Di tahun 2014 silam, pada sebuah kelas pelatihan pemberdayaan yang diasuh oleh Ashar Karateng, seorang aktivis pemberdayaan masyarakat senior, mengawali materinya dengan menayangkan gambar fasilitas-fasilitas publik yang dibangun pemerintah namun terbengkalai dan tidak dimanfaatkan.
Di Sulawesi Selatan, kata Direktur Commit Foundation itu, ada sebuah tempat pelelangan ikan (TPI) yang dibangun gedung yang bagus dan representatif. Pedagang dan nelayan sempat berjual beli di sana selama tiga bulan. Lalu kemudian, mereka kembali beraktifitas di TPI yang lama di tepi pantai tanpa fasilitas yang memadai.
Di Sulawesi Tenggara, tahun 2008 lalu, dibangun sebuah bak penampungan air untuk masyarakat. Mesin pompa air juga disiapkan. Namun, pada akhirnya, bak itu tidak pernah difungsikan karena pipanya tidak ada.
Di Sulawesi Tengah, tahun 2009, dilaksanakan musrenbang yang salah satu usulannya adalah memperbaiki jaringan irigasi di bagian hulu akibat rusak diterjang banjir tahun 2007 sehingga air tidak mengalir ke lahan masyarakat di suatu desa. Pemerintah kemudian membangun jaringan irigasi. Di bagian hilir.
Masih di provinsi yang sama, sebuah jembatan dibangun melalui program pemberdayaan masyarakat. Jembatan itu kelar. Ketika hujan deras, air sungai yang agak meninggi justru menenggelamkan jembatan itu.
Kesimpulan dari tayangan Ashar Karateng tadi adalah banyak output pembangunan tidak ber-outcomes, ber-benefit, dan ber-impact, baik yang dikelola pemerintah maupun non-pemerintah. Realitas ini menimbulkan pertanyaan susulan, mengapa banyak kegiatan pembangunan yang tidak efektif mendorong perubahan? Apa kelemahan kita dalam penyelenggaraan pembangunan selama ini?
***
Pada sebuah fokus grup diskusi di pagi yang dingin gara-gara AC yang suhunya terlalu rendah, menjadi sedikit hangat oleh komentar dan pandangan-pandangan dari sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sulawesi Tenggara (Sultra).
FGD itu dihadiri pula oleh perwakilan dari sejumlah organisasi perangkat daerah (OPD). Tema diskusi tentang kemudahan berinvestasi di Sultra dengan mengambil parameter Kota Baubau dan Kota Kendari, masing-masing untuk komoditas rumput laut dan daging sapi.
Diskusi yang seharusnya terfokus itu justru melebar ke mana-mana. Tapi justru karena melebar, diskusi menjadi lebih berbobot. Ada pencerahan di sana, yang lalu menjadi jawaban atas pertanyaan mendasar yang disampaikan Ashar Karateng di atas.
Para pengusaha dari Kadin ini mengangkat cerita yang sama. Sebuah fasilitas cold storage dibangun di salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara. Setelah pembangunannya selesai, bangunan itu tidak pernah digunakan sama sekali lalu berubah menjadi gedung tua yang terlantar dan tidak memberikan manfaat apa-apa ke masyarakat.
“Ada mindset yang harus diubah oleh pemerintah kita. Selama ini, tolok ukur keberhasilan pembangunan kita adalah realisasi fisik dan keuangan telah tercapai 100 persen. Mengenai apakah itu bernilai ekonomi atau tidak, bermanfaat atau tidak, itu urusan belakangan,” kata salah seorang anggota Kadin.
APBD seharusnya, kata dia, harus berorientasi investasi dan berperspektif ekonomi. Merujuk pada kasus cold storage itu, kenapa pemerintah tidak menggandeng Kadin. Pemerintah tentu saja tidak memiliki kemampuan untuk mengoperasikan dan mengelola sebuah cold storage. Itu bagian pengusaha. Serahkan pada pengusaha dan kita berbagi hasil.
Pada spektrum yang lebih luas, pemerintah daerah juga terlihat keliru mendorong investasi, terutama memfasilitasi masuknya investasi asing. Kesannya seperti businesss to government. Para pengusaha dari berbagai negara berurusan dengan pemerintah. Akibatnya, pemerintah sering tertipu. Pemerintah mengira mereka investor beneran, ternyata bukan.
Kadin punya database tentang mana pengusaha beneran, mana yang hanya mau menipu. Pemerintah cukup berbicara degan sesama pemerintah, dan biarkan para pengusaha saling berbicara dengan sesama pengusaha.
Ironisnya, ketika para kepala daerah ke luar negeri dengan tujuan menjajaki peluang investasi, yang dibawa adalah jajaran pejabatnya. Sama sekali tidak ada pengusaha yang dibawa. Ini yang disebut dengan penggunaan APBD yang tidak bersperspektif ekonomi.
Setelah kembali, para pejabat itu tidak akan bisa berbuat banyak. Tapi coba jika yang dibawa adalah pengusaha. Pembicaraan akan langsung mengarah pada kesepakatan bisnis.
Salah seorang pengusaha kembali menambahkan. Selama ini orientasi produk kita hanya diantarpulaukan ke kota-kota dagang yang besar seperti Surabaya dan Makassar. Padahal sesungguhnya, pengusaha kita bisa langsung mengekspor barangnya ke luar negeri.
“Tidak perlu lagi kita berpikir bagaimana agar produk kita dapat diserap oleh KIMA (Kawasan Industri Makassar). Tapi bagaimana agar bisa diserap oleh pasar luar negeri,” tegas pengusaha ini.
Apa artinya? Pemerintah harus mengubah mindset perdagangannya dari antarpulau menjadi ekspor langsung. Ajak Kadin bekerjasama. Jangan berjalan sendiri-sendiri. Negara ini dibangun oleh tiga pilar, pemerintah, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Pertanyaan berikutnya, sejauh mana pemerintah mengikutsertakan perguruan tinggi dan dunia usaha dalam pembangunan?
Tanggapan demi tanggapan dari para pengusaha dari Kadin ini terus mengalir dan akhirnya bermuara pada satu pertanyaan filosofis? Apakah upaya pemerintah untuk memudahkan investasi maka serta merta investasi akan tumbuh? Ini membutuhkan diskusi yang lebih intens.
Para pengusaha Kadin memiliki argumentasi-argumentasi rasional atas hal ini. Maksudnya, kita perlu mendengarkan suara dari Kadin Sultra. Dapat disimak oleh para calon kepala daerah yang kelak mengambil alih tongkat estafet pembangunan.***
Oleh : Andi Syahrir
Penulis Merupakan Alumni UHO & Pemerhari Sosial