Tahun 2018 dan 2019 disebut juga sebagai tahun politik dimana bangsa ini akan menghadapi dua moment besar yaitu pemilihan kepala daerah serentak 27 juni 2018 dan pemilihan presiden dan wakil president, anggota DPR RI – provinsi – kabupaten / kota dan DPD tahun 2019.
Harapan besar rakyat Indonesia akan lahirnya president, kepala daerah, anggota DPR dan DPD yang amanah dan betul – betul menjadi pemimpin dan wakil rakyat yang hanya memikirkan rakyat dan bangsa ini semata sepertinya masih dalam bentuk mimpi yang sulit untuk terwujud jika kita mengacu dari hasil – hasil pilkada dan pemilu sebelumnya , begitu banyak kepala daerah dan wakil rakyat yang kandas ditengah jalan dikarenakan harus berurusan dengan KPK atau aparat penegak hukum lainnya dalam hal ini kasus yg menimpa mereka semata – mata hanya tentang korupsi , mulai dari markup anggaran , fee proyek , hingga jual beli jabatan . Rakyat terus – menerus dipertontonkan pada hal yang sangat tidak terpuji ini.
Mengapa ini terjadi terus – menerus terjadi dan sepertinya belum ada tanda – tanda untuk berhenti. Prihatin dengan hal ini saya coba mengamati proses demokrasi yang dimana dari proses ini lah lahir pemimpin dan wakil rakyat yang sepertinya lagi trend terseret kasus korupsi.
Dari chasil pengamatan saya ada tiga hal dalam tahapan demokrasi ini yang harus dilalui baik itu calon presiden – kepala daerah dan wakil rakyat yang terhormat dimana tahapan ini lah yang akan membuka pintu – pintu menuju korupsi .
– PERTAMA TAHAPAN PENCALONAN
Dalam tahapan pencalonan ini para kontestan yang hendak berkompetisi baik itu sebagai president , kepala daerah, wakil rakyat dan DPD hanya diperhadapkan pada dua pilihan maju melalui partai politik atau melalui jalur independent sesuai dengan apa yang dipersyaratkan Undang – undang , kebanyakan calon kontestan memilih jalur partai politik, jalur independent menjadi jalur yang kurang diminati, dimana jalur ini prosesnya cukup rumit , dimana dalam proses pengumpulan dukungan dari rakyat harus tertuang dalam format yang telah disediakan oleh KPU dimana sang calon harus menemui satu persatu konstituennya meminta persetujuan dukungan yang dibuktikan dengan memberikan foto copy KTP dan tanda tangan dalam format yang telah disediakan ini lah cara normatif untuk lulus menjadi calon baik itu kepala daerah atau DPD, ada juga calon yg menempuh jalan pintas dengan memanipulasi dukungan baik itu KTP dan tanda tangan pendukung namun yakin saja bahwa pada saat verifikasi factual dilakukan KPU maka dukungan ini akan berguguran.
Inilah sebab mengapa calon independent menjadi sepi peminat belum lagi jumlah dukungan yang harus mereka kumpulkan tidaklah sedikit. Maka jadilah partai politik pilihan dominan daripada setiap orang yang ingin mencalonkan diri, dalam hal proses pencalonan dipartai politik disinilah biasanya petaka dimulai, tidak adanya standarinisasi dan barometer untuk penentuan bakal calon dipartai politik, dibeberapa partai politik terlihat seperti idealis dalam menentukan bakal calon dengan cara membuka seleksi pencalonan namun ini juga pada akhir seperti sebuah kamuflase, pada akhirnya penentuan seorang calon tetap mengacu pada siapa calon yang mempunyai financial terbesar dengan dalih biaya politik untuk memenangkan sebuah pertarungan sangatlah besar.
Kompetensi seorang calon menjadi tidak penting lagi dalam hal ini, sudah bukan rahasia umum lagi dimana hamper semua lapisan masyarakat tahu bahwa dalam proses pencalonan ini ada yang trend dengan nama mahar politik , sampai jumlahnya yang fantastis pun bukanlah barang tabu diperbincangkan dalam forum – forum diskusi kecil mulai dari warung kopi eksekutif sampai warung kopi diemperang dari mall, pasar tradisonal hingga pangkalan ojjek tak jarang kita jumpai perbincangan tentang mahar politik , namun oleh beberapa partai politik hal ini dibantah dengan dalih biaya politik.
– KEDUA TAHAPAN KAMPANYE
Kampanye sebenarnya adalah ajang mempromosikan diri dan visi – misi dari para calon kontestan baik itu kepala daerah maupun wakil rakyat dan dpd , namun realita dilapangan berkata lain terkadang ajang ini dijadikan ajang bagi – bagi uang dan sembako secara massal. Berbagai cara dilakukan para calon untuk menghadirkan sebanyak – banyak orang yang datang pada kampanye mereka, mendatangkan artis top papan atas ibu kota yang bayarannya selangit, dalam kasus petahana / incumbent semua kekuatan birokrasi dikerahkan mulai dari tingkat RT – LURAH / KEPALA DESA – CAMAT sampai KEPALA DINAS dengan sedikit intervensi bahkan sampai ada calon yang mewajibkan birokrasi harus ada dilokasi kampanye bahkan bukan sendiri namun harus membawa massa yg jumlah nya telah ditetapkan sang calon petahana / incumbent .
Yang tadinya tujuan kampanye adalah sosialisasi diri dan program kerja dari para calon untuk dipilih berubah menjadi ajang unjuk kekuatan, hiburan dan menghujat calon lain. Ajang kampanye ini telah berubah durasi tampil sang artis lebih banyak daripada calon ketika calon tampil berorasi pun tidak dimanfaatkan untuk membahas program kerja atau visi misi namun waktu yang sedikit itu dimanfaatKAM hanya menyerang dan menjatuhkan calon kontestan lainnya.
– KETIGA HARI PENCOBLOSAN
Menjelang hari pencoblosan yang harusnya dikatakan minggu tenang namun oleh para calon dimanfaatkan untuk bergerilya bagi – bagi uang dan sembako , para calon memanfaatkan moment ini secara membabi buta demi untuk mencapai tujuan nya , bahkan pada proses akhir ini para calon biasanya sudah tidak berpikir rasional lagi tanpa ragu dan segan mereka melego asset berharganya .
Dari ketiga tahapan diatas menunjukkan betapa besar nya pengorbanan financial seorang calon untuk mencapai kursi impian, begitu besarnya harga sebuah pengabdian sehingga para calon terpilih pastinya kelak akan berpikir bagaimana cara mengembalikan biaya – biaya politik yang telah dikeluarkan dan bagaimana menambah pundi – pundi yang akan dipakai bertarung kembali pada periode selanjutnya sehingga tak jarang calon terpilih tersebut tidak memikirkan lagi rakyatnya hanya berpikir pada pengembalian biaya politk dan ambisi mempertahankan kekuasaan yang telah diraih tersebut. Maka tak heran pula kalo kita banyak melihat kepala daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat yang terjaring kasus hukum dengan kasus yang sama yaitu korupsi. Apakah ini yang disebut demokrasi yang kebablasan .
Memperhatikan tiga hal diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hampir semua elemen yang terlibat secara lansung dalam proses tersebut telah terkontaminasi dan terlibat secara massive dalam praktek politk uang, mulai dari para pengurus partai politik, para calon kontestan sampai pada pemegan hak pilih. Sungguh keadan ini sanagt memprihatinkan dalam negara yang menganut system demokrasi .
Partai politik yang tadinya diharapkan menjadi pilar untuk menopang system demokrasi ini sepertinya tak mampu seperti apa yang diharapkan dari cita – cita dan tujuan mulia dari system demokrasi tersebut, rakyat pun jadi korban dari gagalnya pendidikan politik yang tadinya harapan ini ada pada partai politik, diperlukan kesadaran dan sebuah terobosan baru dari para pengambil kebijakan di negri ini untuk mengantisipasi dan memperbaiki system demokrasi yang ada sekarang ini, agar system demokrasi ini dapat kembali berjalan menuju harapan dan cita – cita mulianya yaitu mensejahterakan seluruh rakyat di negeri ini . Wassalam .