ZONASULTRA.COM, WANGGUDU – Warga Desa Besu, Wonua Morini, dan Mendikonu Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra) terpaksa memboikot jalan trans Sulawesi menuju Kabupaten Konawe Utara. Pasalnya, sudah tiga tahun masyarakat setempat menghirup nikmatnya debu dan kebisingan yang disebabkan aktivitas mobil pemuat batu dari Moramo, Konawe Selatan untuk dibawa ke pabrik nikel PT Virtue Dragon Nikel Indonesia (VDNI) di Morosi.
Aksi pemboikotan mobil truk pemuat batu itu terjadi sejak Minggu, 25 Februari 2018. Ini dilakukan karena masyarakat kecewa dengan sikap Pemprov Sultra dan Pemkab Konawe yang terkesan tutup mata membiarkan masyarakatnya menikmati debu.
Yeni, ibu rumah tangga yang ikut dalam aksi pemboikotan itu mengatakan, aktivitas truk pemuat batu yang melalui jalur itu menyebabkan dirinya menikmati debu setiap hari. Bahkan kondisi menyebabkan anak-anaknya sakit. Belum lagi dinas kesehatan setempat belum pernah sama sekali melakukan kunjungan.
“Baru-baru ini ada yang masuk rumah sakit. Bagaimana kita mau bayar kalau tidak ada uang. Pemerintah tidak ada yang turun di sini, pernah kita mandi lumpur empat bulan mereka tidak pernah juga turun,” katanya di lokasi, Senin (26/2/2018).
Dia melanjutkan, meski jalan tersebut adalah kewenangan Pemprov Sultra, namun Pemkab Konawe tidak bisa tutup mata. Pasalnya, masyarakat yang terkena imbas dan dampaknya adalah masyarakat Konawe.
“Kita mandi lumpur dan tiga tahun mandi debu tidak pernah ada pemerintah kabupaten yang turun tanyakan kita di sini bagaimana kondisi kami. Tidak ada sama sekali, sudah terlalu sabar kami ini. Pokoknya namanya pemerintah itu tidak ada perhatiannya terhadap masyarakat,” kesalnya.
Hal senada juga diungkapkan warga Desa Mendikonu David. Kata dia, semestinya pihak perusahaan maupun pemerintah kabupaten atau provinsi memperhatikan kondisi masyarakat yang telah bertahun-tahun menghirup debu.
“Harusnya mereka perhatikan kondisi kami dan batas operasi mobil truk minimal sampai jam lima sore saja. Jalannya juga harus disiram, paling sedikit tiga kali se hari. Bayangkan kita makan debunya baru tidak ada konpensasinya,” katanya. (B)