri sebuah pinggir sungai, tempat ampas-ampas tebunya ditemukan.
Alangkah terkejutnya dia ketika matanya tertumbuk pada sosok-sosok rupawan yang sedang bercengkrama di dalam sungai. Tujuh orang. Tawa cekikikan mereka memecah kesunyian tempat itu. Timbul isengnya. Dia lupakan kekesalan hatinya soal tebu-tebu miliknya.
Diraihnya sebuah ranting kayu. Dengan mengendap-endap, dikaitnya sebuah kain yang teronggok di pinggir sungai. Sebuah selendang. Berwarna ungu. Pelan-pelan dia beranjak dari tempat itu sambil membawa selendang indah milik salah seorang bidadari ke rumahnya.
Selendang itu disembunyikannya pada salah satu ujung kaso rumahnya yang terbuat dari bambu. Tepatnya, di dekat sebuah jendela. Oheo lalu kembali ke sungai itu dan hendak menyaksikan apa yang terjadi setelah selendang itu diambilnya.
Dia menyaksikan enam bidadari terbang ke langit dengan selendangnya masing-masing. Seorang lagi tertinggal. Oheo yakin, inilah sang pemilik selendang. Di tengah kebingungan sang bidadari, Oheo pun memunculkan dirinya.
Singkat cerita, mereka menikah dan dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, anak mereka buang air. Oheo sibuk membersihkan pekarangan rumah. Anawai Ngguluri meminta agar dia membersihkan anaknya yang habis buang air. Oheo mengabaikan permintaan istrinya yang membuat sang istri bersedih.
Di tengah kesedihannya, dia memandangi langit dari sela-sela jendela. Dia merindukan kayangan. Kampung halamannya. Tanah kelahirannya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda yang sangat dikenalnya. Yah, sebuah selendang. Berwarna ungu. Selendang Soropinda, jerit batinnya girang. Miliknya.
Tanpa pikir panjang diambilnya selendang itu. Dan harapannya untuk kembali ke kayangan kembali mekar. Selendang Soropinda telah di tangannya. Dia kuasa untuk terbang ke langit lagi. Sebelum meninggalkan bumi, dia berpesan ke suaminya agar menjaga anaknya baik-baik.
Beberapa waktu setelah ditinggalkan, Oheo dan anaknya merasakan rindu yang tak tertahankan. Dengan sebuah rotan sakti (Uewai), mereka berdua terbang ke kayangan menemui sang istri.
Setiba di kayangan, ternyata tidak mudah untuk menemui Anawai Ngguluri. Oheo dan anaknya harus melalui tiga ujian. Ujian pertama, dia harus menghancurkan sebuah batu besar seukuran istana. Dengan kesaktiannya, Oheo lalu memerintahkan tikus untuk menggerogoti batu itu hingga hancur.
Tantangan kedua menanti. Oheo harus mampu memunguti butir-butir padi yang dihamburkan di padang rumput. Tidak boleh sebutir pun tersisa. Kini, Oheo mengerahkan kesaktiannya dengan memerintahkan burung untuk memunguti butir-butir padi itu.
Sukses dengan ujian kedua, Oheo semakin dekat dengan sang istri meski tingkat kesulitannya jauh lebih berat. Dia diminta untuk menemukan Anawai Ngguluri dalam sebuah kamar dengan tempat tidur yang persis sama dengan saudaranya yang lain. Dan itu dilakukan di malam yang gelap gulita.
Oheo tidak kehabisan akal. Diperintahkannya kunang-kunang untuk memberikan penerangan pada para bidadari yang ada dalam ruangan itu. Cahaya kunang-kunang membuat Oheo mudah mengenali istrinya.
Orangtua Anawai Ngguluri pun meluluskan permintaan Oheo. Keduanya dipertemukan. Mereka lalu diturunkan kembali ke bumi dengan mengendarai sebuah kereta kencana. Konon, kereta kencana ini berubah bentuk menjadi gunung batu yang oleh masyarakat setempat disebut dengan Osu Nggolidi (gunung berbentuk keranjang), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Gunung Oheo.
***
Tidak ada penjelasan yang lebih detail soal penamaan Gunung Oheo. Dugaan yang sedikit rasional bahwa kemungkinan kawasan itulah dulunya menjadi tempat tinggal Oheo. Tetapi cerita rakyat tetaplah cerita yang tidak perlu diklarifikasi dan dibuktikan kebenarannya.
Kisah Oheo dan Anawai Ngguluri memiliki kemiripan dengan legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan, sebuah cerita rakyat yang diabadikan dalam naskah populer Sastra Jawa Baru, Babad Tanah Jawi.
Barangkali kisah tentang manusia bertemu bidadari adalah proses imajinasi sastrawan masa lampau, dan merupakan genre cerita yang disukai kala itu. Di kekinian, sama halnya dengan tayangan televisi, ketika terdapat acara yang sedang booming, maka beramai-ramailah stasiun televisi memproduksinya.
Dalam kisah ini, kita juga menemukan tentang rotan dan padi. Dua komoditas yang dihasilkan alam dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Tolaki. Rotan banyak tumbuh di Gunung Oheo. Padi dibudidayakan di datarannya. Yah, demikianlah. Legenda dan kebudayaan selalu bertaut.
Bagi Anda yang hendak menghilangkan kejenuhan, bolehlah sekali-sekali menikmati keindahan Gunung Oheo. Sekitar 30 menit berkendara dari ibukota kabupaten di Wanggudu, Anda sudah bisa menyaksikan gunung itu menjulang dan seolah memagari kawasan Kecamatan Oheo.
Meski belum ada catatan resmi tentang ketinggiannya, tapi diyakini merupakan gunung tertinggi di Sulawesi Tenggara. Sejauh ini, puncaknya belum terjamah oleh manusia. Berani terima tantangan mendakinya?
Penulis : Murtaidin