Melihat Pariwisata Sultra dari prespektif subyektif saya sebagai salah satu pemerhati pariwisata di Sulawesi Tenggara, sesungghunya Daerah ini kaya akan potensi.
Namun pertanyaan dalam diri saya muncul, mengapa dari tahun ke tahun justru secara global potensi ini seakan “diam” tanpa suara yang membuat angka kunjungan itu susah untuk melejit secara signifikan.
Diberi kesempatan menjadi Trainer Pengambangan Sadar Wisata, Desa Wisata dan sapta pesona beberapa tahun terakhir oleh Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara hingga saat ini, kemudian berkesempatan membuat sejumlah dokumen visual kepariwisataan sultra , adalah salah satu momen dimana saya membuka mata dan pikiran melihat sejumlah destinasi dan bertemu langsung sejumlah pihak yang membuat regulasi, mengelola hingga tinggal di sejumlah destinasi yang ada di sultra.
Beberapa point penting kemudian saya simpulkan dari prespektif saya sebagai pemerhati bukan sebagai akademisi, ataupun praktisi bahkan pembuat regulasi apalagi.
Beberapa daerah disultra memiliki potensi yang luar biasa dengan karakter destinasi yang beragam, namun dalam proses perjalannya entah seperti apa menentukan skala prioritas regulasi, pembangunan hingga peningkatan kapasitas SDM khususnya di destinasi yang bersangkutan.
Ada daerah ditingkat kabupaten ataupun kota punya potensi wisata yang bagus namun konsep pengembangan yang kurang terlihat, adapula daerah yang sesungguhnya destinasinya biasa saja namun terlalu semangat dalam menonojolkan destinasinya tanpa melihat skala atau klaster destinasi yang dimiliki, alhasil biaya promosi dan publikasi seakan sia-sia.
Sebenarnya kita tidak perlu terlalu sibuk mempertanyakan bagaimana, apa dan siapa untuk menilai sebuah pengembangan destinasi. Bagi saya kepariwisataan suatu wilayah cukup melihat dari Hulu terlebih dahulu. Seberapa besar persentase kebijakan pemerintah setempat terkait kepariwisataan daerahnya baik dari regulasi maupun kebijakan anggaran yang berkelanjutan, yan tentunya sudah menyangkut standar pengembangan mulai dari masterplan, RPJMD dan lainnya.
Selanjutnya pengkajian lebih dalam seperti apa potensi yang dimiliki, lalu sedikit membuka cerminan dengan potensi daerah lain yang mungkin sudah lebih dulu mengemuka dan destinasinya laku di pasar wisatawan.
Identifikasi destiniasi mulai dari spot hingga kekurangan yang dialami baik infrastruktur sampai sdm.
Mengupayakan keterlibatan masyarakat sekitar destinasi dan tenaga SDM Pariwisata yang terlatih bahkan tersertifikasi dan paham akan destinasinya.
Sebaiknya jangan mengambil langkah gegabah untuk terburu-buru mempromosikan sebuah destinasi tanpa memperhatikan dampak yang bisa dialami wisatawan nantinya.
Bagi saya sebagai pemerhati, dalam mengemas sebuah destinasi menjadi potensi wisata cukup sederhana. Terlebih dahulu kita memposisikan diri sebagai wisatawan dan menikmati destinasi tersebut, jika kita tidak nyaman untuk tinggal jangankan sehari, beberapa jam saja sudah bosan maka jangan berani membuat paket wisata one spot – one day trip.
Pariwisata menurut hemat saya memiliki klaster masing-masing dan ini menjadi pertimbangan dalam market pariwisata itu sendiri. Destinasi dengan market lokal daerah destinasi, market nasional dan market internasional.
Wisatawan akan mengeluarkan duitnya untuk mendatangi suatu daerah dan menikmati destinasi wisata daerah lain, karena salah satu faktor, yaitu di daerah mereka tidak ada destinasi yang sama karakternya atau memang ada tapi kelasnya lebih baik untuk destinasi yang dia datangi.
Begitu pula dengan event kepariwisataan, menurut hemat saya ada baiknya sebuah daerah focus pada 1 event besar yang didalamnya bisa mengkoneksikan destinasi disekitarnya sebagai rangkaian paket wisata, dibanding membuat event banyak dengan konsep yang sama namun hanya focus di satu titik destinasi masing-masing event yang seharipun orang bisa bosan dengan event yang disaksikannya.
Membangun pariwisata bukan hanya sekedar infrastruktur, pemberdayaan, dan penganggaran, namun dibutuhkan pula estetika serta “magnet” yang mampu membuat wisatawan betah berlama-lama disebuah destinasi.
Konsep Kepariwisataan bukan hanya gencar membangun sana sini namun penataan, pemeliharaan dan menjaga lingkungan destinasi sifatnya pasang surut.
Membangun pariwisata bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban tugas masing-masing pihak baik pemerintah, lembaga terkait, maupun masyarakat pariwisata itu sendiri. Namun berpikirlah bahwa ini salah satu kekayaan yang harus menjadi warisan turun temurun hingga anak cucu kita bisa menikmatinya nanti.
Menjadi Host sebuah destinasi wisata, layaknya menjadi pedagang di pasar. Akan laku jika barang dagangannya bagus. Jangan membangun destinasi pariwisata hanya mengejar popularitas dan viralitas sesaat, namun angka kunjungan tidak berdampak positif secara signifikan atau bisa signifikan namun hanya sesaat, hal itu bisa berdampak negatif terhadap investasi yang telah dikeluarkan.
Jangan gegabah mempromosikan sebuah destinasi secara agresif, jika ujung-ujungnya membuat wisatawan kecewa dan berdampak “boomerang” negatif bagi Host/tuan rumah Di Destinasi wisata itu sendiri.
Dan yang perlu diperhatikan khususnya pengelola dan pemerintahan di lokasi destinasi wisata, adalah pengdokumentasian secara baik terhadap angka kunjungan wisatanya secara objektif bukan karangan sehingga dapat terukur seperti apa kualitas dan efek positif destinasi yang dimaksud di mata pasar wisatawan. Sehingga membahas kepariwisataan tidak lagi focus pada teori, konsep dan regulasi semata, namun harus melihat kondisi real dilapangan dalam hal ini destinasi wisata yang dimaksud.
Membangun kepariwisataan baiknya tetap berpegang pada pengelolaan dan manajemen 7 unsur utama sapta pesona : Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramah Tamahan dan Kenangan. (*)
Oleh : Ahmad NIzar, S.Kom (Ino)
Penulis adalah jurnalis televisi dan juga pemerhati pariwisata Sultra