Politik Dinasti Sebuah Upaya Mengebiri Demokrasi

Rizal Ramli
Rizal Ramli

“Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga, Politik dinasti lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan turun temurun dari ayah kepada anak, agar kekuasaan tetap berada di lingkungan keluarga.” Berikut merupakan penggalan tentang “Pengertian Politik Dinasti” yang ditulis Mahkamah Konstitusi dalam web resminya MahkamahKonstitusi.go.id.

Diawal tahun 2018 isu-isu mengenai politik dinasti sedang panas-panasnya dibahas berbagai kalangan di masyarakat, tidak heran lagi karena 2018 merupakan tahun politik yang dimana sebentar lagi akan dilaksanakan pesta demokrasi pemilu serentak di seluruh Indonesia, isu politik dinasti ini memang seakan menjadi “langganan” pemilu di Indonesia, wajar saja karena praktek poltik dinasti sangat marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Isu inipun selalu dikaitkan oleh calon-calon petahana (incumbent) karena dianggap mempunya kewenangan dalam pemerintahan yang membuatnya mempunyai peluang besar untuk melakukan praktek politik dinasti.

Anggapan tersebut tentu tidak salah, karena kenyataannya sangat banyak petahana (incumbent) yang terbukti melakukan praktik tersebut termasuk di Indonesia, yang dimana hampir semuanya berakhir dengan tidak “baik”. Contoh saja, politik dinasti yang dibangun oleh Gubernur Riau Anas Maamun, Politik dinasti Gubernur Banten Ratu Atut Choisyiyah, Politik dinasti yang dianggap paling rapi dan sistematis di Klaten, politik dinasti Bupati Bangkalan Fuad Amin yang telah memimpin selama 2 periode yang mengupayakan anaknya Makmun Ibnu Fuad sebagai pemegang jabatannya selanjutnya, Fuad pun sukses menjadikan anaknya atau adik dari Makmun Ibnu Fuad, Abdul Latif Imron menjadi Wakil Ketua DPRD Bangkalan, dan yang paling baru yang terjadi di Sulawesi Tenggara, Walikota Kota Kendari Adriatma Dwi Putra ( ADP ) tertangkap bersama Asrun yang merupakan Calon Gubernur Sulawesi Tenggara yang tidak lain adalah ayahnya yang juga merupakan mantan Walikota Kota Kendari yang menjabat selama 2 periode terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan KPK yang kini statusnya telah menjadi tersangka.

Jadi tidak salah apabila dikatakan, “politik dinasti merupakan fenomena politik yang paling rawan menghasilkan pemerintahan yang korup”. Menurut saya pribadi, politik dinasti merupakan upaya mengebiri demokrasi yang tidak bisa kita biarkan, karena regenerasi kepemimpinan amat sangat diperlukan untuk kemajuan suatu daerah/negara, bukan berarti anak seorang pemimpin daerah/negara tidak boleh menjadi seorang pemimpin daerah/negara. Selama ia mampu, kenapa tidak. Walaupun resiko pemerintahan yang korup sangat memungkinkan untuk terjadi.

Lalu, apakah tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara gamblang melarang praktek politik dinasti? Sebenarnya ada, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r atau yang biasa disebut sebagai pasal “politik dinasti” mengatur hal ini dengan membatasi paslon yang memiliki ikatan darah dengan Incumbent untuk menjabat kecuali telah melewati jeda 1 kali jabatan. Namun sayangnya Pasal ini kemudian dihapuskan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.

Lalu apakah tidak ada peraturan perundang-undangan yang melarang praktek politik dinasti? Sejauh yang saya ketahui saat ini, Tidak Ada. Artinya politik dinasti tidak dilarang? Tentu Tidak! Lalu apakah bisa praktek politik dinasti dicegah? Tentu bisa! Jika tidak dapat dicegah dengan hukum maka politik dinasti dapat kita cegah dengan kerja-kerja politik seperti misalnya partai politik tidak memkasakan mengusung calon yang berasal dari politik dinasti yang tidak berkompeten dan buta integritas. Bagaimana jika telah ada partai politik yang mengusung calon yang berasal dari politik dinasti? Disinilah peran besar masyarakat menunjukan kekuatannya, menunjukan posisinya sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam sebuah negara, apabila masyarakat telah jenuh atau bahkan muak dengan dengan pemimpin yang korup, mari bersama-sama mencegahnya, golput bukan jawaban terbaik, tetapi berhenti memilih pasangan dari politik dinasti dan memilih pasangan calon dengan menganalisa berdasarkan kompetensi, integritas, kapabilitas dan tentu pengalaman merupakan jawaban terbaik.

 

OLEH : Rizal Ramli S.H
Penulis Merupakan Kader HMI Cabang Yogyakarta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini