Kementerian Pertanian sedang menggelorakan Gerakan Regenerasi Muda Petani. Setidaknya ada enam strategi yang ditempuh untuk mewujudkannya. Pertama, melakukan transformasi Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian.
Dulunya, sekolah tinggi ini hanya diperuntukkan untuk mencetak aparatur penyuluh pertanian. Transformasi STPP bermaksud menumbuhkan wirausaha-wirausaha muda di bidang pertanian yang dicetak melalui perguruan tinggi.
Kedua, program penumbuhan wirausahawan muda pertanian, baik oleh transformasi STPP maupun kegiatan-kegiatan fasilitasi lainnya. Ketiga penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) bagi pemuda. Diwujudkan dengan memfasilitasi terbentuknya korporasi petani di tingkat kelompok tani yang dimotori oleh para pemuda.
Keempat, pelatihan dan magang bagi pemuda tani. Program ini sebenarnya sudah berlangsung lama, seperti magang ke Jepang yang telah dilaksanakan sejak beberapa tahun lalu. Kelima, penumbuhkembangan kelompok pemuda tani oleh penyuluh. Saat ini, pemerintah mendorong terbentuknya organisasi pemuda tani bernama Gempita (Gerakan Pemuda Tani Indonesia).
Keenam, pelibatan mahasiswa atau alumni perguruan tinggi dalam pendampingan atau pengawasan program pertanian. Bagian ini yang akan kita ulas sedikit panjang.
Sejak tahun 2016, kementerian pertanian telah melibatkan mahasiswa dan alumni pertanian untuk turut dalam program upaya khusus peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai atau yang lebih dikenal dengan Upsus Pajale.
Mahasiswa dan alumni ini diberi honor yang cukup memadai untuk menjalankan tugasnya di lapangan. Bagi mahasiswa, yang terlibat adalah mereka yang telah duduk di semester-semester akhir. Adapun alumni, dimaksudkan bagi mereka yang baru saja lulus.
Maksud dari pelibatan mereka adalah agar mereka mengenali dunia pertanian, dekat dengan petani, lalu mencintai pertanian, dan pada gilirannya menceburkan diri di dalamnya. Mereka diharapkan dapat menjadi generasi baru pertanian yang lebih terdidik menggantikan generasi petani tak terdidik yang jumlahnya kian susut dan berusia tua.
Perlu digarisbawahi bahwa ini adalah murni program kementerian pertanian, yang tentu saja pada suatu ketika akan terhenti berdasarkan siklus kepemimpinan di level kementerian. Padahal, program seperti ini idealnya harus berkesinambungan.
Mendorong generasi terdidik untuk menggeluti dunia pertanian yang dipersepsi rendahan, tidak bergengsi, miskin, haruslah dilakukan secara kontinyu dan dalam jangka panjang. Karenanya, tidak bisa hanya menyandarkan pada kekuatan institusi kementerian semata.
Dengan demikian, program ini perlu diperluas dengan mendorong pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk terlibat dengan menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi yang ada di daerah masing-masing.
Ambil contoh di Sulawesi Tenggara. Terdapat dua perguruan tinggi negeri di daerah ini, yakni Universitas Halu Oleo (Kendari) dan Universitas 19 November (Kolaka). Kita juga dapat melihat universitas swasta yang cukup besar seperti Universitas Muhammadiyah Kendari dan Buton, Universitas Sulawesi Tenggara (Kendari), Universitas Lakidende (Konawe), Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Baubau), dan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper Muna).
Bagaimana operasional kerjasamanya? Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa dapat dimanfaatkan untuk tujuan ini. Sebagai contoh di UHO. Selama ini, segala pembiayaan mahasiswa KKN ditanggung oleh universitas, termasuk konsumsi harian mahasiswa selama bertugas di sana yang jumlahnya –kalau tidak salah– Rp 10 ribu per hari per mahasiswa selama 30 hari (sebelumnya 45 hari).
Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa kegiatan KKN kerapkali tidak mencapai tujuan dan target-target ideal yang diinginkan. Pemerintah daerah bisa melibatkan diri dalam kegiatan KKN ini dengan membantu perguruan tinggi membiayainya.
Misalnya, pemerintah kabupaten/kota tempat tujuan KKN dilaksanakan dapat membantu tambahan biaya konsumsi mahasiswa yang dialokasikan bagi keluarga petani tempat mereka menginap atau mendampingi usahataninya selama masa KKN berlangsung.
Pemerintah provinsi juga mengambil peran, misalnya dengan membantu biaya transportasi untuk keperluan mobilitas para mahasiswa melakukan pendampingan di kelompok tani. Tentunya, besaran dan jumlah yang dialokasikan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing daerah.
Program ini diwujudkan dalam sebuah kerjasama formal yang mengikat semua pihak yang terlibat di dalamnya, baik perguruan tinggi maupun pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Desain KKN dalam bentuk pendampingan petani dibuat sedemikian rupa sehingga terjadi interaksi intens antara mahasiswa dengan petani dan keluarganya serta permasalahan-permasalahan usahatani yang mereka hadapi. Di sini mahasiswa belajar dari petani sekaligus menerapkan ilmu mereka di bangku kuliah.
Jika konsep KKN seperti ini dapat diwujudkan, ada optimisme bahwa program regenerasi petani muda dapat berkesinambungan, tidak hanya sekadar euforia sesaat. Di sisi lain, kegiatan KKN juga lebih bergairah, bukan kegiatan yang hanya menyisakan cerita-cerita romantisme para mahasiswa yang jatuh cinta dengan rekan KKN atau anak gadis kepala desa –meski itu juga perlu.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis merupakan alumni UHO & pemerhati sosial